tirto.id - Isu pembelahan sosial atau polarisasi pada pesta demokrasi selalu mendapat atensi publik. Jika kondisi ini tidak bisa diantisipasi dengan baik, maka bukan tidak mungkin akan menyebabkan instabilitas politik.
Kekinian, jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, sejumlah kandidat bakal calon presiden kerap menampilkan gimik anti-polarisasi seperti saling melempar pujian, dan lain sebagainya.
Setidaknya sudah ada tiga nama yang digadang-gadang bakal berlaga di pesta demokrasi tahun depan. Mereka antara lain Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Rasyid Baswedan.
Prabowo, misalnya, kerap memuji dan mengunggah kebersamaan dengan kandidat capres lain seperti Ganjar dan Anies. Sejurus dengan itu, baik Anies ataupun Ganjar kerap menunjukkan gestur serupa.
Namun kebersamaan antar-bakal capres tidak berjalan lurus dengan kelakuan bawahan mereka. Para tim sukses dari masing-masing kandidat kerap berdialektika yang berpotensi memunculkan polarisasi.
Di antaranya adalah perdebatan dalam renovasi Jakarta International Stadium (JIS). Para pendukung Anies menuding pemerintah hendak merombak JIS sebagai bentuk mencoreng warisan Anies saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Tidak hanya dialektika di kubu pendukung Anies, kubu pendukung Prabowo juga panas dengan PDIP imbas kehadiran Budiman Sudjatmiko ke Kertanegara.
Keduanya, baik Prabowo maupun Budiman, sudah saling mengklarifikasi bahwa tidak ada pembicaraan politik di antara mereka. Namun, pertemuan Prabowo dan Budiman tetap dianggap PDIP sebagai genderang perang jelang Pilpres 2024.
Lantas, Budiman harus mendapat panggilan dari Dewan Kehormatan DPP PDIP akibat tindakannya. Mengetahui Budiman dipanggil DPP PDIP karena bertemu Prabowo, Gerindra tak mau ambil sikap. Mereka memilih diam dan menghormati kedaulatan partai lain.
Potensi polarisasi tidak hanya berada di bawah kendali para capres dan partai pendukungnya, namun juga ada di tangan Presiden Joko Widodo selaku pemimpin politik tertinggi negeri ini.
Jokowi yang segera mengakhiri masa jabatannya kerap mengumbar gestur politik memberi dukungan kepada bakal capres tertentu, semisal Prabowo dan Ganjar. Sedangkan kepada Anies, kepala negara tak pernah bersikap serupa. Mantan Gubernur DKI itu dipersepsikan sebagai antitesa Jokowi.
Imbas dari manuver politik tersebut pendukung Ganjar dan Prabowo kerap berebut klaim dukungan dari Jokowi.
Politik Jalur Tengah
Ketua DPP Partai Nasdem, Effendi Choirie alias Gus Choi mengamini bahwa tindakan Jokowi yang mengendorse capres tertentu menjadi salah satu sumber polarisasi. Ia meminta kepala negara menghentikan manuver politiknya serta tidak ikut cawe-cawe.
"Sekarang yang bikin polarisasi itu Jokowi. Penyakitnya ada di Istana," ujar Gus Choi saat dihubungi Tirto pada Selasa (25/7/2023).
Gus Choi ingin Presiden Jokowi menjalankan politik jalur tengah dan mengayomi semua partai yang menjadi peserta pemilu. Dengan demikian keadilan politik bisa dirasakan oleh semua pihak.
"Kita yang waras jangan kalah dan jangan ngalah. Kita yang harus memprakarsai pilpres yang demokratis, jujur, adil, damai dan bergembira ria," jelasnya.
Hilangkan Residu Konflik dan Perkuat Rekonsiliasi
Sekjen PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto menyadari bahwa partainya dengan Gerindra masih belum bisa membangun rekonsiliasi politik secara utuh.
Hasto menyebut sejumlah indikator atas pernyataannya tersebut. Di antaranya pendukung Prabowo yang cenderung masih fanatik dan tidak mau membuka diri dengan keberadaan PDIP atau capres Ganjar Pranowo.
"Namun berdasarkan hasil survei apa yang disebut pendukung Pak Prabowo ternyata belum bisa menerima seluruh kebijakan rekonsiliasi Presiden Jokowi. Pemilih Pak Prabowo cenderung masih bersikap negatif terhadap Pak Jokowi. Ini nampak dari preferensi di Sumbar dan Aceh. Hal itu juga disadari oleh Pak Prabowo dan tim pemenangannya sehingga mereka tidak berani memasang baliho Pak Jokowi dan Pak Prabowo di basis wilayah yang mendukung Pak Prabowo dalam Pilpres 2014 dan 2019," tutur Hasto.
Hasto mengklaim telah melakukan sejumlah upaya untuk membangun rekonsiliasi agar pemilu terutama Pilpres 2024 bisa berlangsung damai. Namun dia beranggapan upaya itu masih belum berjalan maksimal.
"Sejak awal kebijakan politik akomodatif yang ditunjukkan oleh Presiden Jokowi dengan dukungan sepenuhnya dari Ibu Megawati Soekarnoputri, maka proses rekonsiliasi pasca Pilpres 2019 dapat terjadi dengan baik. Terlebih ketika menghadapi pandemi," ungkapnya.
Hal senada juga dirasakan Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah. Ia menyebut polarisasi di akar rumput masih terasa hingga saat ini. Hal itu diakibatkan oleh residu konflik yang tersisa dari Pemilu 2014 dan 2019.
"Suasana akar rumput memang tidak bisa berakhir begitu saja karena membawa akibat dari politik pembelahan dan polarisasi pada periode pemilu sebelumnya. Karena itulah kita harus memperkuat wacana rekonsiliasi kembali," ucap Fahri.
Berbeda dengan Nasdem yang meminta Jokowi untuk netral dalam Pilpres 2024, Fahri justru merasa Jokowi harus turun tangan untuk meredakan polarisasi. Dalam tafsirnya, pernyataan cawe-cawe Jokowi adalah demi memperkuat narasi rekonsiliasi pilpres damai.
"Jika Pak Jokowi memang merasa polarisasi itu yang harus dihentikan apabila menjadi semakin ekstrem dan merugikan maka tentu kita menghargai keinginan beliau untuk mengakhiri polarisasi itu. Ini sejalan dengan narasi rekonsiliasi yang kami usulkan," terangnya.
Keadilan untuk Semua Kandidat Capres
Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu, Kaka Suminta menyebut salah satu kunci pemilu terutama pilpres bisa berlangsung damai adalah sikap pemerintah yang bisa mengayomi semua kelompok pendukung capres. Bukan hanya berpihak pada salah satu saja.
"Yang harus dilakukan pemerintah terutama Presiden Jokowi adalah merangkul semua pihak semua elite partai politik," kata Kaka Suminta.
Kaka menambahkan bergabungnya Prabowo ke dalam Kabinet Indonesia Maju masih belum cukup untuk menyelesaikan residu konflik yang tersisa dari Pilpres 2019. Hal itu dia lihat dari banyaknya masyarakat yang belum meyakini bahwa Jokowi tulus ikhlas mengajak Prabowo menjadi menteri.
"Masih ada rasa ketidakadilan yang masih muncul di benak publik dan ini potensial untuk kemudian bahwa ini masih ada konflik," imbuhnya.
Tidak hanya merangkul kubu Prabowo, Jokowi juga diminta merangkul tim pendukung Anies Baswedan. Dirinya beranggapan apa yang dilakukan Anies untuk bertemu dengan Puan Maharani atau pengurus DPP PDIP lainnya masih belum mengurangi potensi konflik dalam putaran Pilpres 2024 mendatang.
"Tapi walaupun sudah ada komunikasi misalnya antara Mbak Puan dengan Mas Anies tapi tidak nampak sinyal kuat dari Pak Jokowi sendiri untuk berada di semua sisi," pungkasnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Fahreza Rizky