Menuju konten utama

Menguji Narasi PSI soal BPJS Kesehatan Gratis Jelang Pemilu 2024

Timboel Siregar sebut sebaiknya memperbaiki masalah BPJS Kesehatan yang saat ini ada, daripada menghapus iuran.

Menguji Narasi PSI soal BPJS Kesehatan Gratis Jelang Pemilu 2024
Warga menunjukkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) BPJS Kesehatan di Jakarta, Selasa (3/11/2020). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar/foc.

tirto.id - Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mendorong BPJS Kesehatan digratiskan. Ketua DPP PSI, Dedek Prayudi mengatakan, alasan mereka mendorong BPJS Kesehatan gratis berangkat dari DNA PSI yang mengusung kesetaraan.

Ia mengingat BPJS Kesehatan dibentuk dengan semangat perwujudan keadilan sosial. Hal tersebut sesuai UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN sebagai regulasi turunan dari konstitusi UUD 1945 Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) yakni tentang kewajiban negara memenuhi hak WNI untuk mengakses layanan kesehatan tanpa kecuali. Akan tetapi, pelaksanaan berbeda.

“Kerap pada praktiknya, WNI terenggut hak pemenuhan kebutuhan kesehatan tersebut hanya karena kendala administratif (46,44% pada 2021 menurut DJSN), seperti tunggakan bayaran, tidak terdaftar sebagai peserta BPJS atau warga miskin namun bukan peserta PBI," kata pria yang karib disapa Uki kepada reporter Tirto, Jumat (14/7/2023).

Uki mengatakan, pemisahan layanan kelompok masyarakat pada layanan kesehatan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) seperti Puskesmas atau FKRTL seperti RS Swasta memicu diskriminasi dalam pelaksanaan pelayanan. Menurut PSI, kemunculan diskriminasi lapangan seperti antrean maupun kualitas layanan akibat iuran.

“Ditambah lagi dengan banyaknya tunggakan iuran beserta dendanya yang membuat masyarakat yang terdampak tidak dapat mengakses manfaat JKN. Sementara untuk terdaftar sebagai PBI (Penerima Bantuan Iuran) JKN memerlukan proses & waktu yang panjang,” kata Uki.

Uki menilai, gagasan sistem kepesertaan BPJS Kesehatan dapat dihapus dan pelaksanaan BPJS Kesehatan dapat dilakukan secara gratis. Solusi defisit keuangan BPJS Kesehatan, kata Uki, bisa dengan cara mengajukan klaim kepada pemerintah pusat untuk pelaksanaan pembiayaan kesehatan publik.

Ia mencontohkan, biaya klaim BPJS Kesehatan pada 2022 adalah Rp113 triliun. APBN/APBD mengeluarkan biaya total Rp62,5 triliun untuk peserta BPJS PBI dari pemerintah.

Sisanya, kata Uki, bisa diambil dari anggaran Pajak Pertambahan Nilai dan dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN/PPNBM) dengan nominal 1 persen sehingga pajak naik dari 11 persen ke 12 persen. Ia menilai 1 persen cukup jika menggunakan kalkulasi penerimaan saat ini.

“Praktis, dibutuhkan pembiayaan sekitar 51 triliun rupiah untuk menutupi sisanya. Lima puluh satu triliun rupiah tersebut diambil dari earmarking PPN/PPNBM sebanyak 1%," kata Uki.

Menurut Uki, pengambilan 1 persen dari pajak adalah hal wajar. Ia menilai, pengambilan dari besaran pajak 1 persen tidak jauh berbeda dengan pungutan iuran yang dilakukan BPJS Kesehatan saat ini. Ia mengutip data BPS bahwa angka PPN/PPNBM Indonesia 2021 sebanya Rp551,9 triliun; tahun 2022 sebesar Rp680,74 trilun; dan 2023 diprediksi tembus Rp740,053 triliun.

Ia menambahkan, sistem ini bisa membuat sejumlah masalah BPJS Kesehatan selama ini bisa ditangani, salah satunya terkait masalah kepesertaan. Ia mengatakan, BPJS Kesehatan mengalami tantangan akibat target kepesertaan maupun masalah kepesertaan untuk mendapat pelayanan kesehatan.

“Sekarang ini BPJS itu selalu dipusingkan sama namanya kepesertaan. Mas tahu gak? Pada Mei 2023, peserta BPJS mandiri yang aktif itu cuma 26 persen, 76 persen gak aktif. Di satu sisi, BPJS Kesehatan punya kewajiban untuk terus-terusan mencari peserta," kata Uki.

Uki mengatakan, tidak sedikit peserta BPJS Kesehatan berubah menjadi non-aktif, apalagi akibat COVID-19. Tidak sedikit masyarakat tidak mampu, sementara kesehatan adalah hak masyarakat.

Kemudian, pemerintah bisa menyelesaikan masalah carut-marut data masyarakat miskin penerima PBI. Ia mengatakan, PBI saat ini sudah mengakomodir 60 persen penerima BPJS Kesehatan, tetapi masih banyak penerima BPJS Kesehatan dengan status mampu. Ia mengatakan, masalah data terjadi akibat pendata masih berkutat untuk keluarga atau kerabat sekitar dan bukan warga umum.

“Jangan sampai nanti warga negara Indonesia haknya terenggut untuk mendapat layanan kesehatan karena hal-hal administratif," kata Uki.

Uki mengatakan, sistem ini sudah dilakukan di negara Finlandia. Ia mengakui bahwa ada biaya besar ketika Finlandia melakukan sistem tersebut. Akan tetapi, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan juga meningkat dan indeks angka kesehatan di negara tersebut naik. Ia pun mengatakan, sistem yang sama juga dilakukan di negara lain seperti Malaysia.

Uki mengakui bahwa gagasan ini adalah gagasan politis. Ia mengatakan, gagasan penghapusan kepesertaan BPJS Kesehatan dan penerapan secara gratis adalah salah satu materi kampanye mereka.

Ia juga mengatakan bahwa gagasan ini diuji di internal PSI lewat diskusi dengan para ahli dan persepsi publik. Uki yakin ide mereka efektif dan membawa suara besar serta meloloskan partai yang dinakhodai Giring Ganesha itu ke parlemen di Senayan, Jakarta.

BPJS Watch: Sebaiknya Perbaiki Masalah, Bukan Hapus Iuran

Pegiat BPJS Kesehatan dari BPJS Watch, Timboel Siregar menilai, gagasan yang dinarasikan PSI tersebut positif. Namun, kata dia, sebaiknya memperbaiki masalah BPJS Kesehatan yang saat ini ada, daripada menghapus iuran.

“Jadi kalau dia mau menghapus iuran, menghapus kelas, kemudian mau menghapus semuanya ditanggung pemerintah, menurut saya nggak tepat, karena satu persoalan kebutuhan APBN itu juga ada batasnya untuk kesehatan, untuk bantuan," kata Timboel saat dihubungi reporter Tirto.

Timboel menilai, angka yang ditanggung BPJS Kesehatan sudah tembus Rp113 triliun pada 2022. Jika diambil dari APBN semua, Timboel menilai, maka sulit. Sebab, Kementerian Keuangan perlu pintar dalam mengelola anggaran. Ia mengingatkan, bujet tidak hanya soal PBI, melainkan juga anggaran preventif kesehatan maupun biaya kesehatan lain di masa depan.

Timboel menilai, gagasan PSI juga halusinasi karena pemerintah menghapus dana alokasi minimal yakni 5 persen untuk APBN dan 10 persen untuk APBD lewat UU Kesehatan yang baru saja disahkan.

Timboel menyoalkan bagaimana pemerintah mau membiayai layanan kesehatan Rp113,47 triliun tanpa ada kesinambungan fiskal. Ia khawatir biaya layanan kesehatan Indonesia akan naik hingga sekitar Rp140 triliun akibat kenaikan INA CBGS, kenaikan biaya kapitasi dan kenaikan biaya screening.

“Di 3 bulan pertama saja sudah Rp46 triliun pembiayaan di 2023. Itu sudah Rp46 triliun, Januari, Februari, Maret, 3 bulan pertama," kata Timboel.

Timboel menambahkan, "Itu baru biaya kesehatan, belum bayar gaji, belum bayar penelitian, pengembangan teknologi, pendirian puskesmas, belum pendirian rumah sakit.”

Timboel mengatakan, saat ini pemerintah juga terus menurunkan jumlah peserta PBI. Dari kuota PBI sebanyak 96,8 juta fakir miskin dan orang tidak mampu, pada 2022 lalu, pemerintah hanya membiayai 86,6 juta untuk PBI dengan total iuran Rp43,64 Triliun. Jumlah ini masih akan terus dikurangi di 2023 sehingga alokasi anggaran untuk PBI akan menurun lagi.

Sumber utama penerimaan negara adalah dari pajak, sementara tax ratio kita masih sekitar 10,4% pada 2022, kata Timboel. Dan faktanya masih banyak pelaku usaha dan masyarakat yang tidak patuh membayar pajak dengan benar.

Dalam narasinya, PSI membandingkan program JKN dengan skema pembiayaan kesehatan di negara Malaysia, Swedia, dan Finlandia yang semuanya ditanggung oleh pajak. “Menurut saya hal tersebut kurang tepat mengingat banyak hal, seperti jumlah penduduk kita yang sangat besar dibandingkan ketiga negara tersebut, tax rasio ketiga negara tersebut lebih tinggi dari Indonesia, kesadaran hidup sehat di ketiga negara tersebut sudah lebih baik sehingga upaya kuratif bisa diminimalisir,” kata dia.

Karena itu, kata Timboel, solusi yang ditawarkan semestinya tidak perlu mengubah sistem menjadi gratis. Solusi pertama adalah melakukan pembersihan data. Kementerian Sosial maupun dinas sosial harus melakukan pendataan secara objektif. Pemerintah harus menyampaikan langsung ke masyarakat bahwa data mereka dinon-aktif.

“Jangan sampai masyarakat tahu dinonaktifkan kepesertaanya ketika sedang sakit," kata Timboel.

Timboel menilai permasalahan peserta mandiri bisa ditangani oleh Kementerian Sosial maupun Dinsos. Pemerintah bisa memberikan diskon atau skema cicil tunggakan yang ada.

“Untuk kepesertaan pekerja penerima upah, masih banyak perusahaan yang tidak mau mendaftarkan pekerja dan keluarganya ke program JKN, demikian juga ada perusahaan yang tidak disiplin membayar iuran JKN. Untuk masalah ini seharusnya pemerintah memberlakukan PP No. 86 Tahun 2013 tentang sanksi tidak dapat layanan publik serta memperkuat kinerja Pengawas Ketenagakerjaan," kata Timboel.

Respons Pihak BPJS Kesehatan

Direktur utama BPJS Kesehatan, Ali Ghufron Mukti mengingatkan bahwa konsep iuran dalam JKN sudah sesuai dengan prinsip gotong royong. Prinsip ini dinilainya mencerminkan semangat Pancasila.

“Salah satu prinsip jaminan sosial adalah gotong royong. Orang sehat secara langsung membantu yang sakit, yang kaya membantu yang miskin, yang muda membantu yang tua, prinsip nilai Pancasila ini konsep gotong royong diterapkan,” ujar Ghufron ketika dikonfirmasi reporter Tirto, Jumat (14/7/2023).

Ghufron menyampaikan, program BPJS Kesehatan tidak membedakan orang mampu dan tidak mampu. Pemerintah menanggung beban iuran biaya BPJS Kesehatan warga yang tidak mampu dalam skema Penerima Bantuan Iuran (PBI).

Ia mengklaim sistem yang ada sudah mempertimbangkan konsep dan pelaksanaan di lapangan. Program JKN saat ini, klaim Ghufron, adalah bukti keberpihakan negara kepada rakyat. Ghufron menyatakan hal ini membuat semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali, mendapatkan perlindungan jaminan kesehatan yang komprehensif.

“BPJS Kesehatan bersama stakeholder terkait juga terus bergerak melakukan transformasi mutu layanan di berbagai aspek demi kepuasan dan kenyamanan para peserta JKN,” ujar Ghufron.

Namun ia tak menyangkal memang masih ada celah untuk perbaikan BPJS Kesehatan. Upaya yang pihaknya telah lakukan adalah melakukan simplifikasi administrasi pelayanan.

“Administrasi pelayanan kesehatan cukup menggunakan Nomor Induk Kependudukan (NIK), pemanfaatan sistem antrean online, dan akses pelayanan kesehatan bagi peserta JKN tanpa berkas fotokopi. Komitmen kami, peserta JKN terlayani dengan mudah, cepat, dan setara,” jelas Ghufron.

Untuk mewujudkan pelayanan setara, kata Ghufron, mereka selalu menekankan kepada peserta dan seluruh pemangku kepentingan bahwa dalam program JKN tidak ada perbedaan antara pasien BPJS Kesehatan dengan pasien non-BPJS Kesehatan.

Ghufron juga menegaskan tidak ada biaya selama peserta mengikuti aturan dan ketentuan yang berlaku. “Jika peserta menemukan adanya iur biaya atau dilayani tidak sesuai ketentuan, peserta dapat melaporkan kepada petugas BPJS SATU yang ada di setiap rumah sakit,” terang Ghufron.

Menurut Ghufron, komitmen ini didukung oleh fasilitas kesehatan sebagai mitra kerja yang memberikan layanan kesehatan langsung kepada peserta. “Bahkan fasilitas kesehatan baik FKTP maupun FKRTL telah menyatakan komitmennya melalui Janji Layanan JKN,” imbuhnya.

Dulu, kata Ghufron, sudah ada konsep Askeskin dan Jamkesmas yang dananya dari APBN. Hadirnya, program JKN oleh BPJS Kesehatan diklaimnya justru memperbaiki sistem sebelumnya.

“Sekarang sudah on the right track memang masih ada ruang-ruang untuk perbaikan tetapi jangan diubah konsep pendasarnya,” tutupnya.

Narasi PSI Bisa Berdampak Elektoral?

Analis politik Ipsos Public Affairs, Arif Nurul Imam mengakui, janji kampanye PSI soal BPJS Kesehatan gratis bisa saja dilakukan untuk menggaet elektoral. Akan tetapi, janji tersebut harus diikuti dengan gambaran implementasi terukur.

"Soal PSI menjanjikan dengan kampanye BPJS gratis tentu ini secara politik untuk menarik simpati publik. Hanya saja, usulan tersebut juga mesti dibarengi bagaimana cara implementasi yang terukur," kata Imam kepada reporter Tirto.

Imam mengatakan, publik akan melihat masuk akal atau tidak tawaran yang diberikan. Jika masuk akal, maka publik akan merespons positif. Jika tidak masuk akal, publik akan melihat sebagai jargon semata.

Dalam kacamata Imam, ia pesimistis gagasan tersebut direspons publik karena kurang masuk akal atau sulit direalisasikan. “Saya tidak yakin signifikan direspons publik," kata Imam.

BPJS KESEHATAN HAPUS KELAS RAWAT INAP

Petugas melayani warga di loket BPJS Kesehatan Jakarta Pusat, Jakarta, Jumat (17/6/2022). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/pras.

Baca juga artikel terkait BPJS KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz