Menuju konten utama
SEMA Nomor 2 Tahun 2023

Menyoal Kepastian Hukum Anak dari Pasangan Nikah Beda Agama

Kemendagri sebut kepastian hukum bagi anak dari pasangan nikah beda agama tetap mengikuti keputusan pengadilan.

Menyoal Kepastian Hukum Anak dari Pasangan Nikah Beda Agama
Pernikahan Beda Agama. foto/IStockphoto

tirto.id - Fahri masih ingat jelas bagaimana perjuangan keras menikahi istrinya setahun lalu. Bentang jauh perbedaan agama antara Fahri dan sang istri bagaikan tembok beton yang membentengi cinta mereka.

Fahri – pria muslim berusia 31 tahun – tersebut, mengaku kukuh dan yakin untuk mempersunting sang istri yang beragama Katolik. Penolakan terbesar datang dari pihak keluarga besar Fahri, yang disebutnya sebagai muslim yang taat. Di sisi lain, keluarga sang istri kala itu membuka ruang pernikahan secara lebar bagi mereka berdua.

“Datang istri gue waktu itu, dia bisa nerima apa adanya kekurangan fisik dan keluarga gue. Gue ada tourette syndrome dia terima, dia dekat sama almarhum ibu gue, dia nemenin bokap gue sakit, keluarga kecil gue sudah nerima,” kata Fahmi menceritakan kisahnya kepada reporter Tirto, Rabu (26/7/2023).

Fahri melanjutkan cerita, kedua belah pihak keluarga kala itu akhirnya sepakat melangsungkan pernikahan dengan catatan harus dengan prosesi pernikahan masing-masing agama. Hari pertama, Fahri dan sang istri menikah secara agama Katolik. Hari kedua, mereka menikah dengan cara Islam. Fahri menyatakan, Kantor Urusan Agama (KUA) tidak mengizinkan pernikahannya, sehingga ia mencari sendiri penghulu untuk menikahkan secara Islam.

“Dan gue hanya memiliki surat nikah yang dikeluarkan oleh gereja karena istri Katolik. Dan karena beda agama, tidak ada upacara seperti pembaptisan dan komuni. Lalu ketika ijab qabul (secara Islam), istri diminta mengucapkan kalimat syahadat dulu,” jelas Fahri.

Kisah Fahri hanya gambaran kecil bagaimana rumitnya pasangan berbeda agama untuk menikah secara legal dan dicatat resmi oleh negara. Di Indonesia, pasangan berbeda agama setidaknya punya tiga cara untuk bisa dilegalkan secara administrasi kependudukan.

Pertama, melangsungkan perkawinan di luar negeri, kemudian mencatatkan perkawinan ke Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Kedua, pindah agama sementara – sebagaimana Fahri dan sang Istri – untuk bisa melangsungkan perkawinan. Ketiga, mengajukan permohonan penetapan pengadilan.

Upaya permohonan dan pencatatan legal pernikahan beda agama, belakangan ini banyak diperjuangkan lewat jalur Pengadilan Negeri (PN). Beberapa PN memang mulai mengabulkan permohonan pernikahan beda agama yang didasarkan pada UU Adminduk, putusan MA Nomor 1400/K/Pdt/1986, dan alasan sosiologis. Seperti di PN Surabaya, PN Yogyakarta, PN Tangerang, dan teranyar di PN Jakarta Pusat pada akhir Juni 2023.

Selain itu, jika melalui jalur penetapan pengadilan – maka akta kelahiran anak atau kepastian hukum – keturunan pasangan beda agama, akan tercatat dengan Ayah dan Ibu secara lengkap sebagaimana perkawinan umumnya. Sebaliknya, jika tidak lewat penetapan pengadilan, maka akta kelahiran anak hanya akan tertulis pihak Ibu atau disebut ‘akta Ibu.’ Itulah mengapa perjuangan permohonan dan pencatatan nikah beda agama lewat pengadilan belakangan banyak diupayakan.

Sayangnya, perjuangan dengan cara penetapan pengadilan kian menemui gerbang rapat. Pasalnya, MA mengeluarkan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 (SEMA) yang melarang hakim pengadilan mencatatkan pernikahan beda agama. SEMA tersebut mengacu pada Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 Huruf f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kedua pasal tersebut menegaskan, perkawinan yang sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan.

Keputusan MA mengeluarkan SEMA menuai banyak pertanyaan dari berbagai pihak. Salah satunya soal nasib kepastian hukum bagi anak pasangan pernikahan beda agama. Karena dalam SEMA tersebut, MA tidak menyentuh sama sekali nasib kepastian hukum bagi anak pasangan berbeda agama yang telah menikah, ataupun yang ingin melangsungkan pernikahan berbeda agama.

SEMA Tak Menyentuh Kepastian Hukum Anak

Salah satu yang meminta kejelasan hukum bagi anak dari pernikahan pasangan berbeda agama adalah Wakil Presiden Ma'ruf Amin. Ia menilai, SEMA memberi legitimasi bahwa pencatatan pernikahan beda agama tidak boleh dilakukan saat ini. Namun, Ma'ruf meminta MA memberi penjelasan hukum mengenai dampak edaran itu terhadap pasangan beda agama yang sudah lebih dulu tercatat.

“Yang sudah terlanjur ditetapkan itu seperti apa nanti. Apakah dibatalkan, apakah itu diberi semacam pengakuan itu nanti segi hukumnya Mahkamah Agung,” ujar Ma'ruf dalam keterangan pers di Semarang, Jawa Tengah, Minggu (23/7/2023).

Di sisi lain, Direktur Program Indonesia Conference on Religion and Peace (ICRP) Ahmad Nurcholish menilai, edaran MA yang meminta para hakim pengadilan menolak permohonan dan pencatatan pasangan yang menikah berbeda agama, akan berdampak besar pada keturunan atau anak mereka.

“Ini bukan hal sepele, jika anak hanya mendapatkan akta seorang Ibu (karena pernikahan orang tua tidak tercatat pengadilan) maka ibaratnya keberadaan sang Ayah terabaikan. Itu juga artinya hak si anak itu dalam mendapatkan perlindungan hukum terabaikan, inilah mengapa penting pencatatan (pengadilan) nikah beda agama,” ujar Nurcholish dihubungi reporter Tirto, Selasa (25/7/2023).

Nurcholish menambahkan, efeknya juga dapat berdampak pada psikologis anak. Jika dia hanya tercatat sebagai anak seorang ibu, kata Nurcholish, bisa muncul persepsi di masyarakat bahwa dia anak di luar pernikahan atau rentan mengalami perundungan di lingkungannya.

“Oleh karena itu, inilah yang harus dilihat juga oleh MA, jangan main-main dia menetapkan surat edaran yang padahal bisa menimpa banyak persoalan termasuk hak anak,” sambungnya.

Komentar senada juga dilontarkan peneliti dari Wahid Foundation, Alamsyah M Dja'far. Munculnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023 dapat meningkatkan intoleransi terhadap agama atau keyakinan tertentu, terutama bagi kelompok minoritas.

SEMA, jelas Alamsyah, dapat membangun pandangan umum bahwa mereka yang menikah beda agama dan anak keturunannya adalah orang-orang yang sesat dan bersalah karena melanggar hukum agama.

“Dalam sejumlah laporan terkait pelanggaran hak beragama berkeyakinan, anak-anak dari komunitas minoritas termasuk dari pernikahan beda agama mengalami diskriminasi dan perundungan di sekolah,” ungkap Alamsyah kepada reporter Tirto, Rabu (26/7/2023).

Alamsyah juga menilai bahwa SEMA Nomor 2 Tahun 2023 bertentangan dengan prinsip independensi peradilan, sebab sudah memutuskan untuk melarang mengabulkan permohonan pernikahan beda agama.

“Ini juga bertentangan dengan semangat pemerintah Joko Widodo - KH Ma’ruf Amin yang sedang memperjuangkan usaha-usaha melawan intoleransi dan membangun bangsa yang lebih toleran dan moderat,” tambah Alamsyah.

Staf Advokasi Lembaga Percik, Agung Waskitoadi juga membagikan pandangan pribadinya. Menurut Agung, seharusnya munculnya SEMA Nomor 2 Tahun 2023 tidak membatalkan status pernikahan pasangan berbeda agama yang sebelumnya sudah terjadi. Hal ini agar memberikan kepastian hukum bagi anak dari pasangan yang menikah berbeda agama.

“Ini pandangan pribadi bukan lembaga. Namun setidaknya yang sudah menikah dan mendapatkan akta anak seharusnya tidak berimbas. Artinya mereka itu sudah legal,” ujar Agung kepada reporter Tirto.

Agung menila SEMA Nomor 2 Tahun 2023 terlalu jauh mengatur hak individu warga negara. “Seakan-akan negara ingin mengatur ranah privat warganya,” kata Agung.

Kemendagri Tetap Ikuti Keputusan Pengadilan

Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Benny Irwan menyatakan, kepastian hukum bagi anak dari pasangan yang berbeda agama tetap mengikuti keputusan pengadilan. Hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006.

Artinya, kata Benny, anak yang dilahirkan dari perkawinan beda agama, apabila sudah dicatatkan perkawinannya berdasarkan penetapan pengadilan, maka statusnya adalah sebagai anak ayah dan ibu pada akta kelahiran. Akan tetapi jika belum dicatatkan perkawinan melalui penetapan pengadilan, maka anak tersebut hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya.

“Jadi di akta kelahirannya hanya dicantumkan nama ibunya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 48 Permendagri No. 108 Tahun 2019,” ujar Benny dihubungi reporter Tirto, Rabu (26/7/2023).

Benny juga menegaskan, SEMA tidak akan mempengaruhi status hukum pasangan berbeda agama yang pernikahannya telah dicatatkan oleh pengadilan sebelum SEMA keluar. Termasuk pada akta kelahiran anak mereka.

“SEMA tidak berpengaruh terhadap akta kelahiran anak yang lahir dari orang tua yang beda agama dan sudah mendapat izin dari pengadilan untuk dicatatkan. Akta tersebut tetap berlaku mengikuti sesuai sebelum SEMA,” sambung Benny.

Dikonfirmasi terpisah, Juru Bicara Mahkamah Agung, Suharto belum dapat memberikan jawaban mengenai respons MA terkait efek SEMA Nomor 2 Tahun 2023 terhadap status hukum anak dari pasangan pernikahan berbeda agama.

“Akan saya konsultasikan ke pimpinan dahulu terkait hal itu,” kata Suharto kepada reporter Tirto.

Suharto sebelumnya menjelaskan, keluarnya SEMA tersebut dimaksudkan untuk memberikan petunjuk bagi hakim dalam mengadili perkara permohonan pencatatan perkawinan antarumat yang berbeda agama dan kepercayaan.

Baca juga artikel terkait SOSIAL BUDAYA atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz