tirto.id - Pada 1910, wabah pes melanda Malang. Epidemi lewat kutu-kutu tikus kepada manusia itu menyebabkan kematian. Ini adalah kejadian besar. Di Eropa, pada abad 14, sepertiga penduduknya tewas akibat wabah pes. Dan, jika digabung dengan peristiwa serentak di Asia, India, Timur Tengah, plus Tiongkok, pandemi itu menelan 75 juta nyawa.
Orang menyebutnya dengan nama mengerikan: Maut Hitam. Pada awal kemunculannya, wabah pes mengubah struktur sosial Eropa. Penyakit ini ditandai lewat pembengkakan kelenjar getah bening di leher korban, ketiak, atau pangkal paha. Bentuknya bisa sebesar telur sampai apel. Orang bisa selamat, tetapi banyak yang mati tak sampai seminggu.
Tetapi, meski marabahaya membayang, para dokter Eropa di Batavia enggan turun ke Malang buat mengobati pasien pes yang rata-rata orang pribumi.
“Dokter-dokter Eropa yang bekerja pada dinas pemerintah banyak yang menolak untuk dikirim ke daerah Malang,” tulis M. Balfas dalam Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo: Demokrat Sedjati (1952).
Masa itu adalah masa penuh rasisme. Politik pembelahan masyarakat berdasarkan warna kulit dan asal-usul menjangkiti kaum borjuasi Belanda maupun orang-orang bule yang cari peruntungan, ditopang oleh pemerintahan kolonial. Itu bikin sulit memberantas penyakit pes mengingat tak banyak orang pintar dengan ilmu modern, bukan klenik, yang mengobati kaum terprentah.
Jangankan mendekati tikus pembawa pes atau orang-orang pribumi yang terkena penyakit pes, bule-bule ini ogah berdekatan dengan orang-orang pribumi sehari-hari. Kalau bisa, mereka pengin hidup nyamannya, yang ditopang pengisapan antar-manusia, tetap bisa dijaga dari orang berkulit cokelat, tetapi mereka butuh buat jadi babu, gundik, kuli, dan pekerja kasar lain.
Itulah sebabnya, wabah pes di Malang, kalau tidak cepat ditangani, bisa menyebar ke daerah lain. Bisa-bisa, pemerintah kolonial kekurangan kuli dari orang-orang kulit cokelat karena mampus terkena kutukan Maut Hitam. Dan, dampaknya, buruh kasar yang dipakai buat bekerja di perkebunan-perkebunan gede, pertambangan-pertambangan mineral, dan jalan-jalan, yang semakin meningkatkan percepatan arus duit kolonial, bakal menyusut.
Dari situlah Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo punya peran. Waktu wabah pes melanda Malang, dr. Tjipto yang lulusan STOVIA itu sedang jenuh bekerja di jawatan kolonial. Ia lantas mengajukan diri.
Baginya, seperti dalam pidatonya di sidang raya Den Haag pada saat statusnya dalam pengasingan di Belanda tahun 1914, "... adalah tidak bertanggungjawab membiarkan beribu-ribu orang jatuh jadi korban pes dengan harapan wabah itu akhirnya menjadi bosan sendiri minta korban orang Jawa. Tidak. Kita tidak boleh lengah!”
Selama Malang masih merupakan pusat wabah pes, ujarnya, selama itu pula Hindia Belanda dalam "ancaman bahaya besar."
Tanpa memakai masker atau tutup hidung dan mulut, dr. Tjipto tanpa gentar memasuki pelosok-pelosok desa di Malang guna membasmi pes. Seperti ditulis Balfas: Ia sudah menyerahkan dirinya kepada nasib.
Selama pemberantasan pes itu, Tjipto menyebut bahwa pemerintah Hindia Belanda telah meminta 20 orang dokter. Dua orang dari kawan-kawannya telah menyatakan kesediaan.
"Saya menyatakan hormat kepada mereka, sebab mereka telah menjawab panggilan Ibu Pertiwi,” ujarnya. Tak hanya Tjipto, Soetomo yang lulusan STOVIA pada 1911 pun ikut berantas pes di Malang. Di kota itu Tjipto mendirikan RA Kartini Club.
Ketika berada di sebuah desa, Tjipto mendengar tangisan bayi dari sebuah gubuk yang nyaris hangus terbakar. “... Ternyata memang seorang bayi perempuan yang telah yatim piatu karena semua orangtuanya telah meninggal dunia akibat pes. Dipungutlah bayi perempuan itu menjadi anak Tjipto dan diberi nama Pesjati," tulis Soegeng Reksodihardjo, dkk. dalam Dr. Cipto Mangunkusumo (1992).
Anak itu kemudian dibesarkan dan dididik oleh Tjipto bersama istri Tjipto, Ny. de Vogel. Nama Pesjati adalah pengingat wabah mengerikan itu. Pesjati dibesarkan dengan baik hingga mengenyam Sekolah Kepandaian Putri. Ketika Pesjati menikah, Tjipto bertindak sebagai wali.
Soal anak-anak, Tjipto punya perhatian khusus. Ia dokter yang telaten mengurusi pasien anak. Supaya tidak bawel, dr. Tjipto memberi si anak dengan permen atau mainan. Ada cerita sampiran: saat tinggal di Bandung, sewaktu berjalan-jalan di kampung, ia menemukan anak kecil merangkak seorang diri. Si anak dibawanya pulang, lalu dimandikan oleh Ny. Vogel, kemudian diberi pakaian dan minum susu. Dengan membawa bekal makanan, Tjipto kemudian mengembalikan si anak ke rumah orangtuanya.
Berkat usahanya membasmi wabah pes di Malang, Kerajaan Belanda memberinya bintang penghargaan. Koran Perniagaan edisi 15 Juli 1912 memberitakan bahwa seorang dokter Jawa bernama Mas Tjipto Mangoenkoesoemo telah dianugerahi Ridder in de Orde van Oranje Nassau.
Tetapi bintang emas itu tak sampai setahun di tangannya. Ia pindah dari Solo ke Bandung pada 1912. Di Solo juga dilanda wabah pes sewaktu dr. Tjipto buka praktik, tetapi pemerintah kolonial melarangnya ikut memberantas pandemi itu, yang bikin kesal dirinya.
Di Bandung, bersama Ernest Douwes Dekker dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara), dr. Tjipto mendirikan Indische Partij. Mereka dikenal sebagai "Tiga Serangkai".
Pada 1913, ketika Belanda memperingati 100 tahun kemerdekaan dari Perancis, suratkabar Indische Partij De Expres menerbitkan pamflet Soewardi berjudul "Als ik een Nederlander was" atau “Seandainya Aku Seorang Belanda” pada edisi 13 Juli 1913.
Itu bikin marah besar Kerajaan Belanda. Sebulan berikutnya, tiga serangkai itu diasingkan ke Belanda.
Soal anugerah bintang emas itu, dr. Tjipto punya humor besar buat kekuasaan kolonial: ia bawa si bintang itu ke Batavia untuk dikembalikan ke si pemberi. Si bintang itu ia taruh di dekat pantat. Jadi, bila ada serdadu yang harus hormat pada anugerah Ratu Belanda Wilhelmina, si serdadu harus hormat kepada bokong Tjipto.
Baca tautan relevan:
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Fahri Salam