tirto.id - Suatu hari di Jalan Krekot, Sawah Besar, Jakarta Pusat, sekitar awal 1970-an. Seorang sopir tak bisa membawa pergi mobil yang diparkir di depan sebuah toko. Juru parkir di situ membuat si supir tertahan gara-gara masalah uang parkir.
“Dikasih Rp100 tidak ada kembaliannya, dikasih Rp15 tukang parkir marah-marah. Maunya dikasih Rp25. Maka terjadilah ribut-ribut,” aku Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta 1966-1977, seperti dikutip Ramadhan K.H. dalam Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977 (1992: 335).
Lalu terjadilah keributan. Sopir dikeroyok tiga juru parkir itu sampai luka parah, mobilnya pun rusak. Kejadian macam ini, menurut Bang Ali, sudah sering terjadi sejak awal 1970-an. Para juru parkir itu menarik uang begitu saja; ada pula yang sama sekali bukan juru parkir tapi ikut meminta duit. Akibat makin banyaknya mobil di Jakarta, persoalan parkir memang jadi tak terhindarkan.
“Masalah parkir ini kelihatannya sepele pada mulanya. Tapi begitu naik jumlah kendaraan, masalahnya menjadi rumit. Tak sedikit orang yang menjadi marah-marah karena soal kecil sewaktu memarkir kendaraan,” lanjut Ali.
Baca juga: Kejayaan Politik Islam di Jakarta
Menurut laporan penelitian Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), yang dibukukan dalam Politik Perparkiran Jakarta (2006), “[...] perparkiran di Jakarta ternyata telah muncul atau ada sejak masa-masa awal kemerdekaan Indonesia. Setidaknya sejak 1950-an, di Jakarta telah ada pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang mengelola parkir di jalan-jalan” (hlm. 12-13).
Kala itu belum ada istilah parkir. Para penjaga lahan parkir disebut "jaga otto". Istilah "otto" (atau "oto") diartikan sebagai kendaraan atau mobil.
Zaman itu, masih menurut penelitian Fakta, lahan parkir biasanya berada di dekat permukiman orang-orang Tionghoa atau Belanda. Dua etnis itu dianggap golongan yang punya mobil lebih banyak ketimbang golongan lain.
Tempat parkir kala itu terbatas di Pasar Baru, Jakarta Kota, Harmoni, Glodok, Jalan Thamrin, dan Sudirman. Kawasan-kawasan ini sedari dulu sudah dipenuhi gedung niaga atau kantor peninggalan zaman kolonial.
Semakin Banyak Mobil, Semakin Semrawut Parkir
Dalam perkembangannya, seperti tertulis dalam Politik Perparkiran Jakarta (hlm. 14), perparkiran Jakarta bertambah ramai apalagi ketika Jakarta kali pertama menjadi tuan rumah pelaksanaan Asian Games 1962. Urusan pengelolaan parkir dikuasai jagoan-jagoan setempat.
Kebayoran Baru dan sekitar Blok M dikuasai orang-orang Surabaya di bawah pimpinan Sugiman. Daerah Pasar Baru dikuasai orang-orang Betawi di bawah pimpinan Samid Kicau—yang dijuluki Raja Parkir. Glodok dipegang orang-orang Banten pimpinan Animuar. Sementara di Jakarta Kota ada jagoan bernama Nurmansyah yang memegang kawasan itu. Nama-nama di atas dianggap bos parkir.
Masa-masa lahan parkir dikuasai individu akhirnya dibenahi Ali Sadikin. Pada 1972, Pemerintah Daerah DKI Jakarta Raya mendirikan PT Parkir Jaya, yang berfungsi sebagai satu-satunya pengelola parkir di Jakarta. Perusahaan ini wajib menyetor pemasukan parkir ke kas pemda.
Menurut Ali Sadikin, “[...] diperkirakan waktu itu, 100.000 mobil diparkir setiap harinya dan pungutan waktu itu, sekali parkir Rp 25.” (hlm. 336).
Baca juga: Masjid Sunda Kelapa yang Sempat Ditolak Gubernur
Sebelum ada perusahaan parkir, Ali Sadikin pernah menawarkan kepada pengusaha-pengusaha swasta untuk memanfaatkan bantaran Kali Ciliwung sebagai lahan parkir, tetapi dengan syarat tidak merusak keindahan kota. “Tapi tak ada yang mengajukan lamaran,” aku Bang Ali.
“Parkir Jaya sebagai pengelola tunggal parkir di Jakarta, mulai kegiatan dengan banyak timbul tantangan. Terutama dari para bekas 'boss parkir',” tulis Ekspres Volume 4 (1973: 49).
Orang yang menjadi direktur PT Parkir Jaya adalah Bambang Widjanarko. Seperti Ali Sadikin, Widjanarko adalah perwira KKO/Marinir, yang pernah jadi ajudan Presiden Sukarno.
Baca juga:Solusi Maksiat ala Ali Sadikin
Menurut Bang Ali, “Setelah kurang lebih 4 tahun berjalan, pengelolaan parkir menunjukkan hasil yang semakin meningkat sumbangannya bagi Pemda DKI.” Setelah itu, PT Parkir Jaya rupanya tak berjalan seperti yang diharapkan. Ada hambatan dalam masalah prosedur.
Dalam Politik Perparkiran Jakarta, PT Parkir Jaya gagal memenuhi target pemasukan. Dari Rp20 juta yang diharapkan target pendapatan ke pemda, hanya masuk Rp5 juta. PT Parkir Jaya pun bubar.
Jelang berhentinya Ali Sadikin sebagai gubernur, pada 5 Juni 1977, Badan Otorita Pengelola Parkir (BOPP) didirikan sebagai pengganti PT Parkir Jaya. Lembaga ini dipimpin P. Harahap, mantan Kepala Dinas Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya (DLLAJR). BOPP juga tidak lama umurnya.
Setelahnya, pernah ada Badan Pengelola Perparkiran (BP Perparkiran). Badan ini kemudian berubah sebagai UP Perparkiran di bawah dinas perhubungan Pemda DKI Jakarta.
Sampai hari ini, masalah perparkiran di Jakarta yang dikelola individu-individu, alias para jago dan preman, belum terpecahkan.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan