tirto.id - Bisnis jasa titip atau jastip barang impor kian marak. Tak hanya barang, Jastip pun sudah merambah ke obat dan tiket konser. Pemerintah perlu mengatur bisnis ini karena dapat merugikan negara, sebab tidak ada pembayaran pajak, bea dan cukai. Selain itu, konsumen perlu dilindungi karena tidak ada jaminan barang sampai dengan aman.
Mona (32), salah satu pengusaha jastip mengaku, dalam menjalankan usahanya kebanyakan barang titipan dari para konsumennya berasal dari Jepang ke Indonesia. Produk jastipnya pun beraneka ragam, mulai dari bumbu dapur hingga elektronik.
“Jenis yang paling banyak dijastip dari Indonesia ke Jepang, makanan Indonesia, bumbu dapur dan barang tertentu seperti produk lokal yang tidak ada di Jepang. Sementara dari Jepang ke Indonesia paling banyak diminati adalah barang unik, pakaian dan elektronik," ucap Mona saat dihubungi reporter Tirto dari Jakarta, Jumat (21/7/2023).
Soal modal, ia mengaku hal tersebut tergantung dari harga negara asal. Keuntungan yang ia dapat, bisa mencapai 150 persen tergantung barang titipannya seperti apa. Sebab, biasanya barang titipan konsumen ada yang berharga murah dari negara asal.
“Keuntungan bisa 100-150 persen, tergantung jenis barang. Dan biasanya harga di negara asal itu jauh lebih murah. Kami jual lagi, tentu sudah mencakup semua operasional. Jadi memang bisnis ini menjanjikan asal sabar, rajin posting di sosmed untuk barang-barang sekiranya menarik," ungkapnya.
Lebih lanjut, Mona mengatakan, bisnis jastip ini mempunyai sifat jangka panjang, yaitu dengan membuka peluang untuk membuka usaha ekspedisi secara mandiri. Namun menurutnya, modal yang dikeluarkan harus cukup besar, sementara pelanggannya baru sedikit.
“Jangka panjangnya, bisa buka ekspedisi sendiri. Cuma, kan, ini modalnya besar, sementara kami paling punya pelanggan sedikit, hanya teman-teman yang terhubung dengan media sosial dan percaya dengan kita. Jadi bisnis ini memang atas dasar saling percaya," ungkapnya.
Lidya (28) pengusaha jastip lain juga menceritakan pengalamannya. Ia mengatakan, jastip yang ia geluti saat ini kebanyakan barangnya berasal dari negara Korea Selatan dan Singapura. Barang-barang yang biasa dititipkan berupa snack hingga oleh-oleh khas negara asal.
“Barang yang sering, snack, skincare, sepatu, tas dan oleh-oleh khas negara," ucap Lidya saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (21/7/2023).
Untuk modal yang dikeluarkan, Lidya mengaku tergantung dari akomodasi dan tiket pesawat pergi ke luar negeri untuk jastip. Misal, modal yang ia keluarkan untuk ke Korea Selatan bisa sampai Rp10 juta, sedangkan untuk ke Singapura bisa di angka Rp5 juta.
Menurut Lidya, usaha bisnis jastip ini sangat direkomendasikan. Sebab, ini bisa memberikan kepraktisan bagi sebagian orang yang malas berbelanja di luar negeri.
“Recomend, karena orang banyak yang malas untuk belanja sendiri, jadi menggunakan bisnis jastip di mana mereka bisa langsung dapatkan barang yang mereka inginkan tanpa effort," ucapnya.
Boleh Jastip Asal Mengikuti Aturan Bea Cukai
Nirwala Dwi Heryanto, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Ditjen Bea dan Cukai mengatakan, pada prinsipnya, jastip tidak dikenal dalam terminologi bea cukai. Jastip sendiri masuk ke dalam bagian dari barang bawaan penumpang yang ketentuannya diatur dalam PMK-203/PMK.04/2017.
“Aturan ini mengategorikan barang penumpang menjadi dua, yaitu barang personaluse dan non-personaluse. Pembebasan Bea Masuk dan Pajak dalam Rangka Impor (PDRI) diberikan untuk barang personaluse dengan nilai pabean maksimal free on board (FOB) USD 500 per orang untuk setiap kedatangan," ucap Nirwala saat dihubungi Tirto, Jumat (21/7/2023).
Sedangkan, untuk barang non-personal use tidak mendapatkan pembebasan Bea Masuk dan PDRI. Jastip masuk ke dalam kategori barang non-personal use, karena baik dari sisi jumlah, jenis dan sifatnya tidak wajar untuk keperluan pribadi.
“Asalkan dilakukan sesuai ketentuan, dalam hal ini penumpang wajib mendeklarasikan barang bawaannya secara lengkap dan benar, memenuhi persyaratan impor serta menunaikan kewajiban pembayaran Bea Masuk dan Pajak Impor atas barang bawaannya, maka jastip bukanlah sesuatu hal yang dilarang," bebernya.
Nirwala menilai, jastip memang dapat menimbulkan potensi kerugian bagi negara apabila dalam praktiknya penumpang tidak memberitahukan barang bawaannya, sehingga berdampak pada tidak terpenuhinya kewajiban pembayaran pungutan Bea Masuk dan Pajak Impor sebagaimana mestinya.
“Kasus jastip ilegal muncul karena adanya oknum yang berupaya mencari celah dalam menghindari pengenaan Bea Masuk dan Pajak Impor atas barang bawaannya. Beberapa modus yang kerap dilakukan antara lain tidak mendeklarasikan barang bawaannya pada dokumen customs declaration atau PIBK secara lengkap dan benar, melepas tag harga, menyembunyikan nota pembelian, memisahkan barang dengan kardus/box-nya, dan lain-lain," jelasnya.
Menurut Nirwala, selama kegiatan jastip dilakukan dengan sesuai aturan, maka tidak akan menimbulkan bahaya bagi negara melainkan pemasukan untuk negara.
Nirwala menuturkan, dengan adanya jastip ini pihaknya pemerintah melalui Bea Cukai memiliki tools dalam melakukan pengawasan, baik melalui, penggunaan teknologi informasi, teknik profiling, manajemen risiko dan lain-lain.
“Pemeriksaan oleh Bea Cukai terhadap barang bawaan penumpang dilakukan secara selektif menggunakan manajemen risiko, mengingat jumlah penumpang yang sangat banyak dan sifatnya yang peka waktu,” ungkapnya.
Nirwala menambahkan, saat ini Bea Cukai telah menerapkan pemberitahuan customs declaration secara elektronik (e-CD) di beberapa bandara besar dan akan diperluas ke bandara lainnya. Dengan e-CD, Nirwala berharap Bea Cukai akan memiliki data perilaku penumpang dalam membawa barangnya dari luar negeri, sehingga memperkuat analisis petugas untuk keperluan penerapan manajemen risiko tersebut.
Nirwala mengungkapkan, jastip justru bisa menambah potensi pemasukan bagi negara. Apabila dilakukan sesuai dengan aturan yang berlaku.
“Jastip justru dapat menambah potensi pemasukan bagi negara, apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Jastip menjadi ilegal apabila dilakukan dengan upaya mencari celah dalam menghindari pengenaan Bea Masuk dan Pajak Impor atas barang bawaan,” kata dia.
Maraknya Jastip Dinilai Cukup Meresahkan
Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, maraknya jastip barang impor dinilai sangat meresahkan pelaku usaha lokal. Sebab, saat ini barang jastip yang marak berdatangan sebagian besar adalah barang-barang palsu.
“Dulu barang-barang jastip memang sebagian besar barang mewah atau barang yang tidak dijual di Indonesia. Sekarang marak jastip termasuk barang-barang palsu, dan barang yang sebenarnya beredar di dalam negeri tapi barang jastip harga nya lebih murah," ucap Bhima saat dihubungi Tirto.
Menurutnya, jastip tersebut hanya memanfaatkan barang bawaan penumpang penerbangan serta tidak membayar pajak terkait barang bawaan yang dibawa dari negara asal.
“Jastip yang sifatnya pembelian dengan memanfaatkan barang bawaan penumpang penerbangan jelas tidak bayar pajak. Artinya, ada pendapatan negara yang hilang. Begitu sampai di bandara, pelaku jastip akan berkelit kalau barang yang dibeli merupakan barang pribadi sehingga bebas dari bea masuk, dan PPN," jelasnya.
Bhima menjelaskan, jika dihitung kerugian pendapatan negara bisa lebih dari Rp4 miliar. Dan angka tersebut saat ini sudah tembus hingga Rp15 miliar per harinya.
“Kalau dihitung kerugian pendapatan negara ya pasti lebih tinggi dari estimasi Rp4 miliar per hari di 2019. Proyeksi angka nya saat ini bisa tembus Rp10-15 miliar sehari," ungkapnya.
Bhima berharap, pemerintah dapat memberikan pengawasan yang ketat terhadap datangnya barang jastip ini dari para penumpang penerbangan. Mulai dari penjagaan ketat di pintu kedatangan Bandara internasional hingga penelusuran usaha jastip di media sosial.
“Sebaiknya pemerintah benar-benar ketat dalam pemeriksaan barang di pintu kedatangan bandara internasional. kemudian bisa juga dilakukan penelusuran jastip via media sosial dicocokan dengan setoran pajak di SPT nya. Rata-rata jastip kan bisnis perorangan, sehingga tinggal dicek saja laporan pajaknya," imbuhnya.
Bhima menambahkan, “Bahkan tidak menutup kemungkinan kalau jastip makin marak, bisa dilakukan pembatasan bisnis jastip perorangan di media sosial. Kemendag tinggal koordinasi dengan platform sosial media untuk batasi jastip.”
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari
Editor: Abdul Aziz