tirto.id - Bandara Halim Perdanakusuma, pukul 19.45. Pesawat Super DC-8 JAL mendarat dengan mulus di landasan. Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka dipersilakan keluar dari pesawat. Tidak ada upacara militer dan sambutan kenegaraan. Setelah menerima kalungan bunga, Tanaka meluncur ke Wisma Negara untuk beristirahat.
Presiden Soeharto dan beberapa menteri bertemu dengan Tanaka serta rombongannya pada 15 Januari 1974, tepat hari ini 44 tahun lalu, di Istana Negara. Pada saat bersamaan, ribuan orang, yang sebagian besar terdiri dari mahasiswa dan pelajar SMA, turun ke jalan melancarkan protes. Mereka berteriak lantang menentang derasnya investasi Jepang yang masuk ke Indonesia.
Sejak Tanaka tiba, tidak hanya Jakarta yang menjadi berbeda. Kehidupan tokoh-tokoh yang terlibat dalam gelombang protes terbesar pertama setelah Orde Baru berkuasa ini juga menjadi lain. Peristiwa ini kemudian dikenal dengan nama “Malapetaka 15 Januari 1974” (Malari 1974).
Hariman Siregar dan Para Demonstran
Hariman Siregar adalah ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM UI) sekaligus pimpinan aksi massa pada hari itu. Atas komandonya, para mahasiswa melakukan long march dari kampus UI, Salemba, menuju Universitas Trisakti, Jalan Kiai Tapa, Jakarta Barat.
Di penjuru lain Jakarta, aksi massa juga berlangsung. Salah satu yang paling mencekam terjadi di Pasar Senen. Di sana massa membakar proyek kompleks pertokoan yang baru saja dibangun. Mereka mengajukan tiga tuntutan yang dinamakan “Tritura Baru 1974”: Pertama, bubarkan lembaga Asisten Pribadi Presiden (Aspri); kedua, turunkan harga; ketiga, ganyang korupsi.
Baca juga: Gelora Tritura Menggulung Riwayat Orde Lama
Bagi para demonstran, modal asing yang beredar di Indonesia sudah berlebihan. Menurut mereka pula, Tanaka berikut investasi, korporasi, dan produk-produk asal Jepang adalah bentuk imperialisme gaya baru.
“Kami akan membakar semua produk Jepang,” kata seorang demonstran, seperti dilaporkan jurnalis New York Times Richard Halloranjan dalam artikel “Violent Crowds in Jakarta Protest the Visit by Tanaka”
Soemitro Berorasi di Atas Jip
Soemitro menjabat Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) saat itu. Sesuai dengan namanya, Kopkamtib tentu saja dibentuk untuk menjaga keamanan dan ketertiban.
Saat mendengar kabar para demonstran masuk ke Jalan Thamrin, dia langsung loncat ke atas mobil jip. Dalam pikirannya hanya satu: para demonstran tidak boleh masuk Monumen Nasional (Monas). Dia bergegas menghampiri mereka.
Namun, baru sampai Sarinah, laju mobil jipnya melambat. Jalanan macet karena terhalangi demonstran yang berkumpul di depan Kedutaan Besar Jepang yang terletak tidak jauh dari Sarinah.
Soemitro lantas naik ke badan mobil jip. Laki-laki yang lahir pada 1925 itu berorasi. Lewat pengeras suara, kata-katanya bisa didengar semua demonstran yang ada di situ.
“Saya mengerti aspirasi saudara-saudara. Saya mengerti uneg-uneg kalian. Tapi, percayakan soal itu kepada pemerintah kita,” kata Soemitro. Ia mengakhiri orasinya dengan pertanyaan, “Kalian percaya atau tidak pada saya?”
Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 1974 (1996), buku kumpulan kesaksian yang dituturkan Soemitro kepada Heru Cahyono, menyebut orasi itu berhasil. Massa berangsur membubarkan diri. Kecemasan bahwa para demonstran akan memasuki Monas pun sirna dari benak jenderal yang menjabat Pangkopkamtib sejak 1971 itu.
Ali Moertopo dan CSIS
Kantor Centre for Strategic and International Studies (CSIS) terletak di Jalan Tanah Abang III, Jakarta Pusat. CSIS disebut sebagai penyumbang pemikiran kebijakan ekonomi pro-korporasi asing yang diterapkan Soeharto.
Pada hari malapetaka itu, tepat di depan kantor CSIS para demonstran berhenti. Mereka berteriak-teriak seraya mengejek lembaga yang didirikan dua orang ASPRI Soeharto, Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardani, tersebut. Mereka bilang Ali Moertopo adalah antek-antek Jepang.
Ali Moertopo tidak terima. Laki-laki yang juga menjabat deputi kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) itu marah dan meraih pistolnya.
Jusuf Wanandi, yang saat itu bekerja di CSIS, berusaha mencegah tindakan Ali.
“Apa kamu takut,” kata Ali kepada Jusuf.
“Bukan seperti itu, Pak. Saya pernah dalam posisi meraka. Mereka sangat kuat dan dapat menggilas CSIS,” balas Jusuf, seperti diceritakannya dalam Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia, 1965-1998 (2012).
Para Aparat dan Soeharto
Pada hari itu juga, wartawan Tempo Martin Aleida mendapat tugas memotret. Dalam suatu tayangan dokumenter bertajuk “Menolak Lupa” yang disiarkan Metro TV, dia mengisahkan ketika iring-iringan massa lewat di depannya sambil meneriakkan ucapan yang menyeramkan.
Syahdan, dua atau tiga tentara berseragam memanggil Martin. Mereka meminta rol film yang terdapat dalam kameranya. Martin tidak punya alasan untuk menolak. Dia juga berpikir, toh foto itu tidak akan bisa dimuat di majalahnya. Dia pun menyerahkan film kamera itu.
Kepada New York Times, Richard Halloranjan melaporkan, sebagian besar polisi dan tentara Indonesia yang dikirim untuk berpatroli hanya berdiri dan menonton. Mereka hampir tidak melakukan tindakan apapun untuk menghentikan para demonstran.
Baru pada sore hari, peluru peringatan ditembakkan ke udara. Lalu, setelah malam tiba, aparat keamanan mulai bertindak kasar. Polisi mengangkut sekitar selusin demonstran ke sebuah kantor polisi terdekat. Richard juga menyebut ada seorang demonstran yang dipukuli di belakang kepala.
Pada malam itu juga, saat jamuan makan malam, Presiden Soeharto meminta maaf kepada Tanaka atas gelombang protes yang muncul. Tanaka menanggapinya dengan mengatakan dia paham atas situasi yang terjadi. Dia pun meminta Soeharto untuk tidak mengkhawatirkannya.