tirto.id - Penyakit rabies atau ‘anjing gila’ punya sejarah yang panjang di Indonesia. Kasus rabies pada hewan ditemukan sejak 1884 di Indonesia, sementara kasus rabies pada manusia tercatat mulai muncul pada 1894 di wilayah Jawa Barat.
Lebih dari seratus tahun sejak pertama kali ditemukan, masalah rabies di Tanah Air tak kunjung beres. Kendati demikian, pemerintah saat ini punya harapan bahwa Indonesia bisa bebas rabies pada 2030.
Harapan tersebut tentu diiringi dengan upaya dan hadirnya sejumlah tantangan. Tantangan dalam pengentasan rabies, tentu bukan persoalan yang sederhana. Nyatanya, kasus rabies di Indonesia kian mengalami peningkatan. Saat ini, Indonesia memiliki 25 provinsi yang menjadi daerah endemis rabies.
Alih-alih membaik, dua daerah justru melaporkan adanya kejadian luar biasa (KLB) rabies, yaitu Kabupaten Sikka dan Kabupaten Timor Tengah Selatan di Nusa Tenggara Timur. Adapun ada 8 provinsi yang telah dinyatakan bebas penyakit rabies. Delapan provinsi tersebut adalah Kepulauan Riau, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Papua Barat, dan Papua.
Sejumlah Tantangan
Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane menyatakan, penanganan rabies sangat bergantung pada intervensi pengendalian pada hewan pembawa virus rabies. Di Indonesia, kasus rabies sendiri didominasi akibat gigitan anjing.
Fatalitas pada manusia, kata Masdalina, bisa mencapai 100 persen atau kematian jika tidak segera ditangani pasca terpajan hewan rabies.
“Pengendalian rabies sangat tergantung pada pengendalian anjing dan hewan pembawa rabies di wilayah. Sektor kesehatan akan terdampak ketika Kementerian Pertanian terutama direktorat kesehatan hewan, gagal melakukan pengendalian hewan pembawa virus rabies,” ujar Masdalina dihubungi reporter Tirto, Senin (24/7/2023).
Masdalina juga menilai bahwa di sektor kesehatan, masih ditemukan adanya kasus kekurangan vaksin dan obat antirabies di lapangan. Hal ini tentu membuat fatalitas pada manusia menjadi semakin meningkat.
“Memang serba salah, disiapkan kalau tidak ada kasus lalu expired menjadi temuan. Tidak disiapkan tapi ada kasus pontang-panting juga mencari obatnya,” ujar Masdalina.
Ia menambahkan, penanganan rabies belakangan ini mengalami kemunduran. Ini dibuktikan dengan beberapa wilayah yang kembali ditemui kasus rabies pada manusia. Secara umum, kata Masdalina, pengendalian infeksi menular masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah.
“Dulu Bali dan NTT sudah lumayan baik upaya pengendalian rabiesnya, tapi saat ini malah muncul kembali,” sambung Masdalina.
Mengacu pada data Kementerian Kesehatan selama Januari hingga April 2023, Bali dan NTT merupakan dua provinsi dengan kasus rabies tertinggi di Indonesia. Dalam data tersebut, Bali tercatat memiliki 14.827 kasus rabies. Sementara di NTT, tercatat ada 3.437 laporan kasus rabies.
Dihubungi terpisah, Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menyampaikan, ada sejumlah faktor yang menyebabkan suatu daerah memiliki kasus rabies yang tinggi.
Menurut Dicky, rabies pada suatu daerah dapat melonjak karena pada tempat tersebut memiliki hewan reservoir virus rabies dengan populasi tinggi. Seperti anjing liar, rakun, juga termasuk kelelawar. Ditambah, kata Dicky, kurangnya vaksinasi rabies pada hewan domestik seperti anjing dan kucing di daerah tersebut.
Ia menambahkan, Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus kematian akibat rabies yang cukup tinggi. Dicky juga menyoroti tidak memadainya (inadekuat) sejumlah fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya kesehatan dalam melakukan surveilans atau pendeteksian dini kasus rabies.
“Kurangnya peran stakeholder terutama pemerintahnya dalam penanganan penyakitnya. Dari negara sendiri tidak memadai menyediakan post exposure prophylaxis (PEP) dalam artian sulit dijangkau dan atau suplainya tidak memadai atau bisa juga tenaga kesehatannya tidak memahami. Ini faktor yang membuat suatu daerah bisa tinggi kasus rabiesnya,” ujar Dicky kepada reporter Tirto.
PEP merupakan suatu program vaksinasi yang melindungi terhadap rabies, setelah terkena gigitan hewan pembawa rabies. PEP terdiri dari suntikan imunoglobulin atau antibodi terhadap virus rabies ke dalam luka, dan serangkaian vaksinasi lanjutan.
Dicky menyampaikan, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terdapat 59 ribu kasus kematian per tahun di seluruh dunia akibat rabies. Gigitan anjing menjadi penyebab terbanyak kasus rabies pada manusia dengan angka mencapai 99 persen. Ia menegaskan, ketika sudah terjadi gejala pasca terpajan hewan rabies, umumnya fatalitas sudah dalam kondisi buruk dan 90 persen bisa terjadi kematian. Kematian terjadi beberapa hari setelah gejala rabies muncul.
Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies dengan genus Lyssavirus. Rabies dapat menular pada manusia melalui gigitan, goresan, cakaran, ataupun jilatan pada kulit terbuka dari hewan terinfeksi rabies.
Gejala rabies pada manusia umumnya ditandai dengan demam, lemas, tidak nafsu makan sakit kepala hebat, dan sakit tenggorokan. Pada gejala lanjut akan timbul gangguan neurologi seperti gelisah, halusinasi, ketakutan, dan agresif. Pasien juga dapat mengalami berbagai fobia, seperti hidrofobia atau takut air, takut angin, dan takut cahaya.
Dicky menyatakan, program vaksinasi massal pada anjing sangat menentukan kesuksesan penanganan rabies. Selain itu, peningkatan literasi di masyarakat juga menjadi vital agar mereka memahami apa yang perlu dilakukan jika terpajan rabies dari hewan.
Sayangnya, Dicky menilai dalam konteks Indonesia, masalah kekurangan prasarana penanganan rabies masih menjadi sorotan. “Juga terbatasnya tenaga kesehatan di beberapa daerah dan timpangnya tingkat ekonomi di Indonesia, ini memerlukan upaya yang lebih meningkat lagi,” tambah Dicky.
Ia menyatakan, kasus kematian rabies umumnya terjadi pada wilayah masyarakat miskin dan komunitas termarginal. Ini disebabkan, mereka kurang akses terhadap PEP yang seharusnya jadi tindakan pertolongan pertama. Dengan begitu, Dicky menegaskan bahwa konsep Satu Sehat (One Health) perlu diimplementasikan pemerintah sesegera mungkin.
“Di sini banyak koordinasi lintas sektor, dari kesehatan manusia, kesehatan hewan, dan ini yang menjadi pekerjaan rumah di Indonesia dan banyak negara. Inilah mengapa satu sehat harus naik ke tingkat implementatif bukan sekadar wacana. Memang sudah ada pergerakan, tapi dari pandangan saya belum maksimal,” tegas Dicky.
Upaya Pemerintah Bebas Rabies
Menurut laporan Kementerian Kesehatan, kasus gigitan hewan penular rabies meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2020, terdapat 82.634 kasus gigitan, lantas menurun menjadi 57.257 kasus pada 2021, namun meningkat tajam menjadi 104.229 kasus di 2022.
Sementara itu, kasus kematian juga meningkat dengan konsisten. Pada 2020 ada 40 kasus kematian akibat rabies, meningkat menjadi 62 kasus pada 2021, dan tercatat mencapai 102 kasus pada 2022.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, Imran Pambudi melaporkan, per 20 Juli 2023 terjadi sebanyak 65.149 kasus gigitan hewan penular rabies dengan 65 kasus kematian pada manusia. Imran menyatakan, dari data tersebut bisa disimpulkan adanya peningkatan data kasus gigitan dan kematian akibat rabies dibanding data semester 2022.
Imran menilai cakupan vaksinasi hewan yang rendah menyebabkan terjadinya penularan dari hewan ke hewan dan gigitan ke manusia. Hal ini ditambah dengan sistem pemeliharaan hewan penular rabies yang sebagian besar diliarkan.
“Masyarakat yang digigit hewan pembawa rabies juga tidak segera ke fasyankes, sehingga telat untuk penatalaksanaan dan berakhir dengan kematian,” ujar Imran dihubungi reporter Tirto, Senin (24/7/2023).
Ia menambahkan, pasca pandemi aktivitas di luar rumah juga meningkat, dan kemungkinan kontak dengan hewan pembawa rabies juga meningkat. Selain itu, vaksinasi rabies untuk hewan sangat menurun saat pandemi, cakupan hanya sekitar 25 persen dari target hewan penular rabies.
Kemenkes, kata Imran, saat ini berfokus dalam penanganan rabies pada manusia yang diutamakan pada Provinsi NTT, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara dan Sulawesi Utara. Imran juga menyampaikan bahwa telah dilakukan penyediaan pedoman penanggulangan rabies untuk tenaga kesehatan dan pengembangan SDM tenaga kesehatan.
“Juga penyediaan vaksin antirabies dan serum antirabies serta surveilans kesehatan hewan dan kesehatan manusia,” ujar Imran.
Dikonfirmasi terpisah, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan), Nasrullah menegaskan, pihaknya tengah melakukan pengendalian rabies dengan memasifkan vaksinasi pada hewan penular.
Selain itu, ia menegaskan bahwa masyarakat juga bisa memvaksin hewan peliharaan di pusat Kesehatan hewan (Puskeswan), rumah sakit hewan (RSH), atau klinik hewan terdekat.
“Semuanya ini gratis ya vaksin,” kata Nasrullah pada reporter Tirto, Senin (24/7/2023).
Menurut Nasrullah, partisipasi aktif masyarakat dalam mendukung vaksinasi rabies pada anjing merupakan komponen penentu keberhasilan pemberantasan rabies di Indonesia. Kementan pada 2023 mengalokasikan vaksin rabies sebanyak 198.700 dosis.
Selain itu, kata Nasrullah, pemerintah juga terus melakukan pengawasan lalu lintas Hewan Pembawa Rabies (HPR) antar wilayah dan mendorong pembentukan kader siaga rabies (TISIRA/KASIRA) di tingkat kabupaten.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz