Menuju konten utama

Pemda DKI Tak Beres Kelola, Swasta Kuasai 73 Persen Lahan Parkir

Tanpa kerja apa pun, Pemda Jakarta menerima pajak parkir ratusan miliar dari swasta setiap tahun, sangat jomplang dari retribusi parkir yang dikelola sendiri.

Pemda DKI Tak Beres Kelola, Swasta Kuasai 73 Persen Lahan Parkir
Suasana di salah satu sudut areal parkir di Pasar Baru, Jakarta Pusat, Kamis (7/12/2017). tirto.id/Arimacs Wilander

tirto.id - Senin siang akhir November lalu, Agus Widodo terlihat mengatur sebuah mobil keluar dari halaman parkir Plaza Setiabudi, sebuah kawasan bisnis di Jakarta Selatan. Pria 26 tahun asal Yogyakarta ini bekerja sebagai juru parkir selama enam tahun terakhir di Secure Parking, salah satu perusahaan jasa parkir swasta terbesar di Indonesia.

"Kalau shift pagi, saya berangkat dari rumah jam setengah tujuh," kata Widodo, yang tinggal di Matraman, hanya 10-an menit dengan sepeda motor ke tempat kerjanya.

Ia mengatakan ada tiga shift kerja selama 24 jam; setiap pekerja dirotasi jam kerja sehingga mendapatkan jadwal yang sama, antara 7 jam hingga 9 jam per hari, dengan waktu libur sehari dalam seminggu.

Para pekerja ini menerima BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, selain gaji sesuai upah minimum provinsi Jakarta.

"Sebulan sekitar Rp3,3 juta," kata Widodo.

PT Securindo Packatama Indonesia, tempat Widodo bekerja, telah berkiprah selama lebih dari dua dekade di Indonesia, menguasai 600-an lokasi di kota-kota besar termasuk Medan dan Surabaya. Induk perusahaan ini berbasis di Sydney, Australia, didirikan pada 1979 oleh dua bersaudara, Garth dan Brett Mathews.

Bisnis parkir di kota-kota besar, khususnya di Jakarta, memang menggiurkan. Selain Secure Parking, ada ISS Group, perusahaan asal Kopenhagen, Denmark, yang merintis usahanya di Indonesia pada 1996, dengan memadukan bisnis jasa kebersihan. Ada pula Sky Parking, A-Plus Parking Pratama, dan Auto Parking.

Data Unit Pengelolaan (UP) Perparkiran Jakarta tahun 2005 menyebut 73 persen jasa parkir di Jakarta dikuasai oleh pihak swasta. Sisanya dikelola oleh pemerintah pusat (9,4 persen), badan usaha milik daerah (8,2 persen), UP Perparkiran Dishub DKI (5,5 persen), dan non-UP Perparkiran alias satpam/preman (2,6 persen).

Data UP Perparkiran per Januari 2016, ada 1.085 lokasi pengelolaan parkir oleh swasta. Angka ini meningkat pada 2017 menjadi 1.185 lokasi dengan 23 pemain swasta, menurut Digdo Prakoso, Humas Badan Pajak dan Retribusi Daerah (BPRD) DKI Jakarta. Pemain-pemain parkir swasta ini ditarik 20 persen pajak parkir dan 10 persen PPN oleh BPRD.

Jumlah pendapatan dari pajak tersebut mengenyangkan. Hingga 22 November 2017, realisasi penerimaan pajaknya telah mencapai Rp441 miliar, lebih besar dibandingkan tahun 2016 senilai Rp350 miliar.

Pada 2015, di masa Gubernur Basuki Tjahaja Purnama, pendapatan pajak dari parkir melebihi realisasi penerimaan, yakni Rp450 miliar dari Rp425 miliar.

'Pemda Jakarta Masih Belum Beres Mengelola Lahan Parkir'

Taufiq Rahman, direktur PT Zutaki Tehnik, menilai pengelola parkir swasta memang "berkontribusi besar" terhadap pendapatan daerah. Perusahaannya semula mengelola parkir di PD Pasar Rawamangun dan Pasar Sunan Giri—keduanya di Jakarta Timur.

Selain kedua pasar itu, ada 33 pasar lain yang lahan parkirnya dikelola oleh swasta. Pada paruh kedua tahun 2016, Pemda Jakarta membuat kebijakan baru bahwa pengelolaan parkir di 35 pasar tersebut diserahkan ke UP Perparkiran. PD Pasar Jaya berjumlah 148 buah dan UP Perparkiran adalah unit usaha pemda di bawah Dinas Perhubungan DKI Jakarta.

Menurut Rahman, "tidak ada perubahan" signifikan saat parkir dikelola oleh UP Perparkiran. Bahkan, dari Januari hingga Juli 2017, UP Perparkiran pernah menunggak pembayaran kepada PD Pasar Jaya sebesar Rp7,6 miliar. Setelah manajemen PD Pasar Jaya mengirim surat teguran, UP Perparkiran mau melunasinya.

Toh, menurut Rahman, pengelolaan parkir oleh perusahaan swasta di PD Pasar Jaya selalu lewat mekanisme lelang, yang biasanya diadakan setiap tiga tahun sekali. Perusahaan Rahman kini mengelola lahan parkir PD Pasar Jaya di kawasan utara Jakarta. Selain itu ada empat pemain swasta lain: PT Putra Rasya Mandiri di Jakarta Pusat, PT Rafik Karya Mandiri di Jakarta Timur, PT Fajar Aluna Jaya di Jakarta Selatan, dan PT Dinamika Mitra Pratama (Best Parking) di Jakarta Barat.

Sayangnya, saat UP Perparkiran bernafsu mengelola parkir PD Pasar Jaya, kata Rahman, Gelanggang Olahraga Remaja yang notabene dikelola pemda justru dikuasai oleh pihak ketiga.

Pihak ketiga kata lain untuk penguasa setempat. GOR Johar Baru di Jakarta Pusat, misalnya, dikuasai oleh ormas tertentu. Pola serupa terjadi di kawasan Blok M dan Mayestik (Jakarta Selatan), serta lahan parkir Boulevard Barat Kelapa Gading dan Artha Gading (Jakarta Utara).

"Gelanggang remaja harusnya UP Perparkiran yang kelola. Faktanya tidak dikelola sendiri. Ini sama saja bahwa UP Perparkiran itu calo," ujar Rahman.

Sangat mungkin nada kritis Rahman didorong oleh lahan bisnisnya yang berkurang, tetapi perkara Pemda Jakarta tak beres mengurusi lahan parkir memang telah jadi anggapan umum dan problem lawas—yang dikuatkan oleh data-data pendukung.

Prabowo Soenirman, anggota Komisi B bidang perekonomian DPRD DKI Jakarta, mengatakan lahan pemda dikelola oleh pihak ketiga bikin pendapatan UP Perparkiran mengecil. Ini berdampak pada target penerimaan retribusi parkir.

Hingga November 2017, realisasi retribusi parkir baru Rp73 miliar, padahal target pendapatan tahun ini sebesar Rp111 miliar.

Infografik HL bisnis parkir

Kondisi Kerja Jukir Pemda: 12 Jam Kerja tanpa BPJS Kesehatan

Taufiq Rahman juga menyinggung soal perlindungan kerja juru parkir PD Pasar Jaya saat di bawah pengelolaan swasta dan UP Perparkiran. Rahman mengatakan jukir swasta, meski sama-sama bekerja selama 12 jam, mendapatkan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Sebaliknya, UP Perparkiran hanya memberikan BPJS Ketenagakerjaan.

"Kalau kita ketat banget syaratnya. Giliran pemda yang kelola, enggak gitu," ujar Rahman.

Opik, 34 tahun, seorang jukir di Pasar Pondok Bambu, Jakarta Timur, berkata bahwa ia tidak mendapatkan fasilitas BPJS Kesehatan.

"Dulu, kalau sakit, dibantu berobat oleh koordinator lapangan jukir. Tapi sekarang ya pakai duit sendiri," kata Opik, yang sebelumnya selama tujuh tahun bekerja di PT Fajar Aluna Jaya.

Opik adalah satu dari 260 jukir pasar di bawah naungan UP Perparkiran Dishub Jakarta. Gajinya sebesar Rp3 juta per bulan.

"Sehari saya bekerja 12 jam, dari setengah 6 pagi sampai setengah 6 sore," ujar Opik.

Hal serupa diungkapkan Naufal, pria 26 tahun asal Bogor, yang bekerja sebagai "joki" di Blok G Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Istilah joki untuk orang-orang yang mengatur dan merapikan sepeda motor. Blok G baru dikelola UP Perparkiran selama setahun terakhir, yang sebelumnya diurus oleh PT Rafik Karya Mandiri.

"Pekerjaannya sama. Bedanya kalau swasta yang kelola, kesehatan kami ditanggung," kata Naufal, yang menerima gaji bulanan Rp1,8 juta—jauh di bawah UMR DKI Jakarta sebesar Rp3,3 juta.

Thamrin, manajer SDM UP Perparkiran, membenarkan jukir di tempatnya memang tak diberi BPJS Kesehatan dengan dalih "anggaran terbatas."

"Pekerja harian lepas tidak bergaji bulanan, mereka bagi hasil 25-75 persen atau 30-70 persen. Kalau jukir kontrak, ada gaji bulanan dan hak BPJS Ketenagakerjaan," kata Thamrin.

Bila dibandingkan perusahaan parkir swasta, perbedaan kondisi kerja jukir pemda terlihat kontras, terlebih jika disandingkan dengan pemain swasta dari luar negeri seperti Secure Parking.

"Di sini kekeluargaannya tinggi. Kalau ada masalah, enggak dilepas begitu saja oleh perusahaan," ujar Agus Widodo, jukir Secure Parking yang bekerja di Plaza Setiabudi.

Baca juga artikel terkait LAHAN PARKIR atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Bisnis
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Fahri Salam