Menuju konten utama

Bahaya Wacana Pengawasan Media Sosial yang Digagas Kominfo

Pembentukan lembaga pengawasan media sosial dinilai berbahaya lantaran mengancam kebebasan berekspresi dan hak memperoleh informasi.

Bahaya Wacana Pengawasan Media Sosial yang Digagas Kominfo
Budi Arie Setiadi memberikan hormat jelang dilantik sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) di Istana Negara, Jakarta, Senin (17/7/2023). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/foc.

tirto.id - Wacana pembentukan satgas pengawasan media sosial yang digagas Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi menuai kritik dari masyarakat. Pembentukan lembaga ini dinilai berbahaya lantaran mengancam kebebasan berekspresi dan hak memperoleh informasi.

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menyatakan pembentukan lembaga pengawasan medsos oleh Kominfo berpotensi bermasalah.

"Pembentukan lembaga pengawas konten media sosial di bawah Kominfo akan membuat runyam tata kelola konten di Indonesia, karena khawatirnya malah membuka ruang yang lebih besar pada pemerintah untuk melakukan moderasi dengan pendekatan yang sangat punitif, ini perlu kita wanti-wanti," kata Peneliti ELSAM Parasurama Pamungkas kepada reporter Tirto, Kamis (20/7/2023).

Parasurama menyarankan Kominfo sebaiknya fokus membenahi moderasi konten agar lebih transparan dengan tujuan yang sah dan benar-benar diperlukan. Ia juga mendorong pemerintah memperjelas definisi meoderasi konten.

Dia melihat pemerintah saat ini masih mengedepankan penurunan (takedown) konten medsos, sementara penafsiran konten yang dibatasi masih penuh diskresi.

"Justru revisi ketentuan ketentuan moderasi konten di permenkominfo 5/2020 dan peraturan pemerintah 71/2019 lebih penting ketimbang mengadakan lagi lembaga seperti ini," ujarnya

Pembentukan satgas pengawasan media sosial ini sulit untuk tidak dikaitkan dengan tahun politik menjelang Pemilu 2024. Lembaga ini rentan diselewengkan untuk membungkam kritik dan menutup akses informasi terhadap calon tertentu. Apalagi latar belakang Menkominfo Budi Arie merupakan pemimpin organisasi pendukung Presiden Joko Widodo, Pro-Jokowi (Projo).

"Perlu kita lihat juga konteks tahun politik, karena beberapa produk itu punya potensi mengancam kebebasan berekspresi dan hak memperoleh informasi," kata Parasurama.

Pembatasan Konten Medsos Mesti Mengacu pada HAM

Pembentukan satgas pengawasan media sosial dinilai tidak mendesak. Tak ada pula jaminan bahwa lembaga ini tak akan disalahgunakan pada masa mendatang.

Direktur Eksekutif ELSAM Wahyudi Djafar menilai instrumen yang ada di Kominfo saat ini dengan pendekatan aduan sudah cukup memadai. Ia berpandangan tidak perlu ada tim moderasi konten, dalam hal ini lembaga pengawasan media sosial.

Menurut Wahyudi, kebutuhan saat ini adalah penyempurnaan regulasi, bukan pembentukan tim pengawasan medsos. Ia mencontohkan ketentuan Pasal 40 Ayat 2 Huruf p Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) masih memberikan ruang yang besar dalam pembatasan dan penurunan konten.

"Jadi itu (kewenangan membatasi dan mengawasi Kominfo) terlalu mutlak, wewenangnya pemerintah dan prosedurnya juga jauh dari standar-standar yang semestinya mengacu pada prinsip-prinsip pembatasan hak asasi manusia (HAM)," kata Wahyudi, Kamis.

"Konten itu bagian dari hak atas informasi dan juga kebebasan berekspresi. Setiap tindakan pembatasan terhadap konten mestinya juga mengacu pada standar hak asasi manusia," imbuhnya.

Wahyudi menyampaikan persoalan lain yang perlu diperhatikan adalah definisi konten ilegal. Ia menilai pasal 27-29 UU ITE masih terlalu luas dalam mendefinisikan konten ilegal.

Menurut Wahyudi, satgas pengawasan media sosial ini mengembalikan posisi Indonesia pada saat Kemenkominfo dipimpin Tifatul Sembiring. Ia mengatakan saat itu Tifatul berupaya membentuk tim panel konten dengan dasar hukum keputusan menteri yang juga memicu polemik serupa.

"Satgas ini kan kemudian bisa dipersamakan dengan isu panel konten pada saat itu," kata dia.

Wahyudi menilai permasalahan konten media sosial sebaiknya tidak dipegang pemerintah, tetapi diserahkan pada penyelenggara sistem elektronik (PSE). Ia mendorong PSE seperti Facebook, Twitter maupun Instagram membuat kebijakan internal dalam membatasi konten sesuai aturan masing-masing.

PSE dituntut untuk menyampaikan laporan terbuka kepada publik, misalnya selama 6 bulan berapa banyak akun yang dihukum dan alasannya.

Kominfo, kata Wahyudi, bertugas sebagai arbitrator atau sebagai badan banding atas putusan PSE yang dinilai tidak adil. Ketika putusan banding Kominfo dinilai tidak tepat, publik bisa menggugat ke pengadilan.

Dengan begitu, Kominfo tidak dibebani untuk menangani penindakan dan terkesan mengawasi sepihak. Pendekatan tersebut hanya bisa dengan cara merevisi UU ITE, apalagi Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 J ayat 2 menyatakan bahwa pembatasan hak harus berdasarkan undang-undang.

"Dorongan kami adalah bagaimana kominfo hari ini bisa mengajukan inisiatif untuk kemudian memperbaiki rumusan terkait dengan bagaimana seharusnya pembatasan terhadap konten internet dengan mengacu pada prinsip-prinsip hak asasi manusia," ujar Wahyudi.

Antara Ancaman terhadap Demokrasi dan Kedaulatan Negara

Wacana pembentukan lembaga pengawasan media sosial ini bak pisau bermata dua. Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi mengatakan ada tarikan antara kebutuhan kedaluatan negara dan menjaga nilai-nilai demokrasi.

Fahmi menjelaskan ruang digital termasuk media sosial banyak ditafsirkan sebagai masa depan demokrasi. Selain bebas berpendapat, juga tidak ada batasan ruang dan waktu. Akan tetapi, kata Fahmi, ruang digital juga mengikis peran negara yang bermuara pada ide stateles atau ketiadaan negara.

"Nah, hal ini kemudian memunculkan paradoks keamanan... Di satu sisi, hak-hak privasi harus dijaga. Di sisi lain, ada kebutuhan yang mengharuskan otoritas untuk mengakses ruang privasi digital masyarakat dengan alasan keamanan," kata Fahmi, Kamis.

Ide pengawasan media sosial ini kembali mencuat seiring dinamisnya situasi politik menjelang Pemilu 2024. Bukan tidak mungkin, kata Fahmi, ruang siber jadi pembawa ajal bagi demokrasi.

"Kehadiran ruang digital termasuk media sosial seolah menjadi bumerang bagi demokrasi. Ruang digital/siber jadi arena politik kebencian dan polarisasi. Jadi arena anarki, di mana setiap orang bebas mengatakan apapun. Masalahnya, anonimitas membuat kebebasan berpendapat jadi tidak bertanggungjawab. Interaksi di media sosial jadi tempat luapan emosi dan caci maki," kata Fahmi.

Di satu sisi, masyarakat punya ruang untuk bebas berpendapat dan berekspresi. Di sisi lainnya, pemerintah memakai dalih keamanan siber dalam pembatasan dan pengawasan masyarakat di media sosial.

"Pemanfaatan ruang siber jelas merupakan hal yang tak terhindarkan serta dapat berkontribusi besar bagi masa depan demokrasi dan partisipasi masyarakat. Ruang siber sangat potensial untuk membantu masyarakat memiliki orientasi yang jelas, untuk membentuk opini dan persepsi, serta untuk menggalang partisipasi dan kolaborasi," Kata Fahmi.

Fahmi sepakat dengan yang disampaikan oleh Menkominfo Budi Arie Setiadi. Demokrasi, apalagi di ruang siber, masih punya masa depan. Peran negara sebagai regulator tidak boleh sampai hilang.

Meski begitu, Fahmi menekankan pemerintah harus mampu memfasilitasi ruang-ruang kebebasan berpendapat. Kemudian, pemerintah mesti memberikan definisi dan contoh yang jelas atas apa yang disebut sebagai kebaikan bersama.

"Tapi pemerintah harus mengetahui pula batasan intervensi yang dilakukan dan harus mampu bertindak sebagai regulator yang baik. Jika tidak, ruang siber justru dapat mematikan demokrasi dan mengancam kedaulatan negara sekaligus," kata Fahmi.

Menjawab soal potensi tim pengawas medsos mengacancam kebebasan berekspresi, Menkominfo Budi Arie Setiadai mengatakan pemerintah ingin menjaga ruang demokrasi. Pemerintah tidak ingin ada kegaduhan di dunia maya.

"Ruang demokrasi kita ini harus kami jaga. Pemerintah ini enggak ingin juga kita kembali ke masa lalu, gitu loh. Tapi kami juga mengimbau sosial media ini digunakan secara baik, secara bijak, secara beradab, gitu ya. Semua jangan jadi sosmed ini sumber kekacauan baru," kata Budi Arie saat ditemui di Kantor Kominfo, Jakarta Pusat, pada Kamis (20/7/2023).

Budi Arie mengatakan gagasan pengawasan media sosial dibawa oleh Plt Menkominfo Mahfud MD sebelum dirinya menjabat. Wacana pembentukan lembaga tersebut masih dalam penggodokan.

"Itu masih ada pembicaraan lebih lanjut karena kami tidak mungkin menutup ruang demokrasi, ini yang sudah kita perjuangkan 25 tahun ini menjadi masa yang mengerikan," kata Budi Arie.

Baca juga artikel terkait MENKOMINFO BUDI ARIE SETIADI atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Gilang Ramadhan