tirto.id - Prediksi soal kabinet gemuk dalam susunan menteri pasangan Jokowi-Ma’aruf Amin kembali menjadi sorotan. Dukungan atas kemenangan pasangan nomor urut 01 pada Pilpres 2019 itu dinilai tidak gratis. Muncul harapan dari parpol-parpol yang tergabung dalam koalisi yang mendukung keduanya agar utang budi tersebut dapat dibalas melalui pemberian jatah menteri.
Jatah kursi menteri pada kabinet kerja periode 2019-2024 diperkirakan makin ketat dengan mulai merapatnya Partai Amanat Nasional (PAN) dan Demokrat ke arah pemerintah. Jika keduanya bergabung dalam koalisi, maka tidak menutup kemungkinan akan menambah daftar panjang calon menteri kabinet Jokowi pada periode ke-2 ini.
Menggelembungnya jumlah menteri dalam satu kabinet sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Pada 1966, Indonesia pernah mengenal kabinet paling gemuk dalam sejarah pemerintahan, yakni Kabinet Dwikora II. Sebutan lainnya ialah Kabinet Seratus Menteri.
Kabinet yang dibentuk Sukarno di tengah suasana kacau pasca Gerakan 30 September 1965 itu terdiri dari 132 pejabat menteri dan pembantu presiden setingkat menteri. Mereka berasal dari kalangan pendukung Sukarno. Hadir pula kubu anti-komunis yang kemudian malah berbalik menurunkan Bung Karno dari tampuk kekuasaan.
Kabinet Penyelamat Demokrasi Terpimpin
Sejak Dekrit Presiden 1959 dikeluarkan, kekuasaan Bung Karno tidak pernah dipertanyakan secara terbuka. Bahkan, ia kian populer hingga dinobatkan sebagai presiden seumur hidup. Namun, kondisi ini berbalik 180 derajat tatkala peristiwa 30 September 1965 membangkitkan amarah dan sikap anti-komunis di kalangan mahasiswa.
Menurut catatan Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2007: 565), sejak 8 Oktober 1965, para pemuda sudah mulai menyapu jalan-jalan seraya meneriakkan tuntutan pembubaran PKI. Aksi serupa dilanjutkan dengan membentuk serangkaian front pelajar yang terdiri dari Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) di bawah perlindungan tentara.
Pada bulan yang sama, aksi penculikan dan pembunuhan terduga PKI mulai menyebar ke berbagai daerah. Akibatnya, Sukarno mulai kesusahan mempertahankan ideologinya. Mau tidak mau ia pun harus turut mendekatkan diri kepada kekuatan militer yang semakin dominan. Dalam suasana genting, pada Februari 1966, Sukarno melakukan usaha terakhir untuk menyelamatkan Demokrasi Terpimpin dengan jalan melakukan reshuffle kabinet yang pertama dalam sejarah Indonesia
Pada 12 Februari 1966, secara resmi Presiden mengumumkan susunan Kabinet Dwikora II yang merupakan penyempurnaan dari Kabinet Dwikora I. Dalam pidatonya di Istana Merdeka, Sukarno menolak saat disebut merombak kabinet atas dasar memenuhi tuntutan KAMI yang termaktub dalam Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Sukarno juga enggan mengakui jika ide reshuffle kabinet datang dari tuntutan PKI beberapa bulan sebelum peristiwa di pengujung bulan September 1965.
"Disesuaikan dengan tingkatan revolusi pada waktu ini. Itulah yang menjadi sebab saya mengadakan reshuffle daripada Kabinet Dwikora ini. Bukan oleh karena tuntutan, bukan oleh karena demonstrasi-demonstrasi yang gila-gilaan!" kata Sukarno seperti dikutip dari Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Sukarno 30 September 1965 - Pelengkap Nawaksara (2014: 398).
Hanya Sesaat
Kabinet Dwikora II secara resmi dilantik pada 24 Febaruari 1966. Menurut susunan kabinet yang sudah dipaparkan Sukarno di sela pidatonya pada tanggal 12 Februari, perombakan ini memasukkan tidak kurang dari 132 nama calon menteri dan pembantu presiden setingkat menteri. Mereka dibagi ke dalam 14 kompartemen dengan melibatkan lima wakil perdana menteri yang tergabung dalam sebuah Presidium.
Kabinet Dwikora II sebenarnya bukan satu-satunya kabinet Sukarno yang memiliki lebih dari 100 menteri. Sebelumnya, Kabinet Dwikora I sudah melibatkan 101 orang menteri. Jumlah ini bertambah tatkala Kabinet Dwikora yang disempurnakan tetap mempertahankan menteri-menteri lawas sembari menambah daftar panjang nama-nama dari kalangan tentara.
Dalam Gangsters and Revolutionaries (2008: 183), Robert Cribb memaparkan keterlibatan Imam Syafei sebagai Menteri Negara Urusan Keamanan Kabinet Dwikora II. Syafei disebutkan pernah berprofesi sebagai ketua preman Senen sebelum bergabung menjadi tentara dan aktif di Divisi Siliwangi. Saat sudah aktif berdinas pun Imam masih kerap menertibkan geng-gengnya yang berada di Senen.
Berdasarkan tulisan Cribb, Imam memiliki kemampuan memobilisasi massa untuk kepentingan demonstrasi politik di Jakarta. Dengan meminjam kemampuan Imam, Sukarno berharap arus demonstrasi KAMI yang menginginkan pemakzulannya dapat dihambat. Salah satunya dengan jalan mengerahkan preman-preman anti-KAMI ke kampus-kampus dan jalanan.
Melalui tulisan Baskara T. Wardaya yang bertajuk Membongkar Supersemar! Dari CIA Hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno (2009: 77-78) diketahui bahwa demonstrasi mahasiswa KAMI tidak kunjung surut menjelang pelantikan Kabinet Dwikora II. Akibatnya, para menteri terpaksa berjalan kaki atau naik helikopter untuk menghindari kepungan mahasiswa.
Alasan mahasiswa KAMI bertahan mengepung Istana Negara tidak lain akibat keputusan Sukarno mempertahankan orang-orang kiri seperti Omar Dhani dan Subandrio dalam Kabinet Dwikora II. Selain itu, pemecatan Nasution dari jabatan Menteri Pertahanan sedikit banyak menimbulkan perasaan tidak senang para mahasiswa. Akibatnya, para mahasiswa menjuluki kabinet tersebut dengan nama Kabinet Gestapu dan Kabinet Seratus Menteri.
Bentrokan mahasiswa pun tidak terhindari dan menghasilkan korban jiwa dari kalangan pelajar. Kondisi ini memicu amarah dan menimbulkan perlawanan yang semakin gencar. Pada akhirnya, Sukarno memutuskan untuk membubarkan KAMI melalui Komando Ganyang Malaysia (Kogam).
Kendati dibubarkan secara paksa, mahasiswa tidak gentar karena mendapat perlindungan dari tentara. Bahkan, mereka berani melayangkan tuntutan agar Sukarno segera menyerahkan kekuasaannya kepada pihak militer agar ketertiban di Jakarta dapat segera pulih.
Di saat bersamaan, Letjen Soeharto semakin gencar mendesak Sukarno untuk memberhentikan beberapa nama menteri dari keseluruhan 132 menteri Kabinet Dwikora II. Dengan alasan pemulihan ketertiban, Soeharto pun berhasil mengantongi Surat Perintah Sebelas Maret. Bukannya meredam amarah mahasiswa, Soeharto konsisten pada rencananya mencopot menteri-menteri simpatisan Sukarno.
Orang-orang seperti Omar Dhani, Subandrio, dan Imam Syafei diciduk dan diberhentikan satu persatu. Kabinet Dwikora II pun ambruk dan dirombak kembali menjadi Kabinet Dwikora III pada 30 Maret 1966. Tiga serangkai pendukung Orde Baru: Soeharto, Hamungkubuwono IX, dan Adam Malik naik untuk memimpin kabinet reshuffle yang baru sekaligus mengakhiri masa dinas Kabinet Seratus Menteri yang hanya sesaat (32 hari).
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara