tirto.id - Partai Golkar di bawah nakhoda Airlangga Hartarto terus “digoyang.” Belum reda isu Munaslub yang mendesak pergantian ketua umum, Airlangga dipanggil Kejaksaan Agung sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO). Airlangga mendapat sekitar 46 pertanyaan selama 12 jam soal CPO.
Pemanggilan Airlangga tentu menimbulkan pertanyaan seberapa besar pengaruh ke depan bagi partai beringin dalam menghadapi pemilu yang semakin dekat? Sebagai catatan, prediksi elektabilitas Partai Golkar di bawah kepemimpinan Airlangga disebut-sebut merosot hingga 1 digit.
Dalam survei Indikator pada 23 Juli lalu misalnya, Partai Golkar disebut hanya akan memperoleh 9,2 persen suara di Pemilu 2024. Hal ini tentu jauh dibanding perolehan suara Golkar yang mencapai 12,31 persen pada Pemilu 2019.
Di sisi lain, Golkar pernah mengalami kasus yang sama jelang Pemilu 2019. Saat itu, Setya Novanto atau Setnov selaku Ketua Umum Partai Golkar periode 2016 hingga 2020 menjadi pesakitan akibat tersandung kasus korupsi e-KTP pada 2017. Perolehan suara Golkar masih tergolong bagus dengan 2 digit, tapi lebih rendah dari perolehan suara Pemilu 2014 yang mencapai 14,75%.
Karena itu, Anggota Dewan Pakar Partai Golkar, Ridwan Hisjam meminta, Airlangga Hartarto segera mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua umum.
Permintaan itu disampaikan Ridwan menyusul Airlangga yang merupakan Menteri Koordinator bidang Perekonomian diperiksa selama 12 jam sebagai saksi kasus dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah pada Senin (24/7/2023).
Namun Ridwan menampik jika pemeriksaan Airlangga berkaitan dengan sinyal Golkar mendukung Anies Baswedan, bakal capres dari Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP).
“Enggak ada itu [rumor pemeriksaan Airlangga karena akan bawa Golkar merapat ke KKP]. Saya sekarang minta Pak Airlangga mengundurkan diri dari ketum Partai Golkar," kata Ridwan saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (25/7/2023).
Ridwan mengatakan, permintaan mengundurkan diri itu agar bisa menyelamatkan parpol berlambang pohon beringin itu. Menurut Ridwan, meskipun Airlangga masih berstatus saksi, tetapi dinilai telah mencoreng nama baik Golkar.
“Untuk menyelamatkan Parta Golkar. Dia diperiksa 12 jam, ini hancur Golkar ini. Rakyat anti dengan politisi korupsi. Meskipun ada namanya asas praduga tidak bersalah," tutur Ridwan.
Ridwan juga menampik permintaan pengunduran diri itu lantaran elektabilitas Partai Golkar oleh sejumlah lembaga survei disebut merosot hingga mencapai satu digit. Menurut dia, ihwal elektabilitas partai sejatinya masih bisa diperbaiki dalam waktu enam bulan ke depan.
Bisa Berdampak pada Elektabilitas, Jika ….
Analis politik dari SMRC, Saidiman Ahmad berpendapat, permasalahan korupsi adalah satu dari beragam poin yang diperhatikan publik. Ia mengaitkan bagaimana Partai Demokrat pada Pemilu 2014 yang notabene partai penguasa terjungkal dari posisi puncak akibat banyak kadernya tersandung kasus korupsi.
“Namun apakah kasus yang sedang dihadapi Pak Airlangga itu bisa berpengaruh pada elektabilitas Golkar? Bisa saja sejauh hal itu benar-benar terbukti. Kalau baru pada tataran dugaan, apalagi jika statusnya sebatas saksi, saya kira belum akan punya dampak,” kata Saidiman, Selasa (25/7/2023).
Saidiman mengakui bahwa mungkin ada dampak kecil jika Airlangga belum berstatus jelas secara hukum. Misalnya, bisa saja ada permainan kampanye negatif oleh lawan politik Airlangga maupun Golkar. Ia mengingatkan Golkar kehilangan sekitar 2 persen suara di Pemilu 2019 akibat isu korupsi sejak 2014-2019.
“Apakah sekarang juga akan terjadi, jika Pak Airlangga resmi tersangka? Butuh telaah yang hati-hati karena Golkar ini partai yang relatif tidak sentralistik. Tidak ada tokoh yang punya kuasa penuh atas Golkar," kata Saidiman.
Saidiman mengingatkan, kekuatan utama Golkar justru ada pada elite-elitenya di tingkat lokal. Selama kekuatan lokal solid, Golkar seharusnya bisa menghadapi pemilu.
“Jadi kalau pun ada persoalan di tingkat pusat, sejauh elite Golkar di dapil bisa tetap bekerja efektif, mungkin kejadian di pusat akan berpengaruh, tapi dengan pengaruh yang terbatas," kata Saidiman.
Saidiman juga punya sejumlah solusi untuk meraup suara optimal meski ada isu miring keterlibatan Airlangga dalam dugaan kasus korupsi. Pertama, Golkar perlu akselarasi kaderisasi dan mendorong pemilih baru untuk memilih mereka.
"Sejauh ini, Golkar terlihat kurang maksimal dalam kaderisasi pendukung. Ada kecenderungan pemilih Golkar lebih dominan berasal dari kelompok pemilih senior. Akselerasi partai ke kalangan pemilih baru akan membuat partai ini bisa lebih kompetitif,” kata Saidiman.
Kedua, Golkar juga nampak belum secara efektif mengubah penilaian positif publik pada kinerja pemerintah menjadi kekuatan elektoral mereka. Padahal Golkar dengan Airlangga sebagai ketumnya memiliki andil besar dalam kesuksesan pembangunan di masa pemerintahan Jokowi.
“Kesuksesan pemerintah ini belum terasosiasi secara kuat dengan Golkar. Kalau Golkar berhasil meraih klaim atas kesuksesan pembangunan pemerintah, saya kira partai ini bisa lebih bersaing dalam pemilihan legislatif nanti,” kata Saidiman.
Hal senada diungkapkan analis politik dari Universitas Padjajaran, Kunto Adi Wibowo. Ia menilai kasus CPO yang berkaitan dengan Airlangga bisa mempengaruhi elektabilitas Golkar. Pengaruh signifikan baru bisa muncul bila Airlangga resmi menyandang status tersangka di kasus tersebut.
“Ketika Pak Airlangga nanti sudah jadi tersangka kasus korupsi, ini tentu akan jadi mempengaruhi elektabilitas atau perolehan suara Golkar di Pemilu 2024 karena posisi Pak Airlangga sebagai ketum partai," kata Kunto.
Kunto mengatakan, sejumlah studi sudah menunjukkan bahwa ketua umum partai yang tersandung kasus korupsi mampu menurunkan elektabilitas partai. Salah satu contoh konkret adalah PPP saat Pemilu 2019. Saat itu, Romahurmuzy yang merupakan ketum partai tersandung kasus korupsi. Akibatnya, PPP hanya memperoleh suara 4,52 persen di Pemilu 2019 dari sebelumnya tembus 6,53 persen pada 2014.
“Jadi sangat mungkin kalau Pak Airlangga memang terbukti atau memang jadi tersangka saja itu menurut saya bisa mempengaruhi elektabilitas Golkar," kata Kunto.
Kunto menekankan, efek elektabilitas belum terasa jika Airlangga hanya sebatas saksi. Para kader bisa menangkal dengan membangun narasi untuk melawan isu tersebut. Meskipun Airlangga hadir di persidangan sebagai saksi, tentu ada dampak politik meski tidak signifikan. Hal ini karena Airlangga bukan ketua umum partai yang populer seperti Megawati Soekarnoputri di PDIP atau Prabowo Subianto di Gerindra.
Kunto juga melihat ada perbedaan jika ada komparasi seandainya Airlangga tersangka dengan rekam jejak eks Ketum Golkar Setya Novanto yang menjadi tersangka korupsi e-KTP. Golkar kala Setya Novanto tersangka masih punya waktu untuk "konsolidasi" demi pemenangan Pemilu 2019.
Bagi Kunto, Golkar masih bisa memenangkan Pemilu 2024 terlepas Airlangga dikaitkan dengan kasus CPO. Pertama, Golkar harus memperkuat konsolidasi daerah. Hal ini tidak lepas dari bentuk Partai Golkar yang terdiri banyak tokoh daerah sebagai vote gather mereka. Hal ini berbeda dengan PDIP dan Gerindra yang mengedepankan figur ketum.
Kedua, Partai Golkar harus segera bersikap dalam menyikapi isu migor dan Airlangga. Jika Airlangga punya status jelas secara hukum mengarah pada pidana, maka Golkar perlu mengambil sikap serius agar dampak politik tidak kerasa saat kampanye.
“Kalau ini semakin dragging, semakin berlarut-larut, sampai akhirnya baru pas kampanye tiba-tiba Pak Airlangga harus hadir di pengadilan, efeknya justru akan kerasa ketika nanti pemilu,” kata Kunto.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz