tirto.id - Musim panas 1665 di London, Inggris, seketika berubah menjadi musim yang paling menakutkan dan mematikan. Puluhan ribu warga London mati mengenaskan dengan kulit menghitam dan melepuh.
Apa yang sebenarnya terjadi?
London pada tahun 1660-an adalah kota padat penduduk dengan tingkat ketimpangan sosial yang tinggi. Kala itu, di dekat sungai Thames masih berdiri tembok kota peninggalan Romawi. Buku The Plague and the Fire (1962) karya James Leaseor menjabarkan, beberapa wilayah di luar tembok kota sangat kumuh. Bau kotoran dan air kencing hewan tercium di mana-mana.
Saluran air tempat membuang segala air kotor dibiarkan terbuka dan mengundang lalat. Rumah-rumah belum dilengkapi talang air sehingga air hujan mengalir deras ke jalanan, bercampur dengan kotoran hewan. Singkatnya, sanitasi dan drainase sangat buruk di pinggiran London.
Kepulan asap hitam pekat keluar dari dari cerobong pabrik dan rumah-rumah. Sebagian penduduk masih mengandalkan batu bara untuk memasak di dapur.
Pada Mei 1665, 43 orang meninggal secara misterius di pinggiran London, tepatnya di dekat paroki St. Giles-in-the-Field. Jumlahnya meningkat sebanyak 6.137 di bulan Juni dan makin berlipat ganda sebulan berikutnya (17.036) hingga mencapai 31.159 di bulan Agustus.
Dalam 18 bulan sejak Mei itu, diperkirakan 100.000 dari total populasi 460.000 warga London tewas. Encyclopaedia Britannica menyebutkan, jumlah korban tertinggi datang dari daerah pinggiran kota yang padat nan kumuh seperti di Stepney, Shoreditch, Clerkenwell, Cripplegate, dan Westminster.
Kulit orang-orang yang tewas ini tampak melepuh dan menghitam. Mereka juga mengalami demam selama beberapa hari sebelum akhirnya tewas. Tiap malam, para kuli mengangkut mayat untuk dimakamkan di sebuah lubang besar yang sengaja digali. Kematian yang serba mendadak itu memunculkan desas-desus bahwa sebagian orang yang berduka dan sakit sengaja loncat ke lubang.
Raja Charles II dan kalangan istana melarikan diri ke Oxford. Sebagian besar dokter, pengacara, pedagang dan kaum kaya pada umumnya berbondong-bondong meninggalkan Inggris. Penduduk miskin terpaksa bertahan sambil menyaksikan wabah mematikan itu menggerogoti orang-orang terdekat mereka.
Hanya dalam waktu beberapa bulan, London berubah jadi kota yang nyaris mati. Aktivitas ekonomi lumpuh. Ribuan orang tiba-tiba menganggur karena lalu lintas perdagangan dengan kota-kota di luar London terputus.
Para penduduk menggunakan lintah untuk menyedot keluar darah kotor dari tubuh. Sebagian lagi memakai spons yang dibasahi dengan cuka, menaruh jimat, dan melakukan berbagai macam tindakan untuk bertahan dari penyakit. Hasilnya nihil.
Warga London akhirnya mulai mencari siapa yang harus bertanggungjawab atas kematian massal ini. Mereka mulai mengaitkan wabah mematikan tersebut dengan Perang Sipil Inggris (1642-1651) hingga melintasnya komet di langit London pada Desember 1664.
Sumber masalahnya ternyata ada di sekeliling mereka: fasilitas sanitasi yang jadi sarang tikus got untuk berkembang biak dan berkeliaran.
Sialnya, tikus itu membawa kutu yang ditunggangi bakteri Pestis yersinia. Akibat gigitan kutu pada manusia inilah penyakit pes bubo atau sampar menjadi wabah mematikan.
Dikutip dari The National Archive UK, kulit penderita yang diserang kutu tikus ini menghitam dan melepuh di sekitar ketiak, selangkangan, dan leher, tanda bahwa pes bubo menyerang kelenjar getah bening. Penderita juga muntah-muntah dan mengalami demam serta sakit kepala tak tertahankan. Sekitar 4-6 hari kemudian, maut pun menjemput.
Berdasarkan organ yang terinfeksi, wabah pes dibagi menjadi tiga jenis: pes pada sistem limfatik (bubonic plague), pes pada aliran darah (septicemic plague), serta pes pada paru-paru (pneumonic plague). Ketiganya muncul dalam peristiwa wabah besar di London 1665.
Berhenti setelah Kebakaran Besar
Memasuki Desember dan selama musim dingin 1665-66, angka kematian relatif menurun meski bibit pes telah menyebar ke seantero Inggris. Namun, penderitaan warga London tidak berhenti sampai di situ. Pada 2 September 1666, api dari dari toko roti milik Thomas Farriner di Pudding Lane menjalar ke seantero kota.
Didukung angin kencang dari timur dan iklim London yang kala itu kering setelah musim panas yang panjang, api cepat merembet dari satu rumah ke rumah lainnya, khususnya di daerah padat.
Dalam lima hari, sepertiga London habis dilalap si jago merah. Kehidupan warga kembali hancur untuk kedua kalinya. Sekitar 100.000 orang kehilangan rumah dan terpaksa menggelandang.
Museum of London menyebutkan (PDF), butuh 50 tahun untuk membangun kembali London yang hancur. Sisa-sisa kebakaran itu masih disimpan di Museum London, termasuk potongan lelehan tembikar di dekat Pudding Lane yang menunjukkan suhu api mencapai 1700 derajat celcius.
Di sisi lain, kebakaran hebat ini juga efektif menghentikan laju wabah pes. Menurut Museum of London, api turut melahap rumah-rumah kumuh beserta kawanan tikus yang menjadi pengantar kuman pes. Sebelumnya, klaim tersebut dibantah oleh sejarawan Inggris Roy Porter dalam bukunya yang berjudul London: A Social History (1994). Porter menyebutkan bahwa kobaran api tak menyentuh wilayah pemukiman kumuh.
Wabah pes 1665 di London adalah gelombang kedua dari wabah serupa yang pernah melanda seantero Eropa pada abad ke-14. Dikenal dengan peristiwa Maut Hitam (Black Death), antara 1347-1351, wabah pes menjadi salah satu pandemi paling mematikan dalam sejarah umat manusia dengan korban 75 juta hingga 200 juta jiwa.
Bakteri Pestis yersinia yang dibawa kutu tikus diduga menyebar dari dataran gersang di Asia Tengah. Mulanya tak berbahaya karena tidak ada kontak langsung dengan manusia. Namun seiring dengan meningkatnya aktivitas perdagangan di Eropa pada abad ke-13, kutu tikus ini menyebar tanpa bisa terkontrol.
Di Indonesia, wabah pes terakhir kali terdeteksi (PDF) pada 2007 ketika ditemukan 82 kasus di wilayah Kabupaten Pasuruan (Jawa Timur), Kabupaten Sleman (DI Yogyakarta), Kabupaten Boyolali (Jawa Tengah), dan Ciwidey (Jawa Barat).
Editor: Windu Jusuf