tirto.id - Kunjungan politikus PDI Perjuangan Budiman Sudjatmiko ke kediaman Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto di Kertanegara, Jakarta Selatan pada Selasa (18/7/2023) dinilai mengejutkan banyak pihak. Budiman dan Prabowo berasal dari dua kutub yang berbeda pada era Orde Baru.
Budiman, aktivis reformasi 1998, yang saat itu lantang menentang kepemimpinan Presiden Kedua RI Soeharto dan Prabowo seorang petinggi militer yang kerap dituding menghilangkan sejumlah aktivis. Namun, karena politik, keduanya disatukan dalam meja makan dan kepentingan yang sama.
Sebenarnya, kedekatan Prabowo dan aktivis 1998 bukan hal yang baru. Sejumlah politisi dan mantan aktivis 1998 tercatat dekat dengan Prabowo, bahkan mendirikan partai Gerindra, yakni Fadli Zon. Lalu ada mendiang Desmond Junaidi Mahesa yang sempat menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra dan Fadli Zon.
Namun, hal itu berbeda dengan Budiman yang sebelumnya cukup getol mengkritik Prabowo dalam Pilpres 2014 dan 2019. Dia berubah 90 derajat menjadi orang yang mendoakan Prabowo agar bisa menjadi penerus Jokowi pasca 2024.
“Saya berharap Pak Prabowo sehat, teruskan tugas, tunaikan tugas, dan saya ingin orang Indonesia layak untuk mendapatkan orang terbaik, salah satunya Pak Prabowo,” kata Budiman.
Apa yang disampaikan Budiman pada Selasa malam serupa dengan perkataan Fahri Hamzah. Dalam podcast Tirto, Fahri menyampaikan bahwa Prabowo bisa menjadi presiden penerus Jokowi.
Saat dikonfirmasi soal isu penculikan aktivis 1998 yang hingga kini belum selesai, dan sejumlah korban selalu menuntut pertanggungjawaban negara maupun Prabowo. Fahri menyebut hal semacam itu adalah isu yang sengaja dibuat setiap jelang Pemilu demi menjegal Prabowo.
"Dengan penculikan itu cerita basi yang tidak ada prove-nya. Belum datangkah waktunya untuk berhenti memfitnah orang itu. Berhenti bersikap buruk dengan orang itu. Terbukti dia sekarang memimpin kementerian paling strategis disitu banyak tombol senjata dan perang, aman saja selama 5 tahun. Saya bilang ini gilirannya Prabowo," kata Fahri Hamzah.
Selain di level aktivis sipil, Prabowo juga gencar mendekati para jenderal militer yang lekat dengan 1998. Prabowo bertemu dengan mantan KASAD di era 1998-1999 Subagyo HS dan mantan Panglima ABRI Wiranto. Kedua orang itu memiliki peran dalam proses memberhentikan Prabowo dari dinas militer dengan pangkat akhir letnan jenderal.
Proses pendekatan Prabowo kepada seniornya di militer itu berbuah dukungan. Subagyo memberikan rumah Jenderal Soedirman di Jogja sebagai rumah pemenangan bagi Prabowo dalam Pilpres 2024.
"Besok Pak Prabowo jadi presiden, kita dukung, kita bantu, apa yang kita bisa kita berikan. Kekompakan kita nomor satu. Terimakasih," kata Subagyo dalam acara reuni akbar dan halal bihalal Purnawirawan Pejuang Indonesia Raya (PPIR) di Jogja Expo Center (JEC), Yogyakarta, Rabu (3/5/2023).
Adapun Wiranto selain menyatakan dukungan, juga menyerahkan beberapa kadernya untuk bergabung dengan Gerindra dan diikutkan untuk mendukung Prabowo.
"Sekarang adik saya, sahabat saya, kolega saya, silakan maju," kata Wiranto.
Aktivis 1998 di Lingkaran Capres
Keberadaan aktivis 1998 tidak hanya ada di kubu Prabowo saja, di kubu Ganjar Pranowo maupun Anies Baswedan juga ada. Hanya saja, keberadaan aktivis 1998 bersama Prabowo selalu menjadi perdebatan baik dari sesama aktivis maupun publik yang memperhatikan.
Salah satu kritik dari aktivis 1998 yang kini aktif menjadi Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani. Dia mempertanyakan apakah Budiman sedang berdamai dengan masa lalunya demi kepentingan masa depan politiknya dan kemenangan Prabowo di Pilpres 2024.
"Mungkin saja ini bagian dari positioning. Kalau Prabowo menang, Budiman bisa mendapat bagian dari kekuasaan. Dia berdamai dengan masa lalu demi kepentingan masa depannya," kata Benny.
Benny menilai, pilihan politik Budiman tersebut tetap dianggap melukai kawan-kawannya yang sesama aktivis. Terutama dari orang tua 13 aktivis yang dibunuh dan keberadaannya belum diketahui hingga saat ini. Oleh karenanya kepentingan Budiman atau aktivis 1998 lainnya untuk rekonsiliasi nasional hanya bersifat apologis dan bukan ideologis.
"Kalau caranya benar, rekonsiliasi besar juga kita inginkan. Cara yang benar walaupun harus datang ke Prabowo, yaitu meminta ke Prabowo untuk menyampaikan kepada Prabowo dengan syarat mau tidak meminta maaf kepada rakyat. Kita boleh memaafkan tapi tidak melupakan," tegasnya.
Menanggapi kritik bahwa kedatangan Budiman ke rumah Prabowo hanya sekedar demi kepentingan elektoral, Sekjen DPP Partai Gerindra Ahmad Muzani membantahnya.
Muzani tidak ada kaitan antara pertemuan dengan Budiman Sudjatmiko dengan upaya menghapus isu peristiwa 1998 yang selalu berulang setiap Pemilu. Menurutnya, Budiman dan Prabowo saling bertukar pikiran mengenai berbagai isu.
"Itu murni bicara tentang perlunya Indonesia memiliki pemikiran-pemikiran dari seorang pemimpin yang memiliki cakrawala dan menembus masa depan yang baik," ujarnya.
Saat dikonfirmasi apakah ada ajakan dari Prabowo kepada Budiman agar masuk ke Gerindra, Muzani membantahnya. Muzani mengklaim bahwa Prabowo menghargai setiap pilihan politik setiap orang tanpa harus memaksa.
"Tidak dibicarakan, tidak dibahas, sama sekali tidak dibicarakan dan dibahas akan tetapi kami menghargai pilihan politik Pak Budiman, beliau adalah seorang kader PDI Perjuangan," tegasnya.
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno menjelaskan bahwa keberadaan aktivis 1998 memiliki posisi penting pada kemenangan Prabowo. Karena Prabowo harus selalu menanggapi serius soal isu 1998 di setiap dia maju Pilpres.
Dengan keberadaan para aktivis, kemudian ditambah Budiman, Prabowo akan semakin mudah menjawab pertanyaan sulit dan berulang tersebut.
"Tentu saja, aktivis 1998 akan mengkonsolidasi pendukung mereka di akar rumput. Walaupun mereka harus dicibir dan dinyinyir oleh rekan sejawat mereka. Angin berubah musim, berubah juga arah politiknya," kata Adi
Penulis: Irfan Amin
Editor: Reja Hidayat