tirto.id - Banyak yang meragukan Indonesia bisa menikmati bonus demografi di tahun 2030-2040, bila melihat jutaan anak masih stunting. Anak-anak dengan gizi buruk ini akan menjadi beban sosial, bahkan berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi sebesar Rp 300 triliun-Rp 400 triliun per tahunnya.
Menurut Studi Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) di tahun 2018, kasus stunting membutuhkan penanganan serius. Pasalnya, anak stunting diperkirakan bisa menimbulkan kerugian ekonomi sebesar 2%-3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) per tahunnya. Jika PDB Indonesia di tahun 2017 sebesar Rp 13.000 triliun, maka kerugian ekonominya bisa mencapai Rp 300 triliun per tahun.
Semakin besar PDB, maka kerugian ekonominya juga semakin besar. Jika dihitung dari PDB tahun 2022 yang mencapai Rp19,58 triliun, kerugian ekonominya bisa mencapai Rp 391 triliun per tahun. Kerugian ekonomi ini terjadi akibat anak stunting biasanya memiliki kesehatan buruk yang nantinya akan menurunkan produktivitasnya dan malah menjadi beban sosial.
Di seluruh dunia, jumlah anak penderita stunting ini ternyata signifikan. Statistik PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) di tahun 2020 mengungkapkan bahwa secara global terdapat 149 juta atau 22 persen balita (bayi dibawah usia lima tahun) mengalami stunting. Dari jumlah tersebut, sebanyak 6,3 juta terdapat di Indonesia. Artinya, jutaan anak Indonesia masih malnutrisi.
Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk menurunkan angka stunting. Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) menilai, Indonesia telah membuat kemajuan dalam upaya menurunkan stunting selama 10 tahun terakhir, yakni dari 37,2 persen di tahun 2013 menjadi 21,6 persen di tahun 2022.
Walaupun jumlahnya terus turun, angka tersebut masih terhitung tinggi, karena masih melebihi batas toleransi prevalensi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang maksimal sebesar 20%. Perlu penurunan sebesar 3,8% per tahun untuk mengejar target 14% di tahun 2024.
Dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara, rapor Indonesia berdasarkan data yang tersedia di tahun 2021 juga masih terhitung buruk. Tahun 2021, Myanmar menduduki peringkat pertama kasus stunting dengan prevalensi sebesar 35%. Kedua, Indonesia sebesar (24%). Ketiga, Vietnam (23%). Keempat, Malaysia (17%), Kelima, Thailand (16%), dan keenam, Singapura (4%).
Penyebab dan Dampak Ekonomi
Salah satu penyebab utama stunting adalah asupan gizi yang kurang tepat selama kehamilan dan anak usia dini, sehingga berdampak buruk terhadap kesehatan. USAID menilai, anak yang stunting di awal kehidupan akan berdampak pada kecerdasan, capaian akademik di sekolah, berkurangnya produktivitas serta pendapatan rendah saat dewasa.
Sementara menurut WHO, stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang yang membuat tumbuh kembangnya terhambat. Ciri-ciri anak stunting, diantaranya lahir dengan berat rendah, tinggi badan tidak sesuai usia atau kerdil, perkembangan kognitif dan motorik terganggu.
Anak-anak tersebut dipastikan memiliki tingkat kecerdasan (IQ/Intelegence quotient) rendah atau tidak normal. Tingkat IQ kategori normal antara 91-110. Dengan tingkat kecerdasan rendah, tumbuh kembangnya terhambat, sehingga produktivitasnya di usia produktif pasti akan rendah.
Lebih lanjut, studi berjudul “Economic costs of childhood stunting to the private sector in low- and middle-income countries,” menemukan bahwa benar adanya anak-anak kerdil ini membebani negara berpenghasilan rendah hingga menengah dengan total nilai hampir mencapai USD300 miliar atau setara Rp4.560 triliun (asumsi kurs Rp15.200/USD).
Dampak kerugian produktivitas paling parah terjadi di Cina, Peru, India, Brasil, Meksiko, Kolumbia, Filipina, Vietnam, dan Thailand. Agar kerugiannya tidak semakin parah, pemerintah disarankan untuk melakukan intervensi nutrisi. Selain biayanya hemat, perbaikan nutrisi anak-anak juga terbukti efektif mengatasi masalah stunting.
Setiap investasi sebesar satu dolar AS dalam program pengurangan stunting dapat menghasilkan 81 dolar AS untuk perekonomian nasional.
Kasus stunting ini tidak bisa dianggap enteng, karena bonus demografi membutuhkan dukungan sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Bonus demografi ini merujuk pada fenomena jumlah penduduk usia produktif yang lebih besar tidak menjadi beban, justru menjadi kekuatan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Deputi Bidang Advokasi, Pergerakkan dan Informasi BKKBN (Badan Kependudukan dan Keluarga Bencana Nasional) Sukaryo Teguh Santoso seperti dikutip Antaranews, Rabu (14/6/2023) mengatakan, bonus demografi di Indonesia merupakan keberhasilan atas kerja sama seluruh warga negara mengikuti Program Keluarga Berencana (KB) dan keseriusan negara dalam mengelola pengendalian penduduk selama dekade sebelumnya.
Program KB yang dimulai di era Pemerintahan Soeharto di tahun 1970’an ini mendorong setiap keluarga cukup punya dua anak agar lebih mudah mewujudkan cita-cita keluarga sejahtera. Setelah program berjalan puluhan tahun, Indonesia di tahun 2030-2040 diperkirakan akan menikmati bonus demografi, yaitu memiliki penduduk usia produktif (15-64 tahun) dengan proporsi lebih 60% dari total jumlah penduduk yang sekitar 297 juta jiwa atau grafik tertinggi sepanjang sejarah Indonesia.
Meski kita akan menikmati bonus demografi, menurut Teguh, perjuangan bangsa Indonesia tidak terbatas hanya di pengendalian jumlah penduduk, melainkan juga berupaya meningkatkan kualitas SDM melalui penurunan angka stunting.
Anak yang kekurangan gizi menjadi penghalang untuk menikmati bonus demografi. Padahal, bonus demografi membawa banyak keberuntungan, salah satunya adalah berpotensi menjadi pasar besar di dunia. Lalu, kita akan punya SDM yang produktif, kreatif, inovatif dan memiliki kemampuan untuk melakukan transformasi ekonomi dari negara sedang berkembang menjadi negara maju.
Ciri-ciri negara maju, antara lain memiliki pendapatan per kapita tinggi, kesehatan terjamin, pengangguran rendah, dan menguasai IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi).
Organisasi Kerjasama dan Pembangunan Ekonomi Negara-Negara Maju (OECD) mengungkapkan bahwa bonus demografi di tahun 2030-2040 akan membuat Indonesia menjadi negara maju.
Pada tahun 2045, ekonomi Indonesia diprediksi mencapai 8,89 triliun dollar AS atau naik lebih tiga kali lipat dari kondisi ekonomi saat ini. Bahkan, ekonomi Ibu Pertiwi diprediksi bakal menjadi nomer empat terbesar di dunia, dilansir dari situs resmi Kementerian Keuangan.
Peluang Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045 ini tidak sekadar fatamorgana atau khayalan semata jika kita memiliki SDM berkualitas.
Negara yang disebut berhasil memanfaatkan bonus demografi itu, diantaranya Korea Selatan (Korsel) yang di tahun 1950-an masih masuk kategori negara miskin. Korsel berhasil membalikkan dengan memanfaatkan bonus demografi untuk mengembangkan industri elektronik, pendidikan, dan teknologi.
Selain Korsel, Cina juga berhasil memanfaatkan bonus demografi di tahun 1990-an dengan memberdayakan generasi muda untuk membangun industri rumahan (home industry). Hasilnya, produk China membanjiri pasar di berbagai belahan dunia. Bahkan tumbuh menjadi negara maju yang ekonominya kuat dan berpengaruh.
Tak hanya berhasil membangun industri, Tiongkok juga banyak berinvestasi di dunia pendidikan agar memiliki SDM yang punya daya saing tinggi. Banyak anak mudanya dikirim untuk belajar di kampus-kampus di Eropa hingga Amerika.
Pertanyaannya, mampukah Indonesia memanfaatkan peluang bonus demografi, seperti Korsel dan Cina?
Empat Syarat
Menurut LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), terdapat sedikitnya empat syarat untuk menikmati bonus demografi yang membawa kemajuan bangsa, yaitu memiliki SDM berkualitas, tersedianya lapangan kerja yang cukup, punya tabungan rumah tangga, dan meningkatnya porsi perempuan dalam pasar kerja.
Keempat hal tersebut masih menjadi pekerjaan rumah Indonesia saat ini. Pendidikan SDM Indonesia di pasar kerja banyak yang masih rendah. Tenaga kerja kita mayoritas berpendidikan SD-SMP, sehingga daya saingnya rendah. Ketersediaan lapangan kerja juga rendah, terbukti jumlah pengangguran masih tinggi.
Hingga Februari 2023, menurut data BPS (Badan Pusat Statistik), jumlah pengangguran mencapai 7,99 juta orang, berkurang 410 ribu orang dibanding tahun 2022. Kendati pengangguran turun, jumlahnya masih lebih tinggi dari sebelum pandemi.
Sedangkan porsi perempuan dalam pasar kerja, berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), selama tiga tahun terakhir tidak banyak perubahan, yaitu tahun 2020 (34,65%), tahun 2021 (36,20%), dan tahun 2022 (35,57%). Partisipasi perempuan yang rendah di sektor formal itu dianggap bisa menghambat kemajuan ekonomi.
Terlebih lagi perempuan yang bekerja di luar rumah atau sektor formal, kadang-kadang juga masih mendapatkan perlakuan yang diskriminatif di tempat kerja. Misal, gaji yang berbeda dibanding pekerja pria, lebih sulit jadi bos, dan lainnya.
Bisa dikatakan bahwa bonus demografi ini ibarat pisau bermata dua. Jika kita bisa memanfaatkan dengan baik, maka banyak keuntungan yang akan didapat. Sebaliknya, jika kita tidak siap, justru bakal menuai bencana. Mengapa?
Anak-anak usia produktif ini membutuhkan pekerjaan. Di sisi lain, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan semakin ketat, karena lapangan kerja terbatas. Sebab itu, Indonesia harus menyambut bonus demografi ini dengan menyiapkan SDM yang berkualitas, dan menekan jumlah anak stunting sekecil mungkin. Pemerintah juga harus mendorong terciptanya lapangan kerja yang seimbang dengan jumlah angkatan kerjanya.
Beragam persiapan tersebut bukan pekerjaan yang mudah. Jika kita tidak siap, maka peluang munculnya berbagai problem sosial, ekonomi dan politik dipastikan meningkat. Kita tidak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi jika penduduk usia produktif yang energinya masih prima ini hanya jadi pengangguran.
Program Prioritas
Bangsa akan maju jika memiliki SDM yang berkualitas. Kebutuhan SDM yang andal ini sulit terwujud jika banyak anak menderita stunting. Sebab itu, masalah stunting ini menjadi program prioritas yang harus dicarikan solusi segera oleh pemerintah agar tidak menjadi beban sosial di masa mendatang.
Tahun lalu, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp44,8 triliun untuk mendukung penurunan stunting. Anggaran tersebut terdiri dari belanja yang tersebar di berbagai institusi, seperti 17 kementerian/lembaga (K/L) sebesar Rp34,1 triliun. Lalu, pemerintah daerah (pemda) melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik mendapat anggaran sebesar Rp8,9 triliun dan DAK Nonfisik sebesar Rp1,8 triliun.
Sayangnya, anggaran stunting tersebut masih banyak yang disalahgunakan oleh oknum pejabatnya. Disinyalir ada pemda yang membelanjakan dananya untuk hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan upaya untuk memberantas stunting.
Sebagaimana dikutip dari laman resmi dpr.go.id, yang mengutip pernyataan Presiden Jokowi mengungkapkan, adanya penyelewengan anggaran stunting. Ada pemda yang membelanjakan sebagian besar dananya untuk membeli sepeda motor, melakukan perjalanan dinas, hingga membayar biaya rapat.
Padahal sesuai aturan, sebesar 80 persen dari anggaran diberikan dalam wujud bantuan makanan bergizi atau berprotein, seperti ikan dan daging. Bila belanja anggaran stunting ini masih diselewengkan, tentu target menurunkan angka stunting menjadi 14% di tahun depan bakal sulit tercapai.
Selain pemerintah, keluarga juga menjadi faktor kunci untuk mengatasi penyebab stunting. Setiap keluarga di Indonesia semestinya memiliki kesadaran untuk memprioritaskan pemenuhan asupan gizi dan pengasuhan anak secara layak, termasuk menjaga kebersihan tempat tinggal dan lingkungan.
Setiap ibu rumah tangga selayaknya paham cara memenuhi gizi anak dan menghindari makanan cepat saji (junk food) yang biasanya disukai anak-anak, namun tidak bergizi dan tidak baik untuk kesehatan. Cara lain untuk menurunkan stunting dengan melakukan pencegahan, karena lebih efektif dalam menurunkan prevalensi stunting. Kalau sudah terlanjur kekurangan gizi, walaupun kemudian ada perbaikan nutrisi, peluang keberhasilannya kecil.
Kasus stunting yang masih menjadi pekerjaan rumah “berat” bagi bangsa ini harus segera diatasi. Bila SDM kita berkualitas, Indonesia bisa menikmati bonus demografi dengan menorehkan banyak prestasi.
Penulis: Suli Murwani
Editor: Dwi Ayuningtyas