tirto.id - Tiga bendera Pemuda Pancasila berkibar di sudut Jalan Melawai IV, tepatnya di depan toko Optic Melia, Blok M. Atribut itu terpasang di pohon dan tiang listrik, penanda bahwa wilayah parkir tersebut dikuasai organisasi kemasyarakatan berwarna khas oranye-hitam itu.
Wilayah kekuasaan Pemuda Pancasila hanya sekitar 100-an meter, dari tiang listrik sampai kedai kuliner Food Fighter. Di samping lahan tersebut, Kelompok Arek dari Jawa Timur menguasai dua lahan parkir. Pertama dari Fave Hotel, Jalan Melawai IV, sampai bekas gedung Ramayana; dan kedua di depan gedung Blok M di areal toko berlian, Jalan Melawai V. Ada juga Kelompok Serang yang menguasai ruas parkir Bank DKI Melawai (kini sudah tutup), Jalan Melawai IX, dan pintu lobi belakang Blok M.
“Lahannya sudah ada masing-masing,” kata Xoni, juru parkir dari Pemuda Pancasila.
Setiap pagi, pria asal Makassar ini menempuh perjalanan selama hampir 2 jam dengan menumpang Metromini S-69 dari Ciledug menuju Blok M. Ia menjalani rutinitas ini selama delapan tahun terakhir, dari jam 9 pagi hingga 12 malam.
“Kalau enggak kerja, enggak makan,” ujar Xoni, yang biasa mendapatkan Rp200 ribu per hari, di mana Rp150 ribunya disetor ke Pemuda Pancasila.
Namun, jika Sabtu-Minggu, penghasilannya mencapai Rp700 ribu per hari; sebagian besar untuk bayar sewa kontrakan Rp500 ribu per bulan.
Menurut para jukir di kawasan Blok M, para kelompok ini—baik dari Arek maupun Serang, dan sesekali Pemuda Pancasila—menyetor ke seseorang yang dipanggil 'Aa, yang "menguasai lahan parkir Blok M" dari Jalan Melawai I sampai Melawai IX.
Sang penguasa, menurut para jukir, hanya bisa ditemui lewat perantara. Tetapi, sebagian jukir lain berkata, ia gampang ditemui karena biasa tidur di emperan toko beralas lembaran kardus; berpenampilan cuek dan berperawakan tambun.
Satu hal yang pasti, ia menarik pungutan dari jukir antara Rp100 ribu sampai Rp150 ribu per hari. Bahkan sopir bajaj yang mangkal di kawasan Blok M—jumlahnya ada 70-an—harus setor bulanan ke si 'Aa sebesar Rp150 ribu.
Di tengah penguasaan wilayah parkir ini, sesungguhnya pengelolaan parkir di Blok M sudah diserahkan ke pihak ketiga, yakni PT Dinamika Mitra Pratama atau dikenal Best Parking, sejak 2008. Meski begitu, jukir di sini bukan menyetor ke Best Parking, justru ke Aa, dan semua jukir di pelataran Blok M mengenakan seragam Best Parking.
Di Blok M, pengendara yang masuk melewati pintu parkir elektronik akan menerima struk. Tetapi, ia juga dipungut oleh tukang parkir dengan "bayaran seikhlasnya," kata Bambang, jukir dari Kelompok Arek. Dengan kata lain, pengendara bayar parkir dua kali.
Pola ini persis sama dengan situasi parkir di Taman Ismail Marzuki, sebelum diributkan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok—dan ramai diberitakan sebab disebut-sebut berurusan dengan Abraham Lunggana alias Haji Lulung, seorang jawara yang besar dari Pasar Tanah Abang lalu jadi anggota parlemen daerah Jakarta lewat Partai Persatuan Pembangunan.
Tak ada sumber yang tersedia secara publik soal berapa peredaran uang parkir di kawasan Blok M, salah satu pusat belanja besar di Jakarta Selatan. Seorang satpam berkata "sehari uang parkir di Blok M bisa Rp1 miliar"; Prabowo Soenirman, anggota DPRD Jakarta Komisi B bidang perekonomian, menyebut uang parkir yang beredar di Blok M "ada puluhan miliar setiap bulan."
Manajemen Best Parking menolak menjawab pertanyaan dari reporter Tirto.
Celah Penguasaan Lahan Parkir
Lahan parkir di Blok M bukan satu-satunya yang dikuasai oleh ormas maupun kelompok tertentu. Hal sama terjadi di Gelanggang Olahraga Remaja (GOR). Merujuk Peraturan Gubernur nomor 188 tahun 2016 tentang tempat parkir umum yang dikelola oleh pemda, ada 60 GOR di seluruh Jakarta.
Asisten manajer operasional UP Perparkiran wilayah Jakarta Pusat, Acep Sutisna, mengatakan bahwa pihaknya mengelola GOR Senen, dengan melibatkan "orang lama" yang telah menguasai lahan tersebut.
"Kami bina mereka untuk kelola parkir di Jalan Stasiun Senen," katanya merujuk kawasan yang lebih dikenal Gelanggang Remaja Planet Senen.
Setiap hari, ujar Sutisna, orang binaan UP Perparkiran menyetor sekitar Rp90 ribu kepada korlap parkir. “Kami tidak semuanya mengelola GOR,” dalih Sutisna, yang pernah menjadi korlap parkir PD Pasar Jaya. Beda halnya dari GOR Johar Baru, yang diklaim tak diurus oleh UP Perparkiran betapapun termasuk lokasi parkir Pemda.
GOR Johar Baru di Jakarta Pusat pernah jadi lokasi kampanye Joko Widodo saat pemilihan gubernur DKI Jakarta pada 2012. GOR yang menampung 50-an mobil parkir ini sebenarnya sudah pernah dibahas di tingkat kota dan dinas—dari kepolisian, Satpol PP, Dishub Jakarta—karena "penyalahgunaan pemanfaatan lahan parkir untuk komersial" oleh organisasi kemasyarakatan setempat.
Saat reporter Tirto mendatangi GOR tersebut, empat bendera Forum Betawi Rempug terlihat di depan pos dekat pintu gerbang. Ada deretan mobil dari berbagai merek di halaman GOR. Seorang jukir di sana menyebut biaya inap parkir mobil bulanan antara Rp300 sampai Rp400 ribu. Orang yang memarkir mobilnya di sini harus menyerahkan kunci ke jukir saking berjubelnya mobil dan demi arus keluar-masuk kendaraan.
Meski sudah bertahun-tahun dikuasai FBR, manajemen UP Perparkiran enggan menindak. Sutisna berkilah karena belum "ada masyarakat" yang melaporkan praktik tersebut. Ia bilang ia akan "menindak pihak yang mengomersialkan lahan parkir" jika ada laporan dari warga.
Praktik parkir ilegal untuk menjadi legal sendiri agak rumit, menurut Sutisna. Tetapi, sebetulnya, memang muncul dari ekosistem yang saling menguntungkan. Dalam Politik Perparkiran Jakarta, yang ditulis oleh Forum Warga Jakarta dan Yayasan Tifa pada 2006, penerimaan dari 139 juru parkir disetorkan ke empat pihak: BP Parkir (sekarang UP Perparkiran), tokoh lokal atau ormas, Satpol PP, dan pemilik lahan.
Misalnya, jika ada lokasi parkir yang berpotensi meraup laba, dan belum diakui oleh Pemda, maka Pemda akan meminta jukir tersebut bersedia direkrut. Pemda akan memberi surat tugas dalam masa percobaan selama tiga bulan, dan jika lancar pemasukannya, pemda akan mengangkatnya sebagai jukir harian lepas. Pembagian keuntungannya: 25 persen untuk jukir, 75 persen untuk UP Perparkiran.
Meski begitu, dalam kontrak jalanan semacam ini, ormas tetap dilarang menguasai lahan parkir.
Faktanya sangat mungkin berbeda dari kesepakatan tersebut. Melihat di Blok M, misalnya, ada tiga kelompok yang menguasai sebagian lahan parkir. Dan jukir macam Xoni dari Pemuda Pancasila telah hidup dari praktik usaha jalanan tersebut, selama delapan tahun terakhir.
“Dengan uang ini, saya bisa telepon saudara di kampung dan bertahan hidup,” katanya.
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam