tirto.id - Pada 1938, berpuluh-puluh ekor anjing dieksekusi mati oleh Dinas Kesehatan Fort de Kock. Kota itu, yang sekarang bernama Bukittinggi, sedang melakukan pembersihan besar-besaran atas amuk rabies.
Berita Koerai pada Selasa, 26 Juli tahun itu, melaporkan bahwa Undang-undang Anjing Gila telah diberlakukan di daerah Bukittinggi. Hal itu mengingat kota utama di dataran tinggi Minangkabau itu tengah terjangkit wabah rabies.
Asalnya, sebut surat kabar itu, bermula dari Mandi Angin, onderdistrict Bukittinggi. Penyakit itu lalu menyebar ke kawasan lain di Agam. Oleh karena itu, Pemerintah Kolonial menyatakan Bukittinggi khususnya dan Agam umumnya telah terjangkit penyakit anjing gila.
Pemerintah lantas menyebarkan himbauan kepada para penduduk kota-kota sekitarnya. Mereka yang mempunyai anjing gila harus mematuhi aturan-aturan yang diberlakukan dalam ordonansi penanganan anjing gila, yaitu: a) mengurung anjing yang mereka miliki selama waktu yang ditentukan, atau b) jika tidak, pemerintah akan melakukan pembersihan.
Sekira 97,5 persen kasus rabies—hondsdolheid dalam bahasa Belanda—yang menimpa manusia dikaitkan dengan anjing. Penyakit ini merupakan penyakit kuno yang setidaknya telah ada sejak periode Mesopotamia Kuno, tulis sebuah edisi National Geographic.
Namun, penyakit ini nyaris tidak ditemukan di Nusantara sebelum akhir abad ke-19. Barulah pada 1880-an, virusnya mungkin telah menyebar dari Tiongkok ke setiap pulau di Nusantara karena aktivitas manusia, demikian sebut Heru Susetya dkk. dalam Molecular Epidemiology of Rabies in Indonesia (2008).
Bagaimana dan mengapa wabah ini menyebar di era Kolonial Belanda? Apa pula cara-cara yang diambil Pemerintah Kolonial untuk mencegah penyebarannya dan mengobati mereka yang terinfeksi?
Mulanya
Michael P. Ward dalam Rabies in the Dutch East Indies a Century Ago (2014) menjelaskan bahwa rabies mulai menginfeksi Hindia Belanda pada 1880-an. Kasus rabies pertama yang dikonfirmasi dilaporkan pada 1889 di Batavia. Sejak itu, penyakit ini menyebar dengan cepat ke sebagian besar Kepulauan Nusantara selama dua hingga tiga dekade berikutnya.
Penyebaran kuman penyakit ini dipengaruhi oleh pergerakan anjing dalam militer Hindia Belanda yang dikirim ke berbagai daerah untuk kepentingan ekspansi kolonial. Lain itu, perdagangan dan sebagai hewan peliharaan juga turut memengaruhi.
"Sejarah seperti itu menunjukkan bahwa kemunculan dan kemunculan kembali rabies lebih lanjut di pulau-pulau bebas rabies akan terjadi berdasarkan lokasi dan posisi pulau dalam jaringan sosial, perdagangan, dan transportasi yang kompleks yang mewakili kepulauan Indonesia," demikian tulis Ward.
Ward juga mengatakan bahwa selama dekade 1890-an, rabies sudah umum dilaporkan di Jawa dan pantai timur Sumatera. Pada akhir dekade itu, rabies terindentifikasi pula di Sulawesi. Dalam periode 1900–1916, kasus rabies telah merata dilaporkan di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, bahkan di Maluku dan pulau-pulau terpencil lainnya.
Di periode 1908–1917, sebanyak 8.826 orang dilaporkan dirawat karena kasus rabies. Cluster kasus pasien rabies diidentifikasi berasal dari Jawa Barat (1898–1899), Kabupaten Batavia dan Jawa Timur ( 1910–1911), Nusa Tenggara Barat (1912), Borneo (1914) dan pesisir timur Sumatera (1903–1906). Cluster terbanyak antara tahun 1899 dan 1905 justru disebutkan berasal dari pantai barat Sumatra.
Jadi, terjangkitnya Fort de Kock pada akhir dekade 1930-an bukanlah suatu kejadian yang luar biasa mengingat riwayat kawasan ini dalam berhadapan dengan rabies sebelumnya. Apalagi, masyarakat di pedalaman Minangkabau pada umumnya, termasuk masyarakat “penggila” anjing.
Di kalangan bumiputra, anjing tidak saja dipelihara untuk menjaga rumah dan ladang, tapi juga bagian dari tradisi setempat yang disebut baburu ciliang/babi, serangkaian ritus di mana sekumpulan laki-laki secara bersama-sama dengan anjing kesayangannya melakukan perburuan terhadap hama babi perusak tanaman.
Hewan ini tidak jarang juga termaktub dalam petatah-petitih, menjadi umpama atau metafora dalam tutur kata, yang menunjukkan betapa dekat masyarakat ini dengan anjing. Dan ketika kota-kota kolonial modern terbentuk di Minangkabau, anjing tampaknya tidak lagi hanya dominasi pamenan kaum pribumi semata, tapi juga bagian dari peliharaan populer orang-orang Eropa.
Pada awal abad ke-20, memiliki anjing bahkan telah menjadi tren di kalangan remaja-remaja Eropa di Hindia Belanda. Di Minangkabau, tren ini tidak hanya di kalangan orang-orang Eropa, tapi juga di kalangan gadis-gadis muda pribumi yang sudah terbaratkan. Mereka biasa terlihat berlagak dengan tangan memegang rantai anjing di jalan-jalan raya.
Begitulah bertumbuhnya jumlah anjing kemudian turut memicu pertumbuhan rabies.
Menjelang Perang Dunia I, rabies telah menjadi umum di Hindia Belanda. Pemerintah Kolonial menetapkan penyakit ini sebagai penyakit penting yang berbahaya dan menjadi perhatian serius untuk ditangani.
Orang-orang Eropa yang berencana menetap di daerah jajahan tersebut menjadikan rabies sebagai salah satu pertimbangannya. Veerartsenjikundige Bladen voor Nederlandsch-India melaporkan bahwa antara 1897 dan 1916, ada total 8.826 kasus rabies. Jumlah kasus tahunan berkisar antara 218 (1898) hingga 907 (1915). Rabies pada anjing di periode ini tercatat di Kepulauan Sunda Besar (Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi) dan juga di pulau-pulau kecil di Nusantara lainnya.
Setelah Perang Dunia I pun, kondisinya masih tidak banyak berubah. Pandji Poestaka edisi 7 Januari 1927, misalnya, melaporkan tentang Batavia yang telah dijangkiti penyakit anjing gila ini. Laporan itu menyebut 4 ekor anjing gila telah menggigit beberapa orang.
Surat kabar yang sama pada edisi Maret 1927 melaporkan bahwa Probolinggo juga telah dihantui wabah rabies. Jika diteruskan, dari halaman demi halaman surat kabar sezaman, akan lebih banyak lagi ditemui pemberitaan tentang amuk wabah ini.
Perangai Anjing Gila
Pandji Poestaka pada edisi ketiga 1934 memuat sebuah laporan khusus tentang wabah anjing gila. Nyaris sepenuh halaman surat kabar tersebut merinci banyak hal.
"Sebangsa kutu telah membawa virus ini ke anjing," kata surat kabar itu.
Bila anjing digigit oleh kawannya yang telah terinfeksi, mula-mula tidak kelihatan apa-apa, tapi lima sampai delapan minggu sesudahnya barulah menjadi sakit dan terus menjadi gila pula.
Anjing yang terjangkit rabies itu mulanya akan mengalami demam, tidur-tiduran atau bergelung saja kerjanya. Lalu timbul keinginannya untuk menggigit apa saja, kaki kursi, pintu kandangnya, tempurung tempat makannya, atau benda-benda apa saja yang bisa dijangkaunya.
Kelakuannya pun tidak seperti biasanya. Dia tidak lagi mendengar kata tuannya. Lalu ia semakin menjadi pendiam dan pemarah. Ia terus bersembunyi di kolong meja atau kolong lemari seperti tengah bersedih atau berduka.
Pandji Poestaka selengkapnya menulis:
“Tidak lama lagi anjing yang sakit itu menjadi gila, matanya merah membara, lidah dan ludahnya keluar, dan ekornya diturunkannya. Ia menjadi kuat dan berjalan sampai jauh sekali, kadang-kadang sampai 150 kilometer atau lebih. Inilah yang sangat berbahaya, sebab segala manusia, binatang atau benda, yang kebetulan ada di jalannya, digigitnya. Dengan jalan begitu, penyakitnya dipindahkannya. Ia tidak ingin lagi pada nasi dan takut kepada air.”
Manusia juga akan mengalami hal yang serupa jika digigit anjing gila. Pandji Poestaka edisi yang sama membeberkan tahapannya:
“Kalau manusia digigit oleh anjing [gila] ini dan tidak diobati dengan lekas, ia pun menjadi sakit 14 sampai 125 hari sesudahnya. Ia digigit bermula ia merasakan sakit di tempat yang digigit itu, lama-kelamaan ia mendapat sakit kepala yang sangat. Ia tak dapat menelan lagi, sebab merasa sakit di lehernya sebagai terkunci, dan dari itu air ludahnya keluar saja dari mulutnya, kemudian si sakit merasakan di seluruh tubuhnya sakit yang sangat dan takutnya kepada air bukan main.
Jika ajalnya sudah dekat, barulah ia tak takut lagi kepada air dan ingin minum, badannya berasa lemas, dan sakitnya menjadi kurang. Kemudian ia tidur dengan nyenyak dan dengan perlahan ia pindah ke Rahmatullah.”
UpayaMembasmi Rabies
Pada 1895, Pemerintah Kolonial mendirikan Institut Pasteur di Weltevreden. Institut ini kemudian dipindahkan ke Bandung sekitar awal abad ke-20.
Di zaman itu, institut inilah yang menjadi pusat pengkajian dan pengobatan rabies yang utama bahkan satu-satunya yang tersedia. Beberapa pemberitaan di Pandji Poestaka menyebut korban-korban yang digigit semua dikirim ke Institut Pasteur di Bandung itulah.
"Jika yang digigit lekas dikirim ke Bandung biasanya ia dapat diobati, tapi bila ia digigit di mukanya atau di bagian-bagian lain yang berdekatan dengan jantungnya, jiwanya tak dapat ditolong lagi," kata surat kabar itu pada 1934.
Sementara itu, regulasi terkait penanggulangan wabah ini telah mulai dikeluarkan Pemerintah Kolonial sejak September 1906. De Indische Mercuur (edisi 1910) menyebut Ordonansi Anjing Gila ini dikeluarkan untuk mengontrol dan membatasi jumlah anjing di Hindia Belanda.
Beberapa strategi yang diambil, berdasarkan laporan yang sama, di antaranya:
Pertama, melakukan pemusnahan besar-besaran oleh polisi. Anjing-anjing liar yang tidak diketahui pemiliknya, diburu dan dieksekusi. Namun, pemusnahan ribuan anjing liar oleh polisi setiap tahun pasca-pemberlakuan ordonansi "tidak menghasilkan apa-apa selain ketidakpuasan dari pemilik anjing dan pecinta hewan".
Kedua, Pemerintah Kolonial juga menyerahkan kebijakan-kebijakan penanganan rabies kepada Pemerintah Daerah. Kebijakan ini pun mendapat kritik yang luas dari berbagai surat kabar. Kepala-kepala pemerintahan di daerah dianggap "tidak memiliki gambaran tentang sejauh mana bahaya dan lingkaran kawasan terinfeksi yang mereka tunjuk—dalam banyak kasus terlalu terbatas."
Sementara itu, agar anjing-anjing peliharaan dikelola dengan baik, ordonansi menetapkan penerapan pajak per tahun dan per anjing untuk "tempat yang ditunjuk oleh peraturan". Kebijakan ini pun menuai kritik karena pengendalian hanya dapat dilakukan atas anjing-anjing milik orang-orang Eropa, sementara anjing-anjing penduduk pribumi tetap tidak terpantau.
"Oleh karena itu, niat baik untuk tidak mengenakan pajak baru kepada penduduk pribumi membuahkan hasil yang pahit." Oleh sebab itu, pajak anjing seharusnya juga diterapkan tidak hanya di pemukiman Eropa, tapi juga di pemukiman pribumi, "sehingga semua anjing dapat ditandai dengan benar," demikian tulis De Indische Mercuur.
Tampaknya, berbagai upaya penanggulangan rabies memang tidak memperoleh hasil yang menggembirakan pada kurun ini. De Indische Mercuur sekali lagi melaporkan bahwa dalam dua tahun sejak ordonansi diberlakukan, kasus rabies bahkan dinyatakan semakin meluas. Pada 1908, wabah anjing gila telah "menjangkiti di seluruh Jawa".
Pada 1915, Pemerintah Kolonial menerbitkan ordonansi baru tentang rabies. Kali ini, dengan ketentuan-ketentuan yang lebih ketat lagi rinci. Pemerintah Kolonial di Batavia mengeluarkan Staatsblad van Nederlandsch-Indies No. 302 tentang Rabies (Hondsdolheid). Sementara itu, rincian tentang ketentuan pencegahan dan pemberantasannya diatur dalam Besluit van den Gouverneur-Generaal No. 13 tanggal 9 April 1915.
Panji Poestaka melaporkan bahwa sesudah ordonansi itu dikeluarkan, "Ada perintah agar anjing diikat dan dipakaikan kawat atau kulit di mulutnya supaya ia tidak dapat menggigit, serta banyak yang ditembak mati."
Pemerintah juga menginstruksikan kepada para pemilik anjing agar memperhatikan benar-benar peraturan-peraturan pencegahan penyakit tersebut. Anjing-anjing yang dikhawatirkan terjangkit rabies "harus dirantai dan disengkang atau dibrangus”. Pun tiap-tipa hari, polisi menangkapi anjing-anjing tak bertuan yang berkeliaran.
Laporan Panji Poestaka sekaligus menyuarakan kembali isi Ordonansi Anjing Gila:
“... Bahwa kalau ada orang yang punya anjing gila dipastikan dulu apakah anjing itu betul-betul gila sebagus-bagusnya ditangkap dan dibawa ke dokter hewan. Oleh dokter hewan anjing itu ditahan beberapa hari dan kalau ia mati otaknya dikirim ke Bandung atau ke Bogor untuk diperiksa jika betul-betul Anjing itu gila pemerintah dapat mengadakan peraturan untuk beberapa bulan lamanya supaya segala anjing ditahan di rumah akan menjaga penyakit itu jangan menular lebih jauh.”
Hasilnya cukup menggembirakan. Laporan Pandji Poestaka selanjutnya menyebut, " ... Kira-kira 15 tahun belakangan sebelum keluar ordonansi anjing gila dikeluarkan tahun 1915, banyak sekali manusia yang digigit oleh anjing gila. Namun, setelah ordonansi, barulah kurang banyaknya anjing gila."
Dalam aspek pengobatan, Pemerintah Kolonial sejak awal juga telah berupaya menciptakan obat antigen, serum, ataupun vaksin. Maria J. van Stockum, Direktur Pasteur Institute Bandung, dalam "Rabies Statistics of Natives in the Netherlands East Indies 1895-1931" (1935) menyebut bahwa Public Health Service of Netherland East Indie telah menerapkan berbagai metode penyembuhan atas rabies.
Rinciannya ialah sebagai berikut. Pada periode pertama (sejak 1895 sampai 1905), Pemerintah Kolonial menerapkan Metode Parteus terhadap 160 korban rabies, tapi tingkat keberhasilannya dianggap rendah.
Pada periode kedua (sejak 1906 sampai 1915), metode yang diterapkan adalah Ilusi Hogies. Itu merupakan pengembangan dari metode sebelumnya. Ia dilakukan dengan menggunakan otak kelinci sebagai antigen. Meski telah dicobakan kepada 300 sampai 400 pasien, hasilnya dianggap masih kurang praktis.
Pada periode ketiga (pertengahan 1916), pembuatan vaksin yang dianggap lebih praktis diusahakan oleh Dinas Kesehatan. Vaksin dibuat dari otak monyet pertama yang terpapar rabies atau disebut macacus cynomolgus. Serum dari periode ketiga inilah yang digunakan di Institut Pasteur di Bandung sampai catatan itu ditulis.
Namun, berbagai upaya itu tampaknya masih belum menciptakan kepuasan akan penanganan rabies di Hindia Belanda. Kritik dari masyarakat yang merasa terancam, utamanya dari kalangan Eropa, terus dilayangkan. Sedang rabies itu sendiri juga terus ada sekalipun dalam skala dan tingkatan yang berbeda-beda di tiap daerah dan masa.
Rabies masih terus mengancam bahkan hingga sekarang. Anjing-anjing yang terjangkit virus, dengan mata merah, mulut berbusa penuh lendir, dan ekor yang mengapit ke dalam kerampang masih saja meneror, mengacung-acungkan pisau maut pada taringnya yang berbisa.
Penulis: Deddy Arsya
Editor: Fadrik Aziz Firdausi