Menuju konten utama

Peta Persaingan E-Dagang usai YouTube Shopping Masuk Indonesia

Pemerintah harus dapat bersikap tegas terhadap platform untuk menyikapi impor ilegal.

Peta Persaingan E-Dagang usai YouTube Shopping Masuk Indonesia
Ilustrasi youtube. FOTO/iStockphoto

tirto.id - YouTube resmi meluncurkan program afiliasi YouTube Shopping di Indonesia, dengan menggandeng Shopee sebagai mitra perdana. Melalui kerja sama ini, kreator konten dapat memajang produk yang dijual atau diiklankannya dari Shopee ke video yang diunggah di saluran YouTube, baik dalam bentuk landscape, video singkat (shorts) maupun siaran langsung (live stream).

General Manager dan Vice President Shopping YouTube, Travis Katz, mengatakan, melalui inisiatif ini diharapkan dapat memberi kemudahan bagi penonton untuk menemukan dan membeli produk yang mereka minati. Pada saat yang sama, kerja sama ini juga membuka peluang bagi kreator konten untuk menaikkan pendapatan mereka.

Sederhananya, melalui YouTube Shopping, penonton bisa langsung berbelanja saat menemukan produk yang mereka lihat dari video yang diunggah kreator konten.

“Kami sangat antusias untuk membawanya ke Indonesia, dengan memulai kemitraan dengan Shopee, setelah suksesnya peluncuran ini di Amerika Serikat dan Korea. Dan kami yakin kreator Indonesia akan menggunakan fitur ini dengan kreatif dalam konten belanja mereka, dan kami berharap dapat melihat dampak positifnya bagi komunitas kreator dan ekosistem belanja online di Indonesia,” kata Katz, dalam keterangannya, dikutip Tirto, Jumat (20/9/2024).

Konsep afiliasi ini sebetulnya bukan hal baru di Indonesia. Sebelumnya, Tiktok Shop telah memulai tren ini lebih dulu, dengan mengintegrasikan layanan belanja langsung alias live shopping di platform belanja daring Tokopedia.

Direktur Regional APAC YouTube, Ajay Vidyasagar, mengungkapkan, Indonesia menjadi pilihan pertama di antara negara Asia Tenggara lainnya karena tingginya waktu yang disisihkan masyarakat untuk menonton video daring guna mencari Informasi produk yang ingin mereka beli.

Kebiasaan ini dibuktikan oleh riset perusahaan konsultan merek dan analisis data, Kantar, yang menyebut bahwa 96 persen masyarakat terlebih dulu menonton video untuk mencari referensi atas produk yang akan dibeli.

“Dan YouTube memainkan peran penting dalam membangun kepercayaan mereka terhadap kepastian dalam mengambil keputusan pembelian,” ujar Vidyasagar.

YouTube Shopping

YouTube Shopping. (FOTO/dok. Youtube)

Optimisme itu berasal dari sekitar 30 miliar jam video terkait belanja di YouTube yang ditonton oleh orang-orang di seluruh dunia pada 2023.

“Kami sangat antusias untuk melihat bagaimana kreator Indonesia menggunakan fitur ini untuk berinteraksi dengan penggemar mereka, menampilkan produk-produk baru, dan menghasilkan pendapatan tambahan. Kami akan terus berkomitmen untuk meningkatkan pengalaman berbelanja di platform kami, serta terus berkontribusi pada perkembangan ekonomi digital Indonesia,” imbuh Vidyasagar.

Sementara itu, selain kreator konten dan penonton, program afiliasi YouTube Shopping di Indonesia juga diharapkan dapat memberi dampak positif bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). Karena dengan integrasi ini, YouTube akan langsung menghubungkan video yang dibuat kreator konten dengan para penjual di Shopee.

"Melalui fitur interaktif seperti Shopee Live dan Shopee Video. Kami yakin bahwa kerja sama dengan YouTube akan mendukung penjual; termasuk produk lokal dan UMKM di platform kami untuk bisa lebih bertumbuh," jelas Senior Director of Marketing Growth Shopee Indonesia, Monica Vionna.

Tren Social Commerce Masih Terus Berlanjut

Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai, kehadiran YouTube Shopping di Indonesia membuktikan bahwa tren live shopping dan social commerce alias proses jual beli melalui media sosial masih akan terus berlanjut.

Hal ini sesuai dengan riset Compas yang menunjukkan bahwa di lini produk konsumsi bergerak cepat alias Fast-Moving Consumer Goods (FMCG) pada semester I 2024, Tiktok Shop berhasil meraup market share 18,6 persen atau senilai Rp8,9 triliun.

Menurut analisis perusahaan business intelligence itu, melejitnya penjualan di Tiktok Shop didorong fitur interaktif yang memfasilitasi seller untuk mempromosikan produknya dan melakukan penawaran secara eksklusif kepada penonton melalui live shopping.

"Keadaan ini berbanding terbalik dengan Tokopedia, yang dilihat dari tiga semester terakhir nilai penjualannya secara konsisten terus menurun. Bahkan setelah diakuisisi oleh Bytedance (TikTok) pada awal Januari 2024, tren nilai penjualan Tokopedia masih terus menurun hingga semester ini," tulis laporan Compas, dikutip Tirto, Jumat (20/9/2024).

Tokopedia diketahui hanya meraup market share Rp5,2 triliun, lebih rendah dibanding paruh kedua 2023 dan semester I 2023 yang masing-masing sebesar Rp5,5 triliun dan Rp6,8 triliun. Namun, jika dibanding Shopee, belum ada yang mampu mengalahkan penjualan produk FMCG dari platform e-commerce milik Sea Group tersebut. Pasalnya, kontribusi penjualan produk FMCG di Shopee pada semester I 2024 mencapai Rp30,2 triliun, dari total pertumbuhan produk konsumsi yang sebesar Rp47,8 triliun.

“Jadi model bisnis untuk Shopping itu kan di YouTube nanti akan ada satu menu baru. Dan dia mengarahkan berbagai produk dan menunya itu tersambung ke Shopee. Memang ini merupakan langkah sebenarnya Shopee itu masuk ke dalam social commerce. Selama ini kalau kita lihat Tiktok kan dia langsung mengarahkan ke Tokopedia,” kata Nailul, saat dihubungi Tirto, Jumat (20/9/2024).

Ilustrasi Shopee

Ilustrasi Shopee. foto/IStockphoto

Sebagai sosial media, YouTube telah memiliki basis pengunjung besar. Berdasar riset Slice, perusahaan perangkat lunak sebagai layanan asal Indonesia yang bergerak di bidang pemasaran kreator konten, YouTube memiliki 139 juta pengguna di Indonesia, lebih besar dari Tiktok yang hanya memiliki 127 pengguna. Dengan layanan YouTube advertising menjadi pendorong tingginya pengguna.

“Tapi yang jelas ini merupakan persaingan baru yang memang kalau selama ini kita lihat sosial media itu paling besar penggunanya YouTube. Selama ini kan Shopee kan live shopping-nya mengandalkan aplikasi Shopee saja. Ini mereka bekerja sama dengan Google (YouTube) supaya bisa mengalihkan link-nya ke Shopee,” imbuh Huda.

Selain itu, berbeda dengan program afiliasi yang terdapat di Tiktok Shop dan Tokopedia, di mana kebanyakan produk yang dicari konsumen adalah FMCG, mantan peneliti Indef itu merasa kalau YouTube Shopping bakal mencoba meraup pasar produk elektronik, khususnya gawai. Ini mengingat banyaknya masyarakat yang biasanya mencari referensi produk elektronik di platform media sosial berbasis video itu.

“Kalau kita lihat, di Shopee ini kan ketika mencari produk sehari-hari, itu langsung ke Shopee-nya. Tapi menariknya, orang yang membeli gadget itu cari referensinya di YouTube, jarang di Tiktok. Itu kemungkinan mereka akan merebut pasar yang selama ini dipunyai Tokopedia untuk elektronik. Tokopedia sangat kuat di barang-barang hobbies. Ini kemungkinan akan jadi incaran Shopee,” jelas Huda.

Waspada Impor Ilegal dan Predatory Pricing

Berbeda dengan Huda, Ketua Umum Indonesian Digital Empowering Community (IDIEC), M. Tesar Sandikapura, melihat YouTube Shopping akan cukup sulit menggeser posisi Tiktok Shop sebagai social commerce terbesar di Indonesia. Ditambah lagi, pengguna Tiktok didominasi oleh kaum muda yang lebih adaptif terhadap teknologi dan ramah akan kebiasaan belanja daring. Sebaliknya, pengguna YouTube lebih beragam jika dilihat dari usia.

Namun, lebih penting dari itu, pengguna YouTube memiliki kebiasaan hanya untuk menonton video. “Nah kalau Tiktok, itu dari emak-emak sampai anak muda yang gabut (tidak ada kerjaan), mereka suka scroll untuk melihat-lihat produk yang diiklankan influencer kesukaan mereka. Dan kalau mereka tertarik, akan langsung check out,” ujarnya, kepada Tirto, Jumat (20/9/2024).

Sementara itu, dengan hadirnya YouTube Shopping, Tesar mengakui, industri e-commerce nasional akan makin semarak. Namun, dengan banyaknya e-commerce saat ini, mulai dari Tiktok Shop, Tokopedia, BliBli, Lazada, hingga platform anyar asal Amerika, Market Indonesia shop.com, akan sangat bergantung pada seberapa murah dan lengkap barang yang dijajakan di dalam platform dagang-el.

“Karena sifat orang Indonesia itu agnostik, termasuk saya, dia akan mencari barang yang harganya murah, diskonnya besar dan gratis ongkir (ongkos kirim). Kalau sudah menemukan barang dengan tiga syarat itu, dia tidak akan melihat platform-nya apa dan dari mana, dia akan langsung beli,” imbuh Tesar.

Diakuinya, kebiasaan ini bisa saja akan menimbulkan fenomena predatory pricing, baik oleh penjual maupun platform. Ditambah lagi, jika pemerintah tak segera memperketat aturan impor produk yang masuk ke e-commerce, fenomena saling banting harga jelas akan membuat produsen lokal, apalagi UMKM kalah saing.

“Karena itu, penting untuk pemerintah mengeluarkan aturan batas bawah dari harga produk yang dipasarkan di e-commerce. Kemudian juga dari platform juga harus bisa tegas terhadap pedagang-pedagang nakal yang masang harga sangat rendah,” tegas dia.

Sementara itu, menurut peneliti Celios, Nailul Huda, baik itu untuk e-commerce maupun social commerce, pemerintah harus dapat bersikap tegas terhadap platform untuk menyikapi impor ilegal. Pada saat yang sama, pemerintah juga harus tegas dalam memberikan instruksi kepada platform agar dapat menyertakan informasi importir yang menjajakan dagangannya di sana.

“Ini kan tinggal kewenangan dari platform itu untuk memuat informasi dari platform. Itu kan simple. Tapi kenapa nggak bisa diterapkan, saya juga nggak tahu,” ujar Huda.

Aturan pencatatan penjualan daring

Seorang pedagang melakukan transaksi secara daring pada salah satu platform e-commerce di Pasar Tanah Abang, Jakarta, Selasa (31/10/2023). ANTARA FOTO/Ahmad Muzdaffar Fauzan/Ak/tom.

Dihubungi terpisah, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), Hilmi Adrianto, mengatakan, perkembangan di industri e-commerce sangat dinamis. Sehingga, inovasi melalui pemanfaatan teknologi dan kolaborasi dengan berbagai pihak menjadi kunci agar industri bisa terus bertumbuh dan berkelanjutan.

Karenanya, kehadiran YouTube Shopping dinilai akan memperkaya industri e-commerce nasional. “Yang tentunya juga berkontribusi langsung pada pertumbuhan perekonomian digital di Indonesia. Sebagai asosiasi tentunya kami mendukung selama pengembangan tersebut berada dalam koridor peraturan perundang-undangan yang ada. Terlebih apabila inovasi dan kolaborasi tersebut mampu membantu UMKM dan meningkatkan volume transaksi terhadap produk lokal,” kata Hilmi, melalui aplikasi perpesanan kepada Tirto, Jumat (20/9/2024).

Sementara itu, Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki, mengungkapkan dirinya tak masalah dengan kehadiran platform e-commerce anyar di Indonesia, termasuk dalam hal ini YouTube Shopping. Namun, yang paling penting adalah YouTube Shopping harus terlebih dulu memiliki izin operasi di Indonesia.

Jika menarik ke belakang, Tiktok Shop sempat dilarang oleh pemerintah karena beroperasi tanpa izin. Belum lagi, transaksi perdagangan berlangsung di dalam platform media sosial, yang mana ini adalah suatu hal yang dilarang. Karenanya, jika YouTube belum memiliki izin sebagai e-commerce, tak masalah kreator konten sekadar melakukan promosi di media sosial tersebut. Namun, tidak dengan aktivitas jual beli.

“Nah, saya nggak tahu apakah YouTube itu juga sudah bikin YouTube shop-nya yang punya izin. Nah, misalnya izinnya di Shopee, jualannya di Shopee, nggak masalah. Tapi kan kebijakan kita multi-channel. Bukan dipisah, tapi multi-channel dan misalnya bisa jualan di Shopee, di Tokped (Tokopedia), bisa di mana saja. Tidak hanya seperti itu,” ucap Teten, saat ditemui di Kantornya.

Baca juga artikel terkait E-COMMERCE atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - News
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fahreza Rizky