tirto.id - Di atas meja berbentuk oval panjang di Kastil Ridderzaal, sebuah perundingan amat penting digelar. Sejak 2 November 1949 para perwakilan dari Kerajaan Belanda, Republik Indonesia, dan Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO, komisi yang mewadahi negara-negara boneka bikinan Belanda) mengadakan permufakatan untuk menentukan titik akhir kolonialisme Belanda di negeri jajahannya.
Dalam perundingan yang dikenal dengan nama De Ronde Tafel Conferentie (RTC)—orang Indonesia menyebutnya Konferensi Meja Bundar (KMB)—itu, Belanda sepakat melepas cengkeraman kekuasaannya atas Indonesia. Kesepakatan ini ditandatangani pada 27 Desember 1949, tepat hari ini 71 tahun lalu.
Selama ini KMB dimaknai orang-orang Indonesia sebagai 'pengakuan kedaulatan' terhadap pemerintahan RI yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Sementara bagi Belanda, KMB diartikan sebagai 'penyerahan kedaulatan' (souvereiniteitoverdracht).
Tetapi, apakah Belanda benar-benar ‘mengakui’ kedaulatan Indonesia setelah itu?
Butuh waktu 56 tahun bagi Belanda untuk mengubah pandangan resminya atas kedaulatan Indonesia. Selama rentang waktu tersebut, Belanda tidak mengakui secara resmi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Bernard Bot, Menteri Luar Negeri Belanda yang dilahirkan di Batavia pada 21 November 1937, menjadi delegasi pemerintah Belanda dalam perayaan HUT RI ke-60 pada 17 Agustus 2005 di Istana Negara. Inilah untuk pertama kalinya seorang pejabat senior Belanda menghadiri upacara peringatan kemerdekaan RI.
Seperti yang ditunjukkan arsip video Associated Press (AP Archive), seusai menghadiri upacara peringatan kemerdekaan RI di Istana Negara, Bot menyatakan di depan awak media bahwa Belanda telah menerima "deklarasi kemerdekaan Indonesia pada 1945 secara politik dan moral." Meski demikian pernyataan itu memancing perdebatan publik di Indonesia karena tidak diiringi permintaan maaf atas aksi militer Belanda yang dilakukan sepanjang 1945-1949.
Kemenangan Militer, Kekalahan Diplomatik
KMB bermula dari tersudutnya posisi Belanda di kancah politik internasional akibat Agresi Militer II pada 18 Desember 1948 yang mereka nyatakan sebagai 'aksi polisionil' atau ‘pemulihan keamanan’. Dalam sehari saja, Belanda berhasil menduduki ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta, dan menangkap para pemimpin Republik, di antaranya Sukarno, Hatta, Agus Salim, serta seluruh jajaran kabinet yang berada di tempat. Menurut M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2012:347), penangkapan pemimpin Republik merupakan keuntungan besar bagi Indonesia. Meski secara militer Indonesia tidak punya kekuatan seimbang dibandingkan Belanda, peristiwa ini menjadi titik balik keberpihakan dunia kepada Indonesia.
Beruntung, sebelum ditangkap Belanda, Presiden Sukarno sempat mengirimkan mandat kepada Syafruddin Prawiranegara untuk mempertahankan eksistensi Republik dengan mendirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra Barat. Sukarno juga menugaskan Dr. Soedarsono, L.N. Palar, dan A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi untuk menyiapkan pemerintahan cadangan di India jika PDRI gagal. Ketiga tokoh itu pun berupaya menggalang dukungan internasional untuk mendesak Belanda segera menghentikan agresi militer dan membebaskan para pemimpin Republik.
Jurus-jurus diplomasi para pemimpin Republik itu cukup ampuh untuk membuat Belanda tersudut, apalagi AS juga ikut mendesaknya. Tidak butuh waktu lama, dunia internasional segera merespons agresi itu. Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) membatalkan cuti Natal demi mengadakan sidang untuk membahas Indonesia. Hasilnya, pada 28 Januari 1949 DK PBB mengeluarkan sebuah resolusi menuntut penghentian aksi provokasi dan pembebasan Sukarno beserta jajaran kabinetnya.
DK PBB menganggap tindakan Belanda telah mengabaikan upaya untuk memelihara perdamaian dunia pasca-Perang Dunia II. Guna menghindari konflik yang semakin memanas, Komisi Tiga Negara (Committee of Good Office) pun dibentuk. Anggotanya terdiri dari Amerika Serikat, Belgia, dan Australia. Lembaga ini berperan sebagai perantara internasional yang mengawal jalannya upaya damai di Indonesia. Setelah Agresi Militer II, badan ini diperkuat dalam wadah bernama United Nations Comission for Indonesia (UNCI).
Sementara itu di dalam negeri, militer Indonesia melakukan serangan balik pada 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Serangan ini, meski tidak berlangsung lama, menjadi tanda bahwa Republik Indonesia masih eksis. Solidaritas dunia tertuju kepada Indonesia sehingga Belanda berada di posisi yang tidak menguntungkan. Belanda terpaksa berkompromi dengan Indonesia melalui penandatanganan Perjanjian Roem-Roijen pada 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta yang berisi kesepakatan untuk mengembalikan pimpinan Republik ke Yogyakarta dan mengadakan gencatan senjata.
Perjanjian inilah yang menjadi titik balik dalam konflik diplomatik Indonesia dengan Belanda. Hasil paling signifikan bagi Indonesia dalam Perjanjian Roem-Roijen ialah kembalinya pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Setelah itu upaya penyelesaian konflik Indonesia-Belanda dapat berlanjut dan akhirnya berujung pada KMB.
Pengakuan atau Penyerahan?
Sebelum KMB, pemerintah RI memang sudah mengadakan perundingan dengan BFO. Tetapi, setelah Agresi Militer II, sebagaimana dicatat Ricklefs, mayoritas anggota BFO bersimpati terhadap perjuangan Republik (hlm. 349).
Pertemuan itu terlaksana pada Konferensi Inter-Indonesia yang terselenggara dua kali, yaitu pada 19-22 Juli 1949 di Hotel Tugu Yogyakarta dan pada 31 Juli-3 Agustus 1949 di Jakarta. Seperti diungkap dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI (2010: 261),konferensi ini menghasilkan kesepakatan mengenai bentuk negara yaitu federasi dengan nama negara Republik Indonesia Serikat (RIS), membentuk Panitia Persiapan Nasional (PPN) untuk menyiapkan penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada RIS, serta kesepakatan lainnya tentang pemerintahan dan militer.
KMB dimulai pada 23 Agustus 1949. Berdasarkan laporan Belanda kepada DK PBB tanggal 8 November 1949 halaman 13 (Nationaal Archief, 2.10.14:2979), pembahasan terdiri dari lima isu yaitu politik dan konstitusi, ekonomi dan finansial, militer, kultural, serta sosial. Semua pembahasan dilakukan di bawah komite pengarah yang terbentuk pada 24 Agustus 1949.
Pada umumnya semua pembahasan isu berjalan dengan baik, walau terjadi perdebatan sengit soal wilayah Papua dan masalah ganti rugi utang Belanda. Ide Anak Agung Gde Agung dalam Twenty Years Indonesian Foreign Policy 1945-1965 (1973: 70) mengungkapkan bahwa perundingan berhasil mencapai kesepakatan dengan menghasilkan Piagam Kedaulatan, Statuta Persatuan, dan kesepakatan di semua isu.
Salah satu yang paling penting, KMB menyepakati penyerahan kedaulatan atas Hindia Belanda dari Belanda kepada RIS selambat-lambatnya pada akhir Desember 1949 (Surat Perjanjian Penyerahan Kedaulatan Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia, ANRI, Kempen RIS.Wilayah DKI Jakarta 1950.1147).
Jika menelusuri lebih jauh pada poin tersebut, istilah 'pengakuan' atau 'penyerahan' kedaulatan tidak menjadi soal yang pelik dalam perundingan itu. Bahkan Belanda menyatakan bahwa penyerahan kedaulatan kepada RIS "dengan demikian mengakui Republik sebagai negara merdeka dan berdaulat" (Nationaal Archief, 2.10.14:2984).
Kaum Republikan juga tidak mempersoalkan istilah tersebut. Ini terlihat pada Nota dari PPN tanggal 6 Desember 1949 bertajuk ‘Tjara Penjerahan Kedaulatan’ yang menginformasikan protokol upacara penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949 (Nationaal Archief, 2.10.14:2984).
Pemilihan istilah 'penyerahan kedaulatan' (souvereiniteitoverdracth) pada awalnya tidak menjadi pembicaraan utama dalam historiografi Indonesia. Tetapi dalam beberapa buku yang menceritakan periode Revolusi kerap disinggung bahwa KMB merupakan peristiwa "penyerahan pengakuan kedaulatan Indonesia". Artinya, jika Belanda hanya 'menyerahkan' tanpa 'mengakui', ia seolah-olah melepaskan tanggung jawab kolonialismenya.
Di sisi lain, bila Belanda menggunakan konsep 'pengakuan kedaulatan', maka negeri bertanah rendah di Eropa barat itu bisa dianggap takluk dan menyerah kepada Indonesia.
Melalui KMB, Belanda sebenarnya tidak menyerahkan kedaulatan penuh kepada Republik Indonesia. Belanda lebih memilih menyerahkannya kepada BFO, "boneka" yang ia ciptakan sendiri. BFO dilibatkan dalam perundingan dan karena itulah aspirasi pembentukan Republik Indonesia Serikat terus bergema.
==========
M. Tris Hadi Pratama adalah arsiparis di Arsip Nasional Republik Indonesia dan alumnus Program Studi Ilmu Sejarah FIB UI.
Editor: Ivan Aulia Ahsan