Menuju konten utama
Wabah-Wabah di Hindia Belanda

Karena Abai Peringatan Dini, Flu Spanyol Mewabah di Hindia Belanda

Hindia Belanda diamuk wabah Flu Spanyol 1918 gara-gara pemerintah kolonial abai pada peringatan dini.

Karena Abai Peringatan Dini, Flu Spanyol Mewabah di Hindia Belanda
Ilustrasi wabah Flu Spanyol di Hindia Belanda. tirto.id/Lugas

tirto.id - Nasib malang, walaupun tak tentu, kerap menjadi kawan baik seniman. Penyair Amir Hamzah tewas dalam huru-hara sosial di Sumatra selepas kemerdekaan. Vincent van Gogh bunuh diri dalam depresinya yang dalam. Sementara pelukis Rembrandt yang pernah bergelimang harta mati dalam kepapaan dan kesendirian. Pelukis masyhur Austria di awal abad ke-20, Egon Schiele, juga bukan pengecualian.

Ketika memasuki masa produktif dan namanya sedang naik, Perang Dunia I meletus. Schiele pun harus mengikuti wajib militer. Untunglah, seorang perwira Austria yang paham seni menyelamatkannya. Saat prajurit lain musti bertempur di garis depan, Schiele mendapat kompensasi kerja administrasi dan menjaga tawanan. Selama perang berkecamuk, ia tetap bisa berkarya meski tak seproduktif sebelumnya.

Saat perang mendekati titik akhir pada 1918, Schiele ketiban pulung. Ia diperbolehkan kembali ke Wina dan menggelar beberapa pameran. Meski inflasi sedang menggila, hampir semua lukisannya terjual saat itu. Dengan keuntungan dari penjualan lukisan, ia lalu mengajak Edith Harms, sang istri, pindah ke rumah yang lebih bagus.

Pada pertengahan tahun itu Schiele mulai mengerjakan sebuah lukisan yang kelak dikenang sebagai salah satu mahakaryanya. The Family, nama lukisan itu, adalah sebuah potret metaforik yang diakui Schiele menggambarkan eksistensi kreatifnya. Lukisan itu menampilkan sosok Schiele sendiri (lelaki yang menjadi simbol semangat hidup) membungkuk di belakang seorang perempuan (simbol wahana) dan bayi (simbol karya kreatif).

Siapa sangka saat lukisan itu hampir rampung, Edith juga sedang hamil. Maka itu banyak orang mengira The Family adalah gambaran keluarga impian Schiele. Tapi, siapa sangka juga, itulah pulung terakhir bagi Schiele.

Pada Oktober 1918, ketika Eropa mulai memasuki musim gugur, wabah influenza menerjang. Schiele dan Edith ikut-ikutan terjangkit. Hawa dingin dan keterbatasan pasokan makanan gara-gara perang memperparah flu yang mereka derita. Schiele dan Edith tak mampu bertahan. Edith meninggal pada 28 Oktober dan Schiele menyusul mangkat tiga hari kemudian.

“Pada jeda waktu tersebut, walau dirundung duka dan menderita sakit, Schiele sempat mencoba merampungkan lukisannya—potret keluarganya sendiri yang tak akan pernah terwujud. [...] Kematian itu jadi salah satu alasan lukisan The Family karyanya kerap digambarkan sebagai saksi bisu keganasan wabah flu 1918,” tulis Laura Spinney, penulis Pale Rider: The Spanish Flu of 1918 and How it Changed the World, di laman BBC.

Bukan Flu Biasa

Wabah influenza yang merebak pada 1918 itu bukanlah penyakit flu biasa. Orang-orang saat itu mengenalnya sebagai Flu Spanyol. Ia mendapat nama dari pemberitaan gencar media massa Spanyol selama pandemi terjadi. Penyebab utama flu ini adalah virus influenza tipe A subtipe H1N1.

Varian virus ini jauh lebih berbahaya dibanding virus influenza musiman yang sudah diketahui saat itu. Virus ini bahkan lebih mengancam karena mudah menular melalui udara sehingga bisa merebak ke wilayah yang luas dalam waktu singkat.

Hingga kini titik asal kemunculan virus Flu Spanyol masih belum bisa dipastikan. Kemungkinan pertama, virus ini mulai mewabah di kompleks militer Fort Riley, Amerika Serikat pada Maret 1918. Priyanto Wibowo dan kawan-kawan dalam Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda (2009) menyebut saat itu terdapat laporan sekira 500 orang mengalami flu disertai gejala pneumonia. Pada akhir bulan jumlahnya meningkat hingga 700 orang dan 40 di antaranya meninggal.

Virus ini lalu menyebar ke Eropa ketika Amerika Serikat mengirim tentara ke medan Perang Dunia I.

“Penyebaran penyakit influenza ke Eropa ini dianggap sebagai gelombang pertama dari pandemi tersebut. Namun laporan lain yang mengatakan bahwa sebenarnya influenza H1N1-1918 ditemukan pertama kali di Eropa setelah dilaporkannya kasus influenza pada salah satu resimen tentara Amerika Serikat di Perancis dan Inggris,” tulis Priyanto dan kawan-kawan (hlm. 34).

Dari sumber-sumber di zaman itu, ada pula yang menyatakan bahwa wabah Flu Spanyol bukan berasal dari Amerika. Sejarawan Ravando Lie, yang pernah meneliti tentang wabah ini untuk penulisan "mini-thesis" di Leiden University, menemukan laporan berbeda pada sebuah surat kabar dalam negeri.

"Memang yang selama ini menjadi 'accepted history' adalah wabah ini bermula dari Amerika. Tapi saya membaca laporan di harian Pewarta Soerabaia terbitan 1918, ketika saya meneliti tentang Flu Spanyol di Hindia Belanda, bahwa wabah ini berasal dari Swedia atau Rusia, kemudian menyerang Cina, Jepang, sampai Asia Tenggara," tutur Ravando kepada Tirto, Senin (16/3/2020).

Situasi perang memang membuat sumber penyebaran virus ini tidak pernah jelas. Masing-masing negara yang diduga menjadi permulaan penyebaran cenderung menutup-nutupinya.

"Akar dari virus ini sesungguhnya tak pernah jelas. Ini karena suasana Perang Dunia I. Tiap negara terdampak berupaya menyembunyikan fakta sesungguhnya agar tidak terlihat lemah," lanjut sejarawan yang sedang menempuh studi doktoral di Melbourne University itu.

Meski episentrumnya masih sumir, tetap jelas bahwa H1N1 adalah virus ganas. Ketika pandemi terjadi, populasi dunia diperkirakan 1,7 miliar orang dan 60 persennya terjangkit virus ini. Perang Dunia I juga berkontribusi besar bagi penyebaran virus ini dengan amat cepat karena mobilisasi tentara dan penduduk dari satu tempat ke tempat lainnya.

Yang mengherankan, korban pandemi ini paling banyak berasal dari rentang umur 20-40 tahun—usia saat imunitas semestinya dalam kondisi prima. Perkiraan jumlah pasien yang tewas akibat pandemi influenza ini pun bervariasi. Dalam kurun Maret 1918-September 1919, ada yang menyebut 21 juta hingga kisaran 50-100 juta jiwa tewas akibat Flu Spanyol di seluruh dunia.

"Di era modern, jelas enggak ada penyakit yang fatality rate-nya setinggi Flu Spanyol. Jumlah korbannya bahkan melebihi jumlah korban Perang Dunia I. Menurut berbagai sumber yang saya baca, hingga sekarang para epidemiologis menyimpulkan Flu Spanyol adalah penyakit menular paling mematikan, jauh lebih berbahaya dari cacar, pes, dan kolera,” ujar Ravando.

Menyerbu Hindia Belanda

Wabah Flu Spanyol merambah Hindia Belanda sejak gelombang pertama pandemi. Virus diduga dibawa oleh imigran Cina yang berlayar ke Hindia Belanda melalui Hongkong. Pada April 1918 konsul Belanda di Singapura bersurat kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda agar tidak menerima kapal-kapal dari Hongkong berlabuh di Batavia. Sebelumnya, konsul Belanda di Singapura itu telah menerima peringatan dari otoritas Inggris di Hongkong.

Hindia Belanda pun sebenarnya punya Peraturan Karantina yang tercantum di Staatblad van Nederlandsch Indie no. 277 tahun 1911. Aturan itu mengatur tentang prosedur karantina kapal dan pelabuhan—juga kota—untuk menekan persebaran wabah ketika terjadi epidemi.

Sayangnya, peringatan itu tidak mendapat perhatian yang semestinya dari pemerintah kolonial. Maka itu protokol karantina juga tidak berjalan efektif. Kapal-kapal dari luar negeri tetap bebas berlabuh di pelabuhan-pelabuhan Hindia Belanda. Begitu pun penumpangnya diperbolehkan masuk kota sebagaimana biasa. Akibatnya, Hindia Belanda mesti berhadapan dengan epidemi yang mematikan tiga bulan kemudian.

“Pada bulan Juli 1918, beberapa pasien influenza mulai dilaporkan di sejumlah rumah sakit di Hindia Belanda. Jumlah ini semakin meningkat pada bulan Agustus dan September, meskipun rasio perbandingan dengan jumlah korban wabah-wabah lokal yang terjadi sebelumnya masih dianggap rendah,” tulis Priyanto dan kawan-kawan (hlm. 95).

Infografik HL Indept Sejarah Wabah

Infografik Sejarah Wabah Flu Spanyol. tirto.id/Lugas

Seperti bola salju, korban wabah Flu Spanyol terus bertambah seiring bulan berganti. Wabah menyebar mengikuti jalur transportasi utama. Kota-kota pelabuhan yang menjadi tempat transit penumpang luar negeri adalah yang paling dulu terkontaminasi. Virus lalu menyebar ke daerah pedalaman di sekitar jalur kereta api seiring dengan pergerakan manusianya.

Siddharth Chandra dalam “Mortality from the Influenza Pandemic of 1918-19 in Indonesia” yang terbit di jurnal Population Studies (2013) menyebut epidemi Flu Spanyol pecah dalam dua gelombang utama. Gelombang pertama terjadi pada Juni-Juli 1918 di kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa dan pantai timur Sumatra. Begitu pula yang terjadi di pantai barat Kalimantan.

Gelombang kedua, yang disebut-sebut lebih cepat dan luas penyebarannya, mulai pecah pada Oktober hingga Desember. Epidemi skala kecil juga terjadi di daerah timur Hindia Belanda hingga Februari 1919.

Karena di masa itu belum ada sensus, jumlah orang yang terjangkit atau korban tewas jadi sulit dipastikan. Chandra menyebut bahwa estimasi jumlah korban di tiap daerah sangat bervariasi, berkisar antara sepuluh hingga belasan persen dari total populasi lokal. Lima daerah dengan tingkat kematian tertinggi—lebih dari 15 persen dari total populasi—akibat pandemi Flu Spanyol tercatat di Madura, Banten, Kediri, Surabaya, dan Cirebon.

Yang terang, banyaknya jumlah orang yang terjangkit membuat para dokter rumah sakit yang ada saat itu kebanjiran pasien. Di Makassar, misalnya, seorang dokter mesti berurusan dengan 800 pasien influenza. Rumah sakit bahkan sampai kehabisan kamar dan terpaksa menolak pasien tambahan.

Meski kemudian wabah mereda pada pertengahan 1919, pemerintah kolonial jelas gagap dalam membaca situasi. Priyanto dan kawan-kawan menyebut bahwa laporan-laporan dari daerah yang masuk ke Algemeene Secretarie sering kali baru mendapat tanggapan setelah lewat beberapa bulan. Gara-gara itu langkah taktis untuk menekan penyebaran virus H1N1 jadi terhambat.

Kekacauan koordinasi itu diperparah dengan minimnya pengetahuan tenaga medis zaman itu terhadap jenis penyakit dan virus yang mereka hadapi. Tak heran jika otoritas kesehatan di tiap daerah akhirnya mengambil inisiatif sendiri-sendiri meski salah kaprah.

“Para dokter kolonial menganggap penangan penyakit flu sama dengan malaria, tanpa membuktikan lebih dahulu lewat proses penelitian laboratorium. Candu juga diusulkan sebagai obat sementara untuk mengurangi rasa sakit akibat lumpunya ketahanan tubuh setelah terserang virus influenza,” catat Priyanto dan kawan-kawan (hlm. 202-203).

Kegagapan pemerintah kolonial menghadapi serbuan virus Flu Spanyol juga ditemukan Ravando dalam risetnya. Ia bahkan mengatakan tidak ada upaya protokoler untuk mencegah wabah itu hingga satu tahun setelah menjangkiti Hindia Belanda.

"Pemerintah kolonial sangat lambat menangani Flu Spanyol. Padahal di negara lain jelas sudah menelan banyak korban. Tapi enggak ada upaya pencegahan atau protokoler yang jelas dalam mengantisipasi pandemi tersebut. Di Volksraad (parlemen semu Hindia Belanda), cuma Abdul Rivai yang mengkritik tindakan lambat pemerintah," pungkas Ravando.

Influenza Ordonantie—protokol resmi untuk menghadapi epidemi influenza di masa depan—akhirnya disahkan pada Oktober 1920 setelah melalui perdebatan panjang di pemerintahan dan parlemen.

Baca juga artikel terkait WABAH atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Ivan Aulia Ahsan