tirto.id - Guy Fawkes Day dirayakan untuk memperingati kegagalan komplotan Katolik meledakkan gedung parlemen Inggris.
Inggris menjadi tempat yang memberi kenangan tersendiri bagi keluarga Karl Marx. Selain British Library yang menjadi tempat favorit Marx meneliti dan menulis, termasuk karya kunci seperti Das Kapital, di Inggris pula pada suatu malam di sebuah flat berkamar dua di Jalan Kings, Chelsea, istrinya, Jenny von Westphalen melahirkan anak keempat.
“Pada tanggal 5 November, saat orang-orang di luar berteriak ‘Guy Fawkes for ever’ dan anak laki-laki kecil bertopeng menunggangi keledai yang dibuat dengan cerdik dan semuanya gegap-gempita, Heinrich kecil lahir. Kami memanggilnya ‘Fawkes Kecil’ untuk menghormati seorang konspirator hebat,” kenang Jenny Marx, seperti dikutip dari buku Karl Marx: His Life and Thought yang disusun oleh David McLellan.
Baca juga: Istri dan Putri-Putri Karl Marx
Setiap 5 November malam, orang-orang Inggris menyalakan kembang api. Saat kilauan percikan api menari-nari di langit, anak-anak dengan berbagai kostum berarak-arakan di jalan. Tentu, ini bukan perayaan tahun baru. Pada hari itu orang-orang di negeri Elizabeth memperingati Hari Guy Fawkes.
Hari tersebut dikenang sebagai hari ketika, pada 1605, Guy Fawkes ketahuan bersembunyi di ruang bawah tanah gedung parlemen Inggris. Laki-laki kelahiran 13 April 1570 tersebut ditangkap basah sedang mencoba menyulut bubuk mesiu yang akan meledakkan gedung serta orang-orang yang berada di dalamnya, termasuk Raja Inggris James I.
Reformasi Gereja Inggris, Awal Siksa Bagi Katolik
"Pemimpin berganti, penderitaan abadi" adalah kalimat yang cocok untuk menggambarkan kehidupan orang-orang Katolik pada abad ke-16 dan ke-17 di Inggris. Hal tersebut bermula pada masa Henry VII menjadi raja Inggris. Sekitar 1533, dia memutus hubungan Inggris dengan Katolik Roma dan mendaulatkan diri sebagai Kepala Gereja Inggris.
Setelah itu, selama empat tahun, menteri utama raja Thomas Cromwell memerintahkan pemberhentian operasi 800 biara Katolik. Tanah dan harta kekayaan mereka pun diambil untuk kerajaan.
Lalu pada 1558, Henry VII wafat, takhta Kerajaan Inggris pun diwariskan kepada putrinya, Elizabeth I. Saat berkuasa Elizabeth I meneruskan tradisi memberikan hukuman berat bagi siapa pun yang diketahui mempraktikkan iman Katolik.
Salah satunya adalah menaikkan denda bagi mereka yang tidak menghadiri kebaktian Gereja Inggris. Pada 1559 denda tersebut sebesar 12 pence. Sedangkan pada 1581, denda itu naik menjadi 20 pound.
Baca juga: 500 Tahun Setelah Martin Luther Mengkritik Gereja
Pada Maret 1603, Ratu Elizabeth I meninggal. James I dari Skotlandia naik takhta menjadi Raja Inggris. Meski James adalah Protestan, dia putra seorang Katolik, yakni Ratu Mary dari Skotlandia. Orang-orang Katolik di Inggris berharap James I akan lebih bersimpati kepada penderitaan mereka.
Namun, harapan itu pupus. Dari Januari sampai Februari 1604, James I memerintahkan para pemimpin orang-orang Katolik untuk meninggalkan Inggris. Dia pun melanjutkan praktik mendenda orang-orang Katolik yang tidak menghadiri kebaktian Gereja Inggris. James I juga memerintahkan para pemimpin keagamaan Katolik untuk angkat kaki dari Inggris.
Meledakkan Gedung Parlemen
Dalam kondisi tersebut, orang-orang Katolik di Inggris berupaya melancarkan pemberontakan kepada para penguasa Inggris. Pada Februari 1604, tiga orang Katolik yakni Robert Catesby, Thomas Wintour, dan John Wright bertemu di London dan mulai menyusun rencana untuk menjatuhkan kekuasaan James I.
Setelah itu, Wintour pergi ke Flanders, wilayah di selatan pulau Inggris yang saat itu dikuasai Spanyol. Di sana, Wintour hendak merayu Spanyol agar mau mendukung langkah para komplotan menumbangkan rezim James I.
Kabar buruknya, pihak Spanyol menolak permintaan Wintour dengan dalih menjalin perdamaian dengan Inggris setelah bertahun-tahun bermusuhan. Meski tidak berhasil menggaet Spanyol, kabar baiknya, Wintour bertemu dengan seorang ahli bahan ledak bernama Guy Fawkes.
Baca juga: Bersiap Menyambut Kematian Ratu Elizabeth II
Tak lama kemudian, pada 20 Mei 1604, Robert Catesby, Thomas Wintour, John Wright, Guy Fawkes, dan Thomas Percy bertemu di Duck and Drake Inn. Di pub tersebut, dipimpin oleh Catesby, pengeboman gedung parlemen direncanakan.
Kebetulan pemerintahan Inggris berencana meresmikan gedung parlemen pada 5 November 1605. Jika saja bom diledakkan di sana, tidak hanya gedung parlemen yang hancur, tetapi hadirin yang terdiri dari Raja dan aparat negara Inggris ikut mati bersamanya.
Komplotan Catesby juga diuntungkan pengangkatan Thomas Percy sebagai pengawal kerajaan. Dia mendapat kesempatan tinggal di sebuah rumah yang tidak jauh dari gedung parlemen. Dari rumah Percy itu, mereka menggali terowongan menuju ruang bawah tanah gedung parlemen dan mulai memindahkan 36 barel bubuk mesiu ke dalamnya.
Guy Fawkes Terciduk, Komplotan Dieksekusi
Malam yang dinanti pun tiba.
“Fawkes telah berada di posisinya sejak malam sebelumnya, dipersenjatai dengan sebuah korek api redam suara dan sebuah jam yang diberikan oleh Percy,” sebut Mark Nicholls dalam Fawkes, Guy.
Namun komplotan Catesby tidak semujur sebelumnya. Fawkes ditangkap oleh Sir Thomas Knyvet yang dititahkan Raja James I menelusuri ruang bawah tanah gedung parlemen. Bersamaan dengan ditemukannya Fawkes, Knyvet juga menemukan tong berisi mesiu yang tersembunyi di bawah tumpukan kayu bakar dan batu bara.
“Tadi malam ruang Upper House of Parliament ditelusuri oleh Sir Thomas Knyvett; dan seorang Johnson [nama samara Guy Fawkes], anak buah Mr Thomas Percy yang berada di sana tertangkap; ia telah meletakkan 36 barel bubuk mesiu di balik gedung parlemen dengan tujuan untuk meledakkan Raja, dan seluruh hadirin, ketika mereka bertemu di sana,” sebut publikasi House of Commons, Commons Journal, yang terbit pada 5 November 1605.
Baca juga: Petasan: Dirindukan Sukarno, Dibatasi karena Mematikan
Setelah Guy Fawkes tertangkap, anggota komplotan lainnya pun diburu dan dieksekusi mati. Sir Everard Digby, Robert Winter, John Grant dan Thomas Bates dieksekusi pada 30 Januari 1606 di halaman Gereja St Paul. Guy Fawkes, Thomas Winter, Ambrose Rookwood dan Robert Keyes dieksekusi tepat di luar Westminster Hall, di Old Palace Yard, keesokan harinya.
Sementara itu, kepala dua pemimpin komplotan, Percy dan Catesby, yang telah terbunuh sebelumnya di Holbeach House di Staffordshire, dipajang di Parliament House.
Andai Saja Guy Fawkes Berhasil
Sesungguhnya, Raja mungkin tidak akan memberi perintah memeriksa ruang bawah tanah andai Lord Monteagle, seorang Katolik yang loyal pada raja, tidak menceritakan isi surat kaleng yang melarangnya menghadiri pembukaan parlemen. Ia menceritakan surat kaleng itu kepada menteri utama kerajaan Robert Cecil.
Andaikan Monteagle tutup mulut, menurut Sinead Fitzgibbon, gedung parlemen akan meledak pada 5 November 1605. Peristiwa itu akan menginspirasi orang-orang Katolik di Inggris untuk memberontak kepada kelompok protestan Inggris.
“Orang-orang Protestan juga pasti marah dengan pembunuhan itu, dan saya yakin banyak orang akan main hakim sendiri untuk membalas dendam. Tidak sulit membayangkan letusan kerusuhan anti-Katolik di seluruh negeri Inggris,” sebut Fitzgibbon yang pernah menulis sebuah buku berjudul A Short History of London, The Queen and The Gunpowder Plot: History In An Hour.
Baca juga: Arte Povera: Gerakan Seni yang Menantang Amerika
Fitzgibbon menegaskan bahwa sekalipun gedung parlemen meledak hari itu, posisi orang-orang Protestan tetap tidak tergantikan. Charles, anak James I, pun akan naik takhta. Di satu sisi orang-orang Katolik semakin berani melancarkan pemberontakan, orang-orang Protestan akan terus menjaga kekuasaannya secara lebih otoriter. Inggris pun akan dilanda konflik antaragama.
Pergolakan yang terjadi di dalam negeri itu pun akan menyita banyak perhatian Inggris. Negara kerajaan itu pun tidak akan sempat lagi mengembangkan koloninya di Amerika. Perancis dan Spanyol yang akan banyak bermain seluruh benua Amerika. Jika itu yang terjadi Inggris tidak akan pernah mendaku sebagai "negeri dengan matahari yang tidak pernah tenggelam".
“Inggris tidak pernah bisa menjadi adikuasa yang terlibat dalam ekspansi kolonial abad ke-17, 18, dan 19. Bahasa Perancis dan Spanyol menjadi bahasa dominan di wilayah AS sekarang,” ungkap Fitzgibbon.
Kala Guy Fawkes Menjadi Simbol Perlawanan
Setahun setelah Guy Fawkes ditangkap, pada 5 November 1606, diperingati untuk pertama kalinya sebagai Hari Guy Fawkes. Pada malam hari itu, masyarakat mengarak patung yang menyerupai penampakan fisik Guy Fawkes dan kemudian membakarnya.
Namun arak-arakan yang diselenggarakan tidak hanya memperingati kegagalan komplotan Guy Fawkes sekaligus simbol superioritas Inggris, perlahan berubah. Memasuki abad ke-19 Hari Guy Fawkes dirayakan lebih sekuler. Lalu pada pertengahan abad tersebut masyarakat malah melancarkan penentangan terhadap polisi dan pejabat setempat pada Hari Guy Fawkes.
“Situasinya bahkan lebih mencekam pada 1853; menurut sebuah koran lokal, ‘seseorang akan membayangkan dirinya sedang berada dalam sebuah negara yang diganggu oleh para anarkis dan republikan merah’,” sebut James Sharpe dalam bukunya Remember, Remember: A Cultural History of Guy Fawkes Day.
Sharpe juga mencatat, memasuki abad ke-20, patung yang dibakar dalam perayaan Hari Guy Fawkes mulai mengambil bentuk penampakan fisik para pemimpin negara seperti Margaret Thatcher, Ronald Reagan, atau George W. Bush.
Baca juga: Guy Fawkes dan Topeng Simbol Pemberontakan
Tradisi ini pun berlangsung hingga abad ke-21. Pada 2016, patung menyerupai penampakan fisik sejumlah politisi, termasuk Donald Trump, diarak dan dibakar dalam perayaan Hari Guy Fawkes di Lewes, Inggris.
Saat gerakan Occupy Wall Street berlangsung di Amerika Serikat, topeng Guy Fawkes – yang dipopulerkan melalui novel grafis dan film V for Vendetta – didapuk sebagai simbol protes. Topeng ini juga digunakan para demonstran dalam gerakan Arab Spring dan yang menentang rezim Shinawatra di Thailand.
Topeng Guy Fawkes juga dijadikan "wajah" para hacktivist yang dikenal dengan nama Anonymous.
“Wajah Fawkes tidak menawarkan pesan politik spesifik tentang relevansi singkat dan meragukan. Sebaliknya, ia menawarkan sesuatu yang jauh lebih berguna: sistem representasi simbolis yang subversive,” ujar Lewis Call dalam A is for Anarchy, V is for Vendetta: Images of Guy Fawkes and the Creation of Postmodern Anarchism.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS