Menuju konten utama
Maraknya Social Commerce

Menimbang Perlu Tidaknya Satgas Tangkal Project S TikTok

Budi Arie menuturkan, satgas dibuat untuk melindungi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam negeri salah satunya dari Project S TikTok.

Menimbang Perlu Tidaknya Satgas Tangkal Project S TikTok
Ilustrasi Tiktok. foto/IStockphoto

tirto.id - Pemerintah berencana membentuk satuan tugas (satgas) yang bertugas melakukan percepatan dalam penyediaan akses digital serta pemantauan ekosistem digital, termasuk social commerce. Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie menuturkan, satgas dibuat untuk melindungi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dalam negeri salah satunya dari ancaman Project S TikTok.

Satgas ini nantinya akan melibatkan kementerian dan instansi terkait dalam merumuskan kebijakan bersama. Kementerian dan instansi yang terlibat antara lain Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM, dan lembaga terkait lainnya.

"Terus terang memang kemajuan teknologi ini memerlukan cara berpikir baru untuk mengatasinya. Bukan hanya Kominfo yang ngurusin, tetapi juga antar instansi yang in-charge untuk hal-hal seperti ini," tutur Menkominfo Budi Arie Setiadi melalui keterangan resminya.

Ketua Umum Assosiasi Industri UMKM Indonesia Hermawati Setyorini berharap pembentukan satgas tersebut mampu menangkal masuknya produk impor yang masuk ke Indonesia. Sehingga, produk UMKM lokal tidak akan terancam eksistensinya oleh maraknya produk impor yang datang.

Namun, satgas harus dibarengi dengan adanya semacam regulasi dan juga sanksi bagi yang melanggar. Langkah tersebut juga harus dibarengi dengan pembinaan terhadap UMKM di Indonesia agar bisa bersaing dengan produk impor.

"Saya berharap rencana pembentukan satgas harus dibarengi antara regulasi atau aturan dan sanksi bagi yang melanggar. Juga perlunya UMKM diberikan bimbingan, pelatihan, pembinaan agar produknya tidak kalah bersaing," ucap Hermawati saat dihubungi Tirto, Jakarta, Senin (24/7/2023).

Sebab menurut Hermawati saat ini, daya beli masyarakat terhadap produk lokal tidak tinggi. Sedangkan, untuk produk impor yang masuk masyarakat justru mampu membeli. Hal itu tak lain karena produk impor yang ditawarkan kualitasnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan produk lokal.

"Karena, justru sebenarnya kenapa itu masuk (impor) satu, masyarakat daya belinya tidak tinggi dan produk yang masuk kebanyakan produk impor yang masyarakat mampu membeli. Makanya, itu yang akan menjadi kendala adalah masyarakat akhirnya tidak bisa membeli juga produk UMKM atau kualitasnya yang memang tidak sesuai dengan diinginkan," ungkapnya.

Hermawati menambahkan, kondisi saat ini ialah banyak produk impor yang ditawarkan dengan harga murah namun kualitas bagus. Maka dari itu, ia ingin pengawasan tidak hanya berlaku pada TikTok Shop, tetapi kepada e-commerce lainnya yang mungkin ikut menjajakan produk impor.

"Kalau yang terjadi sekarang, itu harga murah kualitasnya bagus. Itu yang kita lihat di TikTok atau e-commerce lainnya lah. Dan pengawasannya jangan hanya di Tiktok tetapi harus di seluruhnya, karena kayak di shopee atau lainnya produk impor itu masuk semua khususnya fashion itu banyak banget," bebernya.

Kemudian menurut Hermawati, selanjutnya pemerintah harus mampu memberikan pembinaan terhadap para pelaku UMKM. Contohnya, banyak sekali pelaku UMKM yang tidak memproduksi secara besar, dikarenakan kurangnya biaya produksi. Kasus ini menjadi pintu bagi pemerintah untuk membantu memberikan kemudahan dalam akses keuangan.

"Kemudian, ada pembinaan, pelatihan yang membuat UMKM itu produknya bisa berdaya saing. Kedua, kuantitinya. Kadang kuantiti itu pengaruh dengan apa sarana penunjang yaitu keuangan. Mereka tidak bisa produksi besar, nah berarti harus ada kemudahan dalam akses keuangan," jelasnya.

Lebih lanjut, Hermawati mengaku saat ini belum ada ruang masif untuk pembinaan pelaku UMKM khususnya dari segi Sumber Daya Masyarakat (SDM). Pelaku UMKM perlu diberikan pembekalan agar lebih melek teknologi sehingga mampu bersaing di pasaran, tidak hanya sebagai penonton.

"Saat ini belum ada ruang yang masif untuk UMKM bisa melatih kemampuannya, khususnya untuk bagi yang mikro ke bawah lagi. Karena kalau yang PP nomor 7 itu kan nilai omzet dari mikro itu yang awalnya Rp500 juta kan naik sampai Rp2 miliar kan, yang masuk adalah pengusaha-pengusaha baru yang paham teknologi. Nah yang belum paham teknologi, semakin terpuruk," imbuhnya.

Pembentukan Satgas Tidak Perlu

Peneliti Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Nailul Huda menilai pembentukan satgas menurutnya tidak akan efektif dan akan menjadi percuma nantinya. Sebab, saat ini yang diperlukan adalah urgensi dari revisi Permendag nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.

"Dia Menteri baru kemudian ingin menonjol terus kemudian ada isu di TikTok S ini, kemudian mereka ingin membentuk satgas gitu. Nah, kita ketahui satgas-satgas yang ada juga percuma juga gitu kan, tidak ada bedanya gitu dan tidak ada efektivitas dari satgas tersebut," Ucap Nailul Huda diacara diskusi publik secara daring, Jakarta, Senin (24/7/2023).

"Ini yang kita dorong sebenarnya bukan satgas, tetapi mendorong adanya revisi Permendag nomor 50 tahun 2020. Dimana di permendagnya secara clear tidak ada pengaturan mengenai social commerce. Nah, kalau misalkan revisinya kan kalau saya sekilas membaca itu sudah diterapkan semenjak akhir tahun kemarin gitu, ini artinya adalah ada titik dimana pembahasan revisi permendag itu berhenti begitu," lanjutnya.

Huda pun merasa heran dengan tindakan Kemendag yang tidak segera merevisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020. Ia pun berasumsi bahwa, lambatnya proses revisi Permendag tersebut dikarenakan adanya kepentingan yang masuk ke Kemendag.

"Nah ini yang perlu kita dorong, entah itu di Kemendagnya lah pasti apakah memang masih keberatan atau tidak gitu. Nah saya rasa sebenarnya tidak ada isu yang urgen gitu ya, kita tidak merevisi permendag nomor 50 tahun 2020 itu, yang kalau misalkan ada yang menghambat artinya adalah ada kepentingan yang masuk ke Kemendag. Inilah yang saya lihat disini ada tukar guling dan sebagainya dengan Kemendag dan saya tidak tahu seperti apa," ungkapnya.

Pasalnya menurut Huda, pengajuan revisi permendag tersebut sudah dilakukan pada akhir tahun kemarin dan sampai saat ini belum dilakukan revisi sama sekali.

"Tapi yang jelas itu ada langkah yang terhenti di Kemendag dan itu sangat sayangkan, dimana sebenarnya revisi permendag ini sudah dari akhir tahun kemarin diwacanakan hingga sampai saat ini, itu belum terjadi gitu belum ada revisinya. Jadi ini sangat disayangkan, ini kemudian yang saya lihat juga semestinya itu bisa direvisi dengan cepat juga gitu kan, dimana ya tinggal masukkan social commerce ke dalam revisi Permendag nomor 50 itu," jelasnya.

Lebih lanjut, Huda menekankan saat ini yang diperlukan pemerintah adalah merevisi Permendag Nomor 50, bukan malah membentuk satgas. Selain itu, dalam permendag juga perlu adanya restriksi bagi para produk impor yang datang ke Indonesia melalu e-commerce ataupun social commerce dari segi tarif hingga mendapatkan diskon.

"Kita disamping pengutamaan barang lokal, kita harus mendorong juga ada restriksi untuk barang-barang impor masuk ke e-commerce maupun social commerce, misalkan dari sisi tarif ataupun dari sisi misalkan dari sisi mendapatkan diskon, itu harus diutamakan oleh produk-produk lokal dong, soalnya kita kan ada program bangga buatan Indonesia dan itu harus dimanfaatkan dan itu tidak boleh hanya setahun sekali, kalau bisa itu dilakukan sepanjang tahun," ucapnya.

Kominfo Harus Fokus Lindungi Data

Peneliti Center of Digital Economy and SME Indef Izzudin Al Farras Adha mengatakan, Kominfo hanya perlu fokus kepada Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP). UU PDP yang dimaksud ialah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi mengatur bahwa orang perorangan termasuk yang melakukan kegiatan bisnis atau e-commerce di rumah dapat dikategorikan sebagai pengendali data pribadi.

"Saya kira sesuai dengan tupoksinya saja, artinya kominfo lebih baik fokus pada peraturan turunan dari UUD PDP begitu, karena tidak hanya terkait dengan social commerce saja itu terkait dengan banyak hal lain industri ekonomi digital lainnya," ucap Farras.

Maka dari itu, Farras menilai Kominfo perlu mempercepat pembahasan serta pengesahan UU PDP tersebut. Karena UU PDP tersebut akan berdampak pada social commerce.

"Jadi itu sebaiknya segera dipercepat pembahasan dan pengesahannya semua yang terkait dengan peraturan turunan UU PDP sehingga salah satunya pasti akan berdampak pada social commerce begitu, jadi saya kira tidak perlu buat satgas khusus kalau kominfo begitu, karena ada yang lebih urgen yaitu peraturan dari UUD PDP," ungkapnya.

Farras mengatakan, saat ini bola sudah ada di Kemendag dan hal tersebut tidak perlu berlama-lama lagi untuk Kemendag dalam memperlambat revisi Permendag nomor 50. Sebab, materi dari KemenkopUKM sudah dikonsolidasikan ke Kemendag hingga usulan konkrit mengenai revisi Permendag nomor 50.

"Dari KemenkopUKM dengan Kemendag itu berkoordinasi untuk bisa merevisi permendag yang saat ini sudah diusulkan perubahannya dari KemenkopUKM kepada Kemendag, begitu jadi materinya sudah diusulkan sebenarnya. Dan sekarang bolanya ada di Kemendag, usulan konkrit dan materi-materinya sudah ada dari KemenkopUKM diskusi di berbagai media juga sudah banyak begitu, nah ini kira-kira apalagi yang perlu dipertimbangkan oleh Kemendag," jelasnya.

Farras menyebut, revisi permendag ini sebenarnya sudah diajukan pada 2021 lalu dan pengajuan tersebut diajukan oleh para pengamat hingga pelaku usaha UMKM lokal.

"Usulannya terkait dengan project S TikTok atau TikTok Shop, tapi bahkan sudah ada beberapa pengamat dan pelaku yang mengusulkan revisi permendag ini sejak tahun 2021. Khususnya setelah pandemi penggunaan social commerce, e-commerce, media sosial itu meningkat tajam sehingga konsumen cenderung untuk belanja dari online ketika pandemi, nah yang itu sudah dirasakan langsung oleh pelaku UMKM lokal banyak sekali tahun 2021 itu produk-produk luar yang masuk ke Indonesia dengan harga yang relatif lebih murah begitu dibandingkan produk UMKM lokal," bebernya.

Dengan demikian, menurutnya, ini bukanlah usulan baru. "Harusnya tidak ada pertanyaan bagi kemendag untuk urgensi revisi permendag ini. Nah nanti untuk materi perubahannya seperti apa, sudah ada diusulkan dan juga mungkin bisa mengundang konsultasi publik untuk mengundang pakar begitu pelaku sehingga soal urgensi tidak ada pertanyaan lagi bagi Kemendag untuk merevisi ini. Untuk kominfo tadi silahkan fokus pada UUD turunan PDP," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait PROJECT S TIKTOK SHOP atau tulisan lainnya dari Hanif Reyhan Ghifari

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Hanif Reyhan Ghifari
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari
Editor: Anggun P Situmorang