tirto.id - Ada satu babak kisah yang tidak boleh luput ketika membicarakan Dokter Tjipto Mangunkusumo. Sebelum bertarung di medan politik, Dokter Tjipto lebih dulu berjuang di lapangan kesehatan. Kisahnya terjadi pada kisaran 1911, ketika epidemi sampar alias pes merundung kota Malang.
Penyakit yang disebabkan bakteri Yersinia pestis ini termasuk ganas karena mudah menyebar dan menyerang bagian tubuh yang vital. Sampai abad ke-19, orang sudah mengenal tiga jenis pes: pes pada sistem limfatik alias pes bubo, pes pada aliran darah atau pes septikemik, serta pes pada paru-paru alias pes pneumonik.
Mereka yang terserang pes akan menunjukkan gejala demam, diare, nyeri otot, beberapa bagian tubuh menghitam (pes septikemik), pembengkakan di sekitar kelenjar getah bening (pes bubo), hingga batuk dan sesak napas (pes pneumonik). Orang bisa selamat, tetapi banyak yang mati tak sampai seminggu.
Jelas bahwa pes adalah wabah ganas yang mesti cepat ditanggulangi. Namun usaha penanggulangan wabah pes di Malang sempat macet gara-gara segolongan dokter Eropa enggan turun buat mengobati pasien. Selain karena sentimen rasial, mereka ogah ikut campur lantaran bayarannya tak seberapa dibanding jika mereka mengobati sesama orang Eropa.
“Dari dua puluh dokter yang dihimbau untuk menanggulangi bencana ini, hanya sebelas orang yang melapor, di antaranya Raden Koesman, orang Jawa, yang tanpa ragu-ragu menghentikan studinya, ketika ia melihat bahwa tanah-airnya memerlukan tenaganya,” tulis Dokter Tjipto di majalah De Indier edisi 21 Mei 1914 sebagaimana dikutip sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950 (2014: 90).
Melihat kondisi itu, Dokter Tjipto tak tinggal diam dan mengajukan diri untuk ikut memberantas pes di Malang. Segera setelah tawarannya disetujui pemerintah kolonial, ia berangkat ke Malang. Dari babak hidup inilah cerita-cerita hebat tentang Dokter Tjipto bermunculan.
Sebagaimana lazimnya protokol medis, para dokter yang terjun ke kampung-kampung harus memakai masker, sarung tangan, dan perangkat lain untuk mencegah penularan bakteri pes. Tapi tidak dengan Dokter Tjipto yang bekerja nyaris tanpa pelindung.
Sebagaimana ditulis Soegeng Reksodihardjo dalam biografi Dr. Cipto Mangunkusumo (2012: 54), “Begitulah penyerahan Cipto secara total kepada yang Mahakuasa dan Mahaadil dalam melakukan tugasnya sebagai dokter.”
Juga satu momen lagi yang amat terkenal. Ketika berada di sebuah desa, Dokter Tjipto mendengar tangisan bayi dari sebuah gubuk yang nyaris hangus terbakar. Agaknya bayi perempuan itu telah yatim piatu karena orang tuanya tumpas oleh wabah pes.
“Dipungutlah bayi perempuan itu menjadi anak Cipto dan diberi nama Pesjati. Anak ini kemudian dibesarkan dan dididik oleh Cipto bersama istri Cipto, yakni Nyonya de Vogel," tulis Soegeng Reksodihardjo.
Nama Pesjati adalah pengingat wabah mengerikan yang melanda Malang saat itu.
Tiga Pandemi Pes
Penyakit pes adalah penyakit kuno dalam sejarah peradaban manusia. Ia diperkirakan berasal dari Asia Tengah atau Asia Timur. Inang bakteri Yersinia pestis adalah kutu tikus atau marmut. Penyakit ini merambah ke Eropa dan Afrika bagian utara melalui Jalur Sutra yang merentang di pedalaman Eurasia.
Pandemi pes pertama yang mematikan diperkirakan terjadi di Byzantium semasa Kaisar Justinian I pada 541-542. Tak hanya melumpuhkan Konstantinopel, wabah juga menyebar ke beberapa tempat di Asia dan Afrika. Laman History menyebut pandemi ini diyakini telah menewaskan sedikitnya 25 juta orang.
Pandemi kedua di Eropa pecah pada 1346 yang bermula dari Genoa, Italia dan terus merembet hingga ke Rusia dan Skandinavia. Di masa inilah muncul istilah wabah Maut Hitam yang terkenal hingga kini. Diperkirakan 50 juta orang di Eropa—sekira setengah populasi saat itu—meregang nyawa gara-gara pes. Dan, jika digabung dengan kasus lain di Asia, India, Timur Tengah, hingga Tiongkok sepanjang abad ke-14, diperkitakan 75 juta nyawa tumpas gara-gara pes.
Sejak itu pecah pula beberapa kali epidemi di Eropa. Sebutlah, misalnya, yang terjadi di Italia pada 1629-1631, London pada 1665-1666, dan Marseille pada 1720. Meski tak sebesar saat wabah Maut Hitam berlangsung, statistik korbannya tetap mengerikan. Korban tewas saat ketiga epidemi itu terjadi mencapai ratusan ribu jiwa.
Pandemi pes ketiga tercatat pecah pada 1855 di Provinsi Yunan, Cina. Kemajuan teknologi transportasi saat itu membuat bakteri pes tersebar lebih luas daripada sebelumnya. Sampai pergantian abad ke-20, kasus terbesar tercatat di Cina dan India. Meski begitu, pandemi ketiga ini menghasilkan pemahaman yang lebih akurat terhadap penyakit pes.
“Pada 1894, seorang dokter yang berbasis di Hong Kong bernama Alexandre Yersin mengidentifikasi basil Yersinia pestis sebagai penyebab penyakit tersebut. Beberapa tahun kemudian, dokter lain akhirnya mengonfirmasi bahwa gigitan kutu tikus adalah cara utama penularannya ke manusia,” tulis laman History.
Pada pandemi ketiga inilah wabah pes mulai menjangkiti Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda.
Gara-Gara Beras Impor
Hingga memasuki abad ke-20 tak pernah ada kabar adanya penyakit pes di Hindia Belanda. Penduduk kepulauan ini mengetahui wabah pes di luar negeri sebatas pada apa yang dikabarkan media massa dan mungkin buku sekolah. Warga dan pemerintah kolonial justru lebih akrab dengan penyakit “sejuta umat” seperti cacar, kolera, disentri, beri-beri, atau malaria.
Syefri Luwis dalam skripsi di Program Studi Ilmu Sejarah FIB UI bertajuk Pemberantasan Penyakit Pes di Wilayah Malang 1911-1916 (2008) menyebut Sumatra adalah daerah yang diduga pertama kali terjangkit bakteri pes. Dari penelusurannya, ada beberapa kasus mirip pes ditemukan di pesisir timur Sumatra pada 1905. Anehnya, itu tak meledak jadi wabah dan kemudian lenyap secara misterius.
Hingga paceklik di Jawa membuka jalan kemunculan pes lima tahun kemudian.
Guna mengatasi kelangkaan beras yang melanda sebagian wilayah Jawa, pemerintah kolonial lantas mengimpor beras dari Burma. Entah bagaimana, pemerintah tidak menaruh curiga atau memeriksa kapal-kapal pengangkut beras itu ketika bongkar muat di Surabaya sekira Oktober-November 1910. Padahal di saat bersamaan diketahui bahwa wabah pes sedang mengamuk di Burma.
Tanpa pengawasan lebih lanjut, beras-beras yang kemungkinan dihinggapi kutu tikus itu pun mulai didistribusikan ke Malang. Di Malang, beras impor berkutu itu lantas disimpan di gudang-gudang yang terdapat di Turen, Singosari, Blimbing, Batu, Kepanjen, dan Gondang Legi. Dan benar saja, beberapa saat kemudian wabah pes pecah di Malang.
“Dalam waktu sebulan, November 1910 kasus pes pertama diidentifikasi di Turen, Malang, mengakibatkan 17 orang meninggal,” tulis sejarawan Restu Gunawan dalam bunga rampai Sejarah dan Dialog Peradaban: Persembahan 70 Tahun Prof. Dr. Taufik Abdullah (2005: 976).
Meski telah jatuh korban meninggal, pemerintah lokal Malang maupun pemerintah kolonial tak yakin bahwa pes telah berjangkit di Jawa. Selain karena belum ada penelitian yang memadai, persebaran informasi juga terbatas. Dari penelusuran Syefri terkuak bahwa berita-berita di media tentang pes dalam tiga bulan pertama 1911 adalah laporan peristiwa di luar negeri.
Pemerintah kolonial baru teryakinkan bahwa pes sudah menjangkiti Malang pada akhir Maret 1911. Saat itu Laboratorium Medis kolonial menerima sampel darah dari seorang korban tewas akibat pes di Malang. Setelah diteliti, sampel itu dinyatakan terkontaminasi bakteri Yersinia pestis.
“Saat riset tentang pes yang dilakukan hingga akhir Maret terlihat akan menuju sebuah keberhasilan, ternyata baru diketahui bahwa wabah pes telah melanda distrik Malang, Gondang Legi, Karanglo, dan Penanggungan semenjak awal Februari,” tulis Syefri (hlm. 36).
Itulah gelombang pertama epidemi pes di Hindia Belanda. Dari Malang, wabah lalu merambah kota-kota di sekitarnya seperti Kediri dan Surabaya. Restu mencatat, pada 1912 diperkirakan sudah 2.000 orang meninggal gara-gara pes. Bahkan, pada 1915 wabah pes telah pula menjangkiti Surakarta dan Madura.
“Gelombang kedua di Jawa Tengah tahun 1919 sampai 1928. Epidemi diawali di Pegunungan Ungaran, Gunung Sindoro, dan Sumbing, Merbabu, dan Merapi. Gelombang ketiga adalah di Jawa Barat 1930-1934. Pertama di Cirebon kemudian Priangan. Wabah pes menyebabkan kematian 2000 orang pertahun,” tulis Restu (hlm. 978).
Kasus India sebagai Pedoman
Ledakan kematian gara-gara wabah pes tentu saja meresahkan warga Malang. Wabah yang selama ini hanya mereka baca kini nyata di depan mata. Untuk meredakan kepanikan dan melakukan investigasi terhadap pageblug ini, Inspektur Kepala Burgelijken Geneeskundigen Dienst (BGD—Dinas Kesehatan Sipil), Dokter de Vogel, diterjunkan langsung ke Malang.
“Upaya pemberantasan penyakit pes yang lebih dahulu dilakukan di India dijadikan patokan oleh para pegawai BGD. Laporan dari Komisi Pemberantasan Pes India, Indian Plague Commissions, yang diterbitkan dalam Journal of Hygiene, dijadikan sumber utama panduan untuk memberantas pes,” tulis Syefri (hlm. 41).
Dokter de Vogel lantas menginstruksikan perburuan tikus, pengawasan lalu lintas, isolasi, hingga sterilisasi atau pembakaran rumah warga yang terjangkit pes. Meski terkesan radikal, pada kenyataannya pangreh praja di Malang kerap teledor dalam menjalankan tugas. Agaknya, karena keterbatasan pengetahuan terhadap penyakit ini, sebagian dari mereka menganggap pes tak ada bedanya dengan malaria yang memang sering mewabah di Jawa.
Sementara itu pemerintah kota-kota di sekitar Malang mengambil langkah antisipasi dengan menutup akses jalan dan kereta api menuju atau dari Malang. Pada 31 Maret Residen Surabaya menutup akses jalan utama Surabaya-Malang via Pacet. Kebijakan ini lantas diikuti Residen Pasuruan dan Kediri. Gubernur Jenderal Hindia Belanda kemudian juga memerintahkan penutupan jalur kereta api yang melewati Malang.
Tindakan lain yang ditiru Dokter de Vogel dari pemberantasan pes di India adalah sterilisasi rumah penderita pes. Sterilisasi ini dilakukan dengan penyemprotan disinfektan dan pengasapan dengan belerang. Perburuan tikus besar-besaran juga dilakukan dengan iming-iming upah dari pemerintah.
Hanya saja cara-cara ini rupanya tak seberapa efektif untuk menekan wabah pes di Afdeeling Malang yang terlanjur meluas. Tenaga kesehatan dari luar Malang yang dikerahkan lama-lama kewalahan juga karena jumlah pasien yang terus bertambah. Itu pun sudah didukung dengan ikut menerjunkan militer.
Pada masa-masa itu barak-barak isolasi yang dipenuhi pasien pes menjadi pemandangan umum di Afdeeling Malang. Karena disinfektan dan pengasapan belerang dinilai tak efektif, cara radikal pun terpaksa digunakan.
“Penduduk desa yang terkena wabah pes disuruh meninggalkan rumah-rumah mereka dari pusat penyebarannya dengan cara dipondokkan di barak-barak sementara dan kompleks penampungan,” tulis Restu (hlm. 977).
Pada kasus-kasus tertentu, bahkan seluruh penduduk desa diungsikan ke sebuah kampung baru dan kemudian desa itu dimusnahkan. Di kampung baru ini pasien dan keluarganya pun diminta menanggalkan pakaian lama mereka dan diberi pakaian baru. Pemerintah juga mendatangkan vaksin pes langsung dari India meski efektivitasnya diragukan.
“Pada tahun 1911 seluruhnya dilaporkan 2300 kasus dengan 2100 pasien yang meninggal dunia. Jadi bisa disimpulkan hampir 90% dari korban pes meninggal dunia. Dan jika kita rata-ratakan, dari akhir Maret hingga akhir Desember 1911, tiap harinya ada lebih kurang delapan orang yang tewas akibat penyakit ini,” tulis Syefri (hlm. 55).
Memicu Perlawanan
Selain bencana kesehatan, epidemi pes ini juga bikin geger kehidupan sosial. Yang segera terlihat tentu saja adalah rasialisme. Segolongan dokter Eropa enggan turun lapangan. Hal lain yang mencolok adalah perbedaan perlakuan terhadap pasien kulit putih dan pribumi yang sangat timpang.
Sementara itu, ketika wabah pes mulai melanda Surakarta dan sekitarnya pada 1915, pemerintah kolonial mewajibkan tiap orang untuk merenovasi rumahnya. Penggunaan bambu yang ruasnya bisa jadi sarang tikus mesti diganti kayu dan atap rumah harus dari genting. Pemerintah memberi bantuan berupa pinjaman uang dan peralatan, tapi itu harus dikembalikan dalam bentuk cicilan bulanan.
Bagi warga yang sebagian besar miskin, model pinjaman ini jelas memberatkan karena mereka masih pula dibebani pajak. Bukannya menekan penyebaran pes, kebijakan itu justru memicu perlawanan dari petani-petani Surakarta. Di beberapa kampung, perlawanan ini dipimpin aktivis Insulinde Haji Misbach. Pada 1918 Misbach mulai mengorganisasi kampanye menolak kewajiban perbaikan rumah dan pinjaman itu di kalangan petani Surakarta dan sekitarnya.
“Kampanye Misbach melawan kewajiban perbaikan rumah ternyata sukses. Sesudah mengadakan rapat umum pada Mei, penduduk Kartasura benar-benar berhenti mengembalikan pinjaman pemerintah untuk perbaikan rumah secara paksa,” tulis Takashi Shiraishi dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (1997: 194).
Lain itu, kepanikan dan ketakutan yang ditimbulkan penyakit pes ikut pula melunturkan solidaritas sosial antarwarga. Dokter Tjipto melihat sendiri bagaimana seorang penderita pes dikucilkan tetangganya. Si penderita jadi terlantar karena orang-orang takut tertular jika merawatnya.
“Orang tersebut akhirnya hanya dapat tidur di bawah sebatang pohon semboja dan di sana pulalah ia menghembuskan nafasnya yang terakhir,” tulis Tjipto sebagaimana dikutip Soegeng (hlm. 57).
Gelombang pertama wabah pes di Hindia Belanda itu akhirnya mereda pada pertengahan 1916. Meski begitu pes tak benar-benar hilang. Kasus-kasus pes bahkan masih ditemui di Indonesia hingga 1970-an, tapi jumlahnya tak sebesar pada masa kolonial.
Editor: Ivan Aulia Ahsan