tirto.id - Nita-bukan nama sebenarnya-tampak antusias menceritakan program kegiatan yang tim dan dirinya lakukan sebagai seorang kader kesehatan. Ia bertugas di salah satu desa di Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor. Meski bekerja secara sukarela, ia mengaku sangat senang melakoni perannya di posyandu tempatnya bertugas. Ibu rumah tangga ini menuturkan bahwa di wilayah kerjanya, belum ditemui kasus anak stunting.
“Tapi kalau untuk kasus bayi atau balita yang hampir menuju ambang stunting masih ada. Ada juga penanganan bagi bayi yang tidak bertambah berat badannya selama dua bulan berturut-turut,” kata Nita ditemui reporter Tirto di kediamannya di Kabupaten Bogor, Jumat (21/7/2023).
Penanganan balita dengan masalah gizi, kata Nita, dilakukan salah satunya dengan pemberian makanan tambahan (PMT) dan suplementasi gizi mikro dari Puskesmas setempat. Untuk pemberian PMT, ia mengaku bahwa dana yang digelontorkan pemerintah desa sangat memberatkannya. Bukannya memberikan dana yang cukup untuk membeli bahan pangan pokok dalam penanganan gizi balita, ia justru tak jarang harus merogoh kantong sendiri untuk menyediakan PMT di Posyandu tempat dia bekerja.
“Sering banget kita tutupin pake duit kita dulu. Budgetnya itu 200 ribu sebulan dari desa. Dananya dikasih per dua atau tiga bulan dirapel gitu, nanti nih kita kader yang nyiapin PMT tiap bulan,” jelas Nita.
Dengan uang yang seringkali tak cukup itu, Nita terpaksa hanya mampu memberikan PMT yang sesuai dengan dana tersebut. Jangankan dibelanjakan bahan pangan pokok seperti ayam atau ikan, mampu menyediakan menu telur rebus dan sop bening saja ia sudah sangat bersyukur.
“Dananya itu dari Pemdes, tepatnya dari Ibu Ketua PKK. PMT biasanya bervarian, bisa telur, sayur, puding, kadang-kadang susu. Tapi untuk susu mah jarang, mentok di budget,” katanya sambil tertawa.
Pengalaman serupa dibagikan Sukma – juga bukan nama sebenarnya – seorang bidan yang bekerja di salah satu Kecamatan di Kabupaten Bogor. Berkendara sekitar 15 menit dari lokasi reporter Tirto bertemu Nita, klinik tempat Sukma berpraktik tampak bersih dan sederhana.
Hanya ada dua ruangan di klinik tersebut. Ruang depan sebagai tempat resepsionis dan hanya ada satu ruang pemeriksaan di bagian belakang. Klinik tersebut satu bangunan dengan kediaman pribadi Sukma. Ia merupakan salah satu bidan yang kerap diminta Pemdes memeriksa ibu hamil dan menangani kesehatan balita.
“Kalau ibu sudah puluhan tahun berpraktik. Sebetulnya untuk kerja di Desa sendiri nggak fulltime dan sudah pensiun di Puskesmas. Tapi masih suka diminta tolong untuk bantuan sumber daya,” kata Sukma mengawali cerita.
Khusus perannya dalam penanganan stunting di Desa, ia mengaku lebih banyak fokus dalam pencegahan stunting pada waktu ibu hamil. Tugasnya meliputi pemeriksaan kehamilan, pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) pada ibu hamil, dan penanganan ibu hamil KEK (Kurang Energi Kronik). Kendati demikian, ia juga beberapa kali ikut menangani penanganan stunting pada balita.
“Untuk kasusnya sendiri (di Desa) saya nggak tau. Tapi ada, itu di bawah garis ketentuan sehingga masuk dalam stunting. Itu biasanya nanti diberikan penanganan sesuai kondisi, kalau butuh pemberian makanan tambahan (PMT) itu nanti ada susu sama biskuit biasanya,” jelas Sukma.
Sukma menyatakan bahwa bentuk PMT di tempat ia bekerja lebih banyak memberikan makanan jadi seperti susu dan biskuit khusus. Adapun makanan olahan yang diberikan, kata Sukma, bisa berupa bubur kacang hijau, telur rebus, atau puding.
“Kalau olahan pangan pokok kayak ayam atau telur gitu sih jarang ya. Kalau dulu zaman 90-an saya aktif bertugas di Puskesmas, itu harusnya dapat semacam itu. Nanti kader kesehatan yang mengolahnya jadi makanan kayak ayam goreng atau telur. Sekarang ya itu biskuit atau susu sih seringnya,” kata Sukma.
Sukma mengaku tak begitu mengerti soal anggaran Desa yang dipergunakan untuk pengadaan PMT. Namun katanya, untuk susu dan biskuit seringkali didapatkan resmi dari Dinkes. “Kalau pangan pokok kayaknya harusnya dari Pemdes karena ada Ibu Ketua PKK yang menjadi leader para kader juga. Tapi ya gitu, tergantung kepedulian orang masing-masing,” ucap Sukma.
Anggaran Stunting untuk Seremonial
Pengentasan stunting (tangkes) pada anak-anak Indonesia nyatanya masih butuh upaya lebih. Percepatan penurunan angka stunting terus diupayakan dengan target 14 persen pada tahun 2024. Kendati tahun 2022 lalu prevalensi stunting kembali turun, nampaknya masih butuh akselerasi ekstra untuk mencapai target yang dicanangkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hal ini mengingat penurunan angka stunting dari tahun 2021 ke 2022 baru 2,8 persen, dari target idealnya 3,4 per tahun agar sesuai target tahun 2024. Ada kurang lebih sisa waktu satu tahun lagi yang kelihatannya akan berat untuk dikebut.
Jokowi sendiri sempat mengekspresikan rasa kecewa kepada anak buahnya terkait penanganan stunting. Bulan lalu, 14 Juni 2023, dalam kegiatan Rapat Koordinasi Pengawasan Internal 2023 di kantor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Jokowi menyentil model penganggaran di daerah dan penggunaanya yang tak sesuai dengan semestinya.
Tanpa menyebutkan nama daerahnya, Jokowi menyoroti anggaran stunting salah satu Pemda (Pemerintah Daerah) yang lebih banyak digunakan untuk kegiatan seremonial alih-alih dibelanjakan untuk intervensi langsung penanganan stunting pada ibu dan anak.
“Yang benar-benar untuk beli telur enggak ada Rp2 miliar, kapan stunting-nya akan selesai kalau caranya seperti ini. Kalau (anggaran) Rp10 miliar, mestinya Rp8 miliar untuk telur, ikan, daging, sayur, berikan ke yang stunting, lain-lainnya baru Rp2 miliar,” protes Jokowi saat itu.
Kegeraman Jokowi beralasan. Pemda memang diharapkan dapat menjadi ujung tombak pengentasan stunting di daerah-daerah. Nyatanya, efektivitas penggunaan anggaran stunting di level daerah masih menemui banyak rumpang.
Sebagai informasi, pada 2022, alokasi anggaran stunting mencapai Rp51 triliun. Anggaran ini terbagi ke dalam tiga alokasi, yaitu anggaran kementerian/lembaga Rp34 triliun, Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp12 triliun, dan Dana Desa Rp6 triliun. Adapun pada tahun 2021 dan 2022, jumlah daerah yang menerima alokasi DAK stunting meningkat menjadi 360 kabupaten/kota dan 514 kabupaten/kota.
Dengan dana anggaran dan distribusi sasaran yang tak sedikit itu, rasanya masih menemui kader kesehatan di Desa yang harus merogoh uang pribadi untuk pengadaan pemberian makanan tambahan (PMT) balita stunting, terasa seperti sebuah absurditas.
Sementara itu, hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 menyatakan angka stunting di Indonesia 21,6 persen. Angka yang masih cukup tinggi untuk memenuhi target 14 persen di tahun 2024. Sementara itu, kasus balita stunting sendiri banyak ditemui pada kantong-kantong wilayah dengan jumlah populasi yang tinggi seperti di pulau Jawa.
Ironisnya, mengacu data SSGI 2022, kasus balita stunting terbanyak justru beberapa ditemui di kabupaten/kota besar alias wilayah urban. Survei 2022 tersebut menyebutkan, lima kabupaten/kota dengan kasus balita stunting terbanyak adalah Kab. Bogor (133.684), Kab. Bandung (80.805), Kab. Tangerang (70.477), Kab. Bekasi (64.601), dan Kab. Jember (60.332). Hal ini makin menguatkan peran pemerintah daerah sebagai garda terdepan pengentasan stunting. Utamanya, dalam mengelola anggaran stunting yang efektif dan tepat sasaran pada ibu dan anak.
Kesehatan Anak Jadi Taruhan
Dokter spesialis gizi klinik, Putri Sakti Dwi Permanasari menegaskan bahwa pemberian pangan pokok dalam penanganan dan pencegahan stunting jauh lebih baik dibandingkan produk makanan yang diolah berlebih (ultra proses).
“Harusnya memberikan bahan makanan pokok seperti telur, ayam, yang lebih bernutrisi dan malah diganti dengan makanan yang diproses berlebih misalkan dari biskuit dan lain-lain ya yang tinggi dengan gula, tentu saja akan membuat risiko stunting penangananya jadi kurang optimal,” kata Putri dihubungi reporter Tirto, Jumat (21/7/2023).
Putri menjelaskan, makanan produk yang diolah ultra-proses memang tinggi kalori, namun secara komposisi biasanya tidak padat nutrisi atau memiliki gizi yang tidak seimbang. Hal ini berisiko tak memberikan pengaruh signifikan pada penanganan anak stunting.
Anak yang stunting, kata Putri, akan memiliki perkembangan otak yang tidak optimal. Otomatis perkembangan kognitif anak tersebut akan terganggu, yang berpengaruh erat dengan aktivitas masa depan anak tersebut seperti belajar dan bekerja.
“Juga ada risiko obesitas lebih besar, dan penyakit metabolisme seperti jantung dan diabetes jadi lebih besar,” sambung Putri.
Di sisi lain, Ahli gizi masyarakat Tan Shot Yen melihat ketidaktepatan penggunaan anggaran stunting dalam perspektif lebih luas lagi. Penggunaan anggaran stunting yang tepat, kata Tan, harusnya menghasilkan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan ekonomi lokal.
“Itu sebabnya dengan memanfaatkan pangan lokal (dalam penanganan stunting), selain bermanfaat bagi anak yang sedang tumbuh, juga jika dibeli dan berasal dari sumber daya alam setempat pasti menggiatkan ekonomi sirkuler di sana,” kata Tan dihubungi reporter Tirto.
Memberikan produk industri atau produk ultra-proses merupakan tindakan salah sasaran dalam pemberian makanan tambahan (PMT) stunting. “Lebih gawatnya nanti orang tua mempunyai asumsi atau persepsi salah soal manfaat gizi. Dikira produk ultra-proses itu yang bernilai lebih ketimbang pangan utuh,” sambung Tan.
Penanganan yang tidak tepat, membuat penurunan angka stunting makin macet. Padahal, studi Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) di tahun 2018 menyatakan kasus stunting membutuhkan penanganan serius. Pasalnya, anak stunting diperkirakan berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi sebesar dua sampai tiga persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) per tahunnya.
Respons Kemenkes
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI merupakan satu-satunya lembaga/kementerian yang bertanggung jawab untuk melaksanakan intervensi spesifik dalam penanganan stunting. Intervensi spesifik merupakan kegiatan yang langsung mengatasi penyebab terjadinya stunting dan umumnya diberikan oleh sektor kesehatan. Dalam anggaran tahun 2022, Kemenkes mendapatkan jatah anggaran Rp 4 Triliun untuk intervensi spesifik.
Dirjen Kesehatan Masyarakat Maria Endang Sumiwi menyatakan, tanggung jawab pelaksanaan intervensi tetap membutuhkan peran pemerintah daerah dengan indikator yang telah ditentukan Kemenkes.
Menanggapi adanya Pemda yang tidak menggunakan anggaran stunting dengan tepat, Endang menyatakan pihaknya menyikapi dengan proses advokasi dan orientasi di semua level. “Sehingga harapannya ke depan intervensi pada sasaran dapat didukung secara maksimal hingga tingkat desa,” kata Endang dihubungi reporter Tirto, Jumat (21/7/2023).
Menurutnya, kegiatan seremonial terkadang memang perlu dilakukan untuk membangun komitmen pemerintah daerah untuk mengatasi stunting. Namun itu seharusnya hanya menjadi bagian awal, selanjutnya ada pendampingan dan monitoring untuk memastikan penanganan stunting diterima penerima manfaat (sasaran utamanya rematri, bumil, dan balita).
Kendati demikian, Endang menyayangkan sejumlah Pemda atau desa yang tidak berfokus pada penanganan stunting tepat sasaran. Hal ini dinilainya dapat memberikan efek serius pada penanganan stunting di Tanah Air.
“Apabila terjadi kekeliruan penanganan di desa maupun penyalahgunaan penganggarannya, tentu akan berdampak pada ancaman bertambahnya anak-anak yang jatuh ke stunting. Sehingga percepatan penurunan stunting terancam gagal (14 persen pada 2024), dan akan berdampak pada kualitas SDM masa mendatang,” tutupnya.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri