tirto.id - Pada suatu hari raya Lebaran, tatkala Indonesia masih bernama Hindia Belanda, Sukarno kecil berbaring di kamarnya. Sambil menatap langit yang dilihatnya melalui tiga lubang sebesar batu bata yang menganga di dinding rumahnya, ia merasakan kesedihan dan kegundahan.
“Di sekeliling terdengar bunji petasan berletusan disela oleh sorak-sorai kawan-kawanku karena kegirangan. Betapa hantjur-luluh rasa hatiku jang ketjil itu memikirkan, mengapa semua kawan-kawanku dengan djalan bagaimanapun dapat membeli petasan jang harganja satu sen dan aku tidak!” kenang Soekarno dalam buku biografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, yang disusun oleh Cindy Adams
Pada masa itu, anak-anak (Jawa) bermain petasan menjelang hari lebaran sudah menjadi hal lumrah. Pesta kembang api – jenis petasan yang ditembakkan ke udara, saat meledak mengeluarkan percikan api yang menyebar menyerupai kembang – juga digelar dalam peringatan tanggal lahir Ratu Belanda Wilhelmina yang jatuh setiap 31 Agustus.
Baca juga: Kembang Api dari Tiongkok ke Eropa Lalu ke Indonesia
Tina Asmarawati, dalam Sosiologi Hukum: Petasan Ditinjau dari Perspektif Hukum dan Kebudayaan, mendefinisikan petasan sebagai peledak berupa bubuk yang dikemas dalam beberapa lapis kertas, dan mempunyai sumbu untuk diberi api dalam menggunakannya.
Petasan memiliki ragam bentuk ledakan. Setidaknya ada tiga kelompok petasan yang jamak ditemui di Indonesia. Pertama, petasan yang hanya meledak saja. Petasan cabe, petasan korek, dan petasan teko termasuk dalam kategori ini.
Sedikit berbeda dari yang pertama, petasan kelompok kedua adalah petasan yang diletakkan di tanah, ketika disulut ia memancarkan percikan api beragam warna dan beberapa di antaranya menimbulkan ledakan ringan. Beberapa jenis petasan yang dapat digolongkan dalam kategori ini antara lain petasan air mancur dan petasan disko.
Selain dua jenis petasan di atas, jenis petasan ketiga sama-sama sering dijumpai, terutama saat perayaan pergantian tahun baru. Petasan jenis ketiga ini ditembakkan ke udara. Selama meluncur dan saat meledak, petasan akan memancarkan kembang api. Petasan yang kerap disebut kembang atau bunga api ini pun memiliki beragam jenis bergantung pada pergerakan dan ledakanya di udara. Salah satu varian yang paling murah dan sederhana dari kategori ini adalah petasan jangwe.
Mesiu, dari Alat Perang Hingga Perayaan
Cikal bakal petasan tidak bisa dilepaskan dari perkembangan mesiu yang menjadi bahan dasar pembuatannya. Adalah para ilmuwan dari daratan Cina yang dikenal sebagai penemu mesiu. Dalam artikelnya, “How Gunpowder Changed the World”, Heather Whipps mengisahkan, pada awalnya mereka mencoba mencampurkan sendawa dengan belerang dan arang dalam rangka percobaan medis.
Namun, berdasarkan teks yang berasal dari Cina pertengahan abad ke-9, hasil dari percampuran tersebut adalah "asap dan nyala api, sehingga tangan dan wajah [para ilmuwan tersebut] terbakar, dan bahkan seluruh rumah di mana mereka berkerja terbakar habis."
Seiring berjalannya waktu "musibah" ledakan itu pun membawa berkah. Orang-orang Dinasti Sung Cina mulai menggunakan bubuk mesiu untuk melawan bangsa Mongol yang terus menginvasi wilayah mereka sepanjang periode tersebut.
“Senjata berbasis serbuk mesiu lainnya ditemukan oleh orang Cina dan disempurnakan melawan bangsa Mongol di abad berikutnya, termasuk untuk pembuatan meriam dan granat pertama,” sebut Whipps.
Baca juga: Hikayat Petasan Memakan Korban
Memasuki abad ke-13, mesiu melintas ke Eropa dan Timur Tengah melalui jalur sutra.
Pada 1350, meriam mesiu digunakan, baik oleh militer Inggris dan Prancis, dalam Perang Seratus Tahun. Orang-orang Turki Utsmani juga menggunakan meriam mesiu selama pengepungan Konstantinopel.
Dalam The Chemistry of Fireworks, Michael S. Russell menjelaskan bahwa pada 1252 ilmuwan Inggris Roger Bacon juga meracik bubuk mesiu yang mirip dengan yang pertama kali dibuat di Cina. Racikan itu terdiri dari kalium nitrat, sulfur dan juga bahan dari willow muda. Jika takarannya pas, hasil pembakaran racikan tersebut akan menghasilkan cahaya yang indah. Takaran itu lah yang kemudian menjadi acuan dasar pembuatan petasan kembang api yang masih setia menemai berbagai perayaan seperti pergantian tahun baru.
Petasan Berujung Petaka
Jika Sukarno mengenang petasan sebagai barang mewah yang tidak sanggup dimainkannya sewaktu kecil, mantan hakim agung Adi Andojo Soetjipto mengingat petasan dengan cara lain. Saat ditugaskan sebagai hakim di Semarang, Adi tinggal di sebelah rumah Romo Diyat. Sekitar seratus meter dari rumah Romo yang dikenal sebagai penasihat spiritual Presiden Soeharto tersebut ada orang yang diam-diam membuat petasan.
“Suatu ketika sekitar pukul 06.30 petang petasan itu meledak hebat, sampai kaca jendela rumah kami pada pecah berantakan dan kurungan burung yang tergantung di plafond jatuh. Sudah barang tentu ada korban jiwa di rumah pembuat petasan itu,” kenang Adi dalam memoarnya yang berjudul Menyongsong dan Tunaikan Tugas Negara Sampai Akhir.
Baca juga: Suar Kematian dari Kembang Api dan Petasan
Ledakan petasan, yang awalnya dibuat serta digunakan sebagai wahana hiburan, memang kerap berujung maut. Dari lebaran 2013 hingga 2016, tim riset Tirto mencatat setidaknya ada 40 kasus kecelakaan terkait petasan yang dikabarkan baik oleh media lokal maupun nasional. Tercatat 11 orang meninggal, dan sedikitnya 49 orang luka-luka.
Lalu, per Kamis (26/10) setidaknya ada sembilan toko, gudang, atau pabrik petasan meledak dan memakan korban jiwa sejak Januari 2015.
Ledakan yang terjadi di pabrik petasan di Kabupaten Malang, Jawa Timur pada 7 Januari 2015 menghasilkan satu orang luka-luka. Sedangkan, satu orang tewas dalam ledakan di sentra pembuatan petasan di Kecamatan Ajibarang, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah pada 15 September 2015.
Yang paling mutakhir, puluhan orang meninggal (pada sore hari dikabarkan telah terdapat 47 korban tewas) dalam ledakan gudang kembang api di Kompleks Pergudangan 99, Jalan Raya Salembara, Kosambi, Tangerang pada Kamis (26/10).
Berlindung di Bawah Payung Hukum
Sejak era kolonial sejumlah aturan terkait petasan pun dibuat. Lembaran Negara tahun 1940 Nomor 41 tentang Pelaksanaan Undang-undang (UU) Bunga Api 1939 mengancam pidana kurungan tiga bulan dan denda apabila melanggar ketentuan membuat, menjual, menyimpan, mengangkut bunga api dan petasan yang tidak sesuai standar pembuatan.
Di era kemerdekaan, pemerintah Indonesia pun gencar mengatur mengenai petasan. UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 mengatur ancaman pidana terkait petasan yang ancamannya bisa mencapai 20 tahun penjara ataupun hukuman mati.
Lebih detail, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri) Nomor 2 Tahun 2008 tentang Pengawasan, Pengendalian, dan Pengamanan Bahan Peledak Komersial menyebutkan “Bahwa bahan peledak merupakan barang yang sangat berbahaya dan rawan, sehingga untuk keamanan dan ketertiban penggunaan bahan komersial diperlukan adanya pengawasan dan pengendalian secara khusus.
Berdasarkan Peraturan Kapolri, bunga api yang diizinkan adalah bunga api yang isian mesiunya lebih dari 20 gram dengan ukuran 2 inci sampai dengan 8 inci. Sementara itu, bunga api yang digunakan oleh masyarakat yaitu bunga api mainan berukuran kurang dari 2 inci, sehingga tidak menggunakan izin pembelian dan penggunaan.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Zen RS