Menuju konten utama
Perusahaan Pelat Merah

Rekam Jejak Ahok di Pertamina & Peluangnya Diangkat jadi Dirut

Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok diisukan akan jadi Dirut Pertamina. Bagaimana peluang dan rekam jejak Ahok di Pertamina?

Rekam Jejak Ahok di Pertamina & Peluangnya Diangkat jadi Dirut
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati (kanan) berbincang dengan Komisaris Utama Basuki Tjahaja Purnama (kiri) saat pembukaan Pertamina Energy Forum 2019 di Jakarta, Selasa (26/11/2019). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/nz

tirto.id - Basuki Tjahaja Purnama (BTP) alias Ahok melempar senyum ketika menanggapi kabar dirinya akan menjadi Direktur Utama PT Pertamina (Persero). Ahok yang saat ini menjabat Komisaris Utama Pertamina mengatakan, isu pergantian jabatan akan selalu ramai bila yang dikaitkan adalah dirinya.

“Ya, makanya jadi ramai. Sudah isu sejak dari 3,5 tahun lalu,” ujar Ahok saat dikonfirmasi oleh Tirto soal rumor yang beredar di publik.

Kabar bahwa akan ada perombakan manajemen di perusahaan migas milik negara tersebut kembali santer terdengar. Bahkan isu yang beredar menyebut pucuk pimpinan Pertamina yang saat ini dipegang oleh Nicke Widyawati akan diganti.

Menteri BUMN, Erick Thohir menuturkan, pihaknya saat ini memang sedang melakukan penyesuaian setelah Rosan Roeslani bergabung di Kementerian BUMN sebagai wakil menteri BUMN II. Rosan menggantikan Kartika Wirjoatmodjo setelah Pahala Mansury digeser menjadi wakil menteri luar negeri.

Erick dan para wakil menterinya juga sudah memanggil manajemen perusahaan pelat merah itu perihal upaya percepatan target-target yang telah direncanakan. "Kalau saya kemarin manggil Pak Ahok, saya panggil direksi titik-titik, itu saya dengan bicara hal-hal yang saya pikir perlu percepat," jelasnya.

Hingga saat ini, lanjut Erick, belum ada potensi pergantian manajemen Pertamina dan belum ada rencana Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang akan membahas hal tersebut.

Rekam Jejak Ahok di Pertamina

Ahok memang bukan orang baru di Pertamina. Mantan Gubernur DKI Jakarta itu sudah mendapatkan Surat Keputusan (SK) ihwal pengangkatannya sebagai Komisaris Utama Pertamina dari Erick Thohir pada November 2019. Pengangkatan Ahok sempat diwarnai kontroversi dari eksternal dan internal perusahan migas tersebut.

Indikasi dari luar itu sudah tampak tatkala nama Ahok baru digadang-gadang menduduki posisi komisaris utama. Banyak sosok dari lingkaran Persaudaraan Alumni (PA) 212 dan partai-partai lawan PDIP menentang keras penunjukannya sebagai komisaris.

Sedangkan dari dalam, keterbatasan wewenang BTP sebagai komisaris menimbulkan potensi keterbatasan ruang gerak.

Tugas komisaris utama sebatas memberikan masukan kepada direksi, tak menyentuh level eksekusi. Mengingat rekam jejak Ahok yang lebih banyak seputar kepemimpinan ketimbang bidang minyak dan gas, tak sedikit yang menyayangkan kenapa tidak ditunjuk sebagai direktur utama saja.

Namun, Ahok menanggapi penilaian tersebut dengan enteng. Dia yakin tetap bisa berkontribusi meski kewenangan yang relatif terbatas. Terlepas dari berbagai pro-kontra soal posisinya, dia yakin bisa bersinergi dengan Nicke.

“Tugas saya bukan mencampuri bisnis Pertamina. Tugas saya mengurusi manajemennya. Beliau [Nicke] yang mengurusi bisnisnya,” tutur Ahok.

Kurang lebih setahun menjabat, pada September 2020, Ahok blak-blakan bicara tentang hambatan transformasi internal di Pertamina. Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam dialog bersama WNI di Amerika Serikat di kanal Youtube Amerika Bersatu. Pernyataan Ahok saat itu pun memicu kontroversi.

Salah satunya tentang permintaan agar Kementerian BUMN, induk Pertamina, dibubarkan saja. Ahok beralasan besarnya bidang cakupan bisnis sulit terpantau menteri. Sebagai gantinya dibentuklah super holding.

“Keputusan RUPS menentukan KPI (key performance indicator) di Kementerian BUMN. Harusnya Kementerian BUMN dibubarkan. Kita harus membangun semacam Temasek (BUMN Singapura). Semacam Indonesia Incorporations,” kata Ahok.

Ahok menambahkan, "Ini BUMN sudah beranak, cucu, cicit, canggah, seenaknya itu di bawah. Bagi bonus seenaknya. Kami enggak bisa kontrol lagi karena enggak punya orang.”

Seorang presiden pun, menurutnya, tak dapat mengontrol BUMN. Kendala sumber daya manusia lain di Pertamina adalah ‘status quo.’ Ia menyadari kehadirannya akan mengganggu orang-orang yang sudah nyaman. Ia memberi contoh, ada yang memancing amarahnya untuk lapor polisi atas sebuah ucapan tak patut dari pegawai.

Namun, Ahok berusaha tetap ‘dingin.’ Untuk duduk sebagai direksi dan mulus menjalankan usaha, Ahok juga mendapati ada lobi-lobi dengan kementerian. “Jadi direksi-direksi semua lobinya ke menteri, kan, yang menentukan menteri. Dan menurut saya, ada komisaris-komisaris ini titipan dari kementerian-kementerian,” katanya.

Ahok mengendus adanya kepentingan dari dewan eksekutif untuk mencari komisi atau “fee” dari aksi korporasi. Antara lain ketika membeli ladang minyak di luar negeri atau membeli LNG dengan harga mahal ketika harga pasar tengah menukik.

“Kalau menilai mereka (direksi) itu, ada tiga kemungkinan. Dia punya conflict interest. Ikut main. Ada dapat komisi, dapat fee. Kedua, dia enggak ikut main tapi juga takut mengganggu bawahnya, takut terjungkal dari posisi. Ini kan kursi nyaman,” imbuhnya.

Bongkar Fasilitas Kartu Kredit

Selang beberapa bulan kemudian, Ahok kembali membuat langkah yang menuai polemik. Dia mempersoalkan fasilitas mewah jajaran direksi dan komisaris, yaitu kartu kredit dengan limit hingga Rp30 miliar. Ia mengusulkan fasilitas itu dicabut agar Pertamina bisa lebih hemat.

“Kalau berani memakai, ya harus berani buka [laporan belanja]” kata Ahok pada Kamis (17/6/2021).

Gebrakan Ahok agar menghapus fasilitas kartu kredit ini tentu bukan tanpa alasan. Sebab, metode pembayaran tagihan kartu kredit dilakukan dengan cara autodebit langsung dari kas perusahaan. Sederhananya, apa pun transaksinya, berapa besar nominalnya, tak peduli itu untuk urusan korporasi atau pribadi, setiap transaksi langsung dibayar secara automatis oleh perusahaan.

Di sisi lain, kata Ahok, jajaran pejabat Pertamina tidak ingin membuka laporan soal pemakaian kartu kredit itu. Karena itu, kata dia, sebaiknya fasilitas itu dicabut.

“CC [credit card] itu yang direksi auto debit dari bank setiap ada tagihannya. Tidak jelas. Makanya kalau enggak mau lapor dan jelaskan, iya tutup saja,” kata dia.

Sengkarut kartu kredit perusahaan itu akhirnya dibawa dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Pertamina, Senin (14/6/2021). Hasilnya, disepakati fasilitas kartu kredit perusahaan yang dipegang para pejabat ditarik. Keputusan itu dikukuhkan dengan surat Direktur Keuangan Pertamina Emma Sri Martini.

Ahok membenarkan isi surat resmi tersebut. Lewat langkah pencabutan fasilitas itu, Ahok yakin ada banyak penghematan yang bisa diperoleh perusahaan. Ahok pun sempat memberikan hitungan, seberapa berapa anggaran perusahaan yang bisa dihemat jika kartu kredit korporat dicabut.

“Jika satu direktur dapat Rp200 juta/bulan dan pemakaian CC [kartu kredit] sampai Rp17 miliar/ setahun. Hitung saja jika seluruh grup direksi dan komisaris. Karena umumnya selalu mentok plafon pemakaian tiap bulan. Data tidak pernah diberikan dan tidak dibuka ke Dewan Komisaris,” kata Ahok.

Penghematan juga akan berlanjut pada penghapusan uang representatif. Uang ini adalah tunjangan di luar gaji yang keberadaannya bahkan tidak masuk laporan ke Dewan Komisaris.

Kantor Pusat Pertamina

Kantor Pusat Pertamina di Jl. Medan Merdeka Timur 1a, Jakarta Pusat. (FOTO/iStockphoto)

Kinerja Ahok Dipertanyakan

Namun, di tengah gebrakannya itu, anggota Komisi VII DPR, Syaikhul Islam sempat mempertanyakan kinerja perusahaan yang dipimpin oleh Komisaris Utama, Basuki Tjahja Purnama. Hal ini berkaitan dengan banyaknya kasus ledakan kilang minyak milik Pertamina.

“Kita pertanyakan kerjanya komisaris utama sebagai wakil dari pemegang saham (BUMN),” ujarnya.

Dari catatan Tirto, ledakan kilang minyak sudah terjadi dua kali pada tahun ini. Pertama, di Depo Pertamina Plumpang pada 3 Maret 2023. Selang sebulan kembali menimpa Kilang Minyak Putri Tujuh Pertamina Dumai, Riau Sabtu, 1 April 2023.

Kebakaran kilang tersebut memang bukan kali pertama. Di bawah kepemimpinan Nicke Widyawati dan Ahok, setidaknya terjadi rentetan peristiwa kebakaran kilang dalam waktu berdekatan. Mulai dari kebakaran kapal di Teluk Balikpapan pada Maret 2018 hingga kebakaran Kilang Pertamina Balongan pada 29 Maret 2021.

Kemudian pada 2021, Pertamina kembali menjadi sorotan akibat Kilang Cilacap terbakar pada November. Selang setahun berikutnya, Kilang Pertamina Balikpapan juga terbakar hingga dua kali. Tepatnya pada Maret 2022 dan Mei 2022.

Syaikul mengaku heran mengapa perusahaan nasional yang mendunia bisa memiliki track record manajemen risiko yang sangat buruk. Padahal perusahaan pelat merah itu punya portofolio yang baik juga merupakan perusahaan multinasional yang membangun jejaring bisnis tidak hanya di Indonesia, tapi juga di beberapa negara lain seperti Aljazair, Malaysia, Irak, Kanada, Prancis, Italia, Namibia, Tanzania, Gabon, Nigeria, Kolombia, Venezuela bahkan hingga Angola.

“Pak Ahok kerjanya apa ya? Atau jangan-jangan Pak Ahok sudah kerja, tapi gak digubris sama direksinya?" tukasnya.

Ahok lagi-lagi merespons santai. Ia menegaskan sudah memberikan arahan kepada pihak direksi di perusahaan pelat merah itu. Salah satunya fokus menangani Health, Safety, Security and Environment (HSSE) di Pertamina Group.

“Arahan saya ke direksi sudah jelas, apalagi ini sudah berulang kali terjadi dengan jarak waktu yang pendek,” kata Ahok saat dikonfirmasi.

Peluang Ahok jadi Dirut Pertamina

Pengamat BUMN, Herry Gunawan melihat, posisi Ahok tidak cocok menjadi direktur utama. Dia menilai Ahok lebih tepat sebagai regulator: pemerintah, pemda, atau anggota DPR.

“Bukan di bisnis, apalagi seperti Pertamina yang cenderung complicated. Baik dari sisi bisnis maupun stakeholder-nya," kata Herry kepada Tirto, Kamis (27/7/2023).

Dia menuturkan, jika sekiranya memang posisi Nicke Widyawati harus diganti, maka sebaiknya dipikirkan orang karier atau setidaknya profesional di bisnis. Karena Pertamina bukan hanya mencari laba, juga dituntut melayani kebutuhan publik.

“Ada PSO. Menjaga keseimbangan ini tidak mudah. Bu Nicke sudah menjalankannya dengan baik. Setidaknya itu yang terlihat secara kasat mata," ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga berpandangan, kualifikasi seseorang untuk menjadi dirut BUMN tentunya diperlukan kualifikasi kepemimpinan yang inovatif, berkomitmen dan memiliki integritas.

“Mengenai kepantasan seseorang untuk menjabat posisi dirut tersebut, pada akhirnya akan di bawah kewenangan Kementerian BUMN dan ditentukan oleh Tim Penilai Akhir (TPA)," ujarnya kepada Tirto.

Dia menilai, pergantian direktur BUMN itu wajar. Apalagi masa jabatnya sudah memasuki lima tahun. Namun apabila dari hasil penilaian ternyata kinerjanya bagus dan memberikan perubahan ke arah yang lebih baik, maka pertimbangan untuk melanjutkan masa kepemimpinannya juga merupakan langkah yang strategis.

“Mengingat kita sudah memasuki masa-masa tahun politik juga,” kata dia.

Pertamina RU V Balikpapan

Petugas melintas di depan jaringan pipa di kilang pengolahan minyak PT Pertamina (Persero) Refinery Unit V, Balikpapan, Kalimantan Timur. ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/aww.

Hindari Nuansa Politik

Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda mengatakan, jika melihatnya dari kacamata ekonomi politik, ini tentu menimbulkan pertanyaan kenapa harus Ahok yang menjadi direktur utama. Sebab, kata dia, Ahok bisa dibilang juga dari tokoh politik yang dulu dekat dengan kekuasaan.

“Terkait dengan rekam jejak saya sebenarnya tidak ragu dengan kemampuan Pak Basuki dalam bidang accounting dan sebagiannya," ujarnya kepada Tirto.

Namun jika dilihat dari sisi pengalaman minyak dan gas, mungkin bisa jadi patokan juga karena levelnya Ahok adalah komisaris utama. Tapi kalau levelnya adalah direktur utama mungkin harus ada pertimbangan lainnya.

"Ini mungkin saya rasa harus dihindari juga oleh pemerintah yaitu adalah pesan dari keputusan politik dalam penunjukan direktur utama Pertamina. Karena ini juga masih dalam tahun politik," katanya.

Dia menuturkan, Pertamina saat ini menjadi salah satu BUMN strategis di mana mengelola hajat hidup orang banyak dan juga sebagai perusahaan pelat merah terbesar. Sehingga tidak perlu diisi partisipan politik atau anggota parpol dan lainnya. Hal ini agar BUMN di Indonesia tekesan profesional, juga bisa mendorong kinerja BUMN yang lebih baik.

“Itu sih harapannya ini bisa dipertimbangan bahwa dirut Pertamina bukan dari orang yang terjun dari politik ataupun saat ini berkecimpung di politik," katanya.

Baca juga artikel terkait PERTAMINA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz