tirto.id - Orang-orang Eropa tak membutuhkan waktu lama untuk menaklukkan sebagian besar Dunia Baru Amerika sejak pertama kali mendarat pada pengujung abad ke-15. Salah satu alasannya, orang Eropa jelas lebih unggul dalam hal teknologi persenjataan dan organisasi militer dibandingkan dengan suku-suku asli Amerika.
Para penakluk Eropa punya persenjataan dan pelindung tubuh dari baja yang kuat. Itu pun masih ditunjang dengan bedil dan artileri. Sementara prajurit pribumi masih mengandalkan kapak batu, katapel, panah, serta pelindung tubuh sederhana dari kain berbantalan. Mereka juga belum mengenal kavaleri sebagaimana orang Eropa.
Tapi, menurut profesor geografi dari Universitas California Jared Diamond, semua keunggulan itu hanyalah faktor kesekian yang memengaruhi kesuksesan penakluk. Penentu kemenangan para conquistadores yang sebenarnya adalah kuman penyakit.
“Jauh lebih banyak penduduk asli Amerika yang tewas di pembaringan gara-gara kuman manusia daripada di medan pertempuran gara-gara bedil dan pedang Eropa. Kuman-kuman itu memperlemah pertahanan orang-orang Indian dengan membunuh sebagian besar orang Indian dan para pemimpin mereka, serta menciutkan nyali orang-orang yang tersisa,” tulis Diamond dalam bukunya yang terkenal, Bedil, Kuman, dan Baja: Rangkuman Riwayat Masyarakat Manusia (2018, hlm. 261-262).
Prasangka soal kebiasaan sehari-hari masyarakat lokal yang dipandang asing dan mengundang penyakit sering muncul dalam konteks kolonialisme Eropa. Kolonialisme pun tak jarang dijustifikasi dengan alasan penyebarluasan sarana sanitasi dan pemberantasan penyakit. Namun, fakta bahwa orang-orang Eropa tak jarang membawa penyakit ke koloni kerap dilupakan oleh para penganjur kolonialisme. Masyarakat adat di Amerika Latin adalah salah satu saksinya.
Hampir tak ada penyakit menular ganas di Amerika sebelum Christoffa Corombo alias Columbus menjejak Hispaniola pada 1492. Semua berubah ketika orang Eropa datang. Selain senjata, mereka juga membawa kuman penyakit ganas macam pes, influenza, campak, tuberkulosis, malaria, cacar, hingga sifilis. Kuman-kuman penyakit ini jadi momok mematikan bagi penduduk asli yang tak pernah terpapar sebelumnya dan karena itu tak memiliki kekebalan alami.
Contoh yang tepat untuk menggambarkan kengerian yang menyertai kuman-kuman dari Eropa ini adalah cacar. Peristiwa ini bahkan “membantu” kemenangan Hernán Cortés atas imperium Aztec di Meksiko.
Petualangan Cortés di Amerika dimulai pada 1504. Setelah bekerja untuk otoritas Spanyol di Hispaniola, ia bergabung dalam ekspedisi Diego Velázquez ke Kuba pada 1511. Velázquez sukses menguasai Kuba dan mendapat jabatan gubernur, sedangkan Cortés bekerja sebagai bendahara. Cortés juga pernah menjabat Wali Kota Santiago.
Tapi Cortés ternyata tak puas dengan apa yang telah didapat. Pengalaman selama menaklukkan Kuba bikin dia terobsesi memimpin ekspedisi sendiri.
Pada 1519, armada Cortés berangkat menuju Amerika daratan meski tanpa restu Velázquez. Cortés beserta sekitar 600 tentara Spanyol mendarat di Semenanjung Yucatan (kini wilayah Meksiko). Dari sana ia perlahan menaklukkan permukiman suku-suku asli di pesisir dan menjalin aliansi dengan mereka. Ia terus melakukan hal serupa hingga ke pusat. Cortés bahkan membakar kapal-kapalnya agar tak ada yang melarikan diri dalam rencana penaklukan.
Pada bulan ketiga pengepungan, tepatnya 8 November 1519, tepat hari ini 502 tahun yang lalu, Cortés dan aliansinya mencapai ibu kota Kekaisaran Aztec Tenochtitlan, Tenochtitlán.
Ketika itu Kaisar Montezuma II semula menyambut Cortés dengan tangan terbuka. Cortés dkk. disambut dengan sangat hormat karena awalnya dianggap utusan dewa yang kembali dari timur. Tapi Montezuma II kemudian disandera dan dipaksa menjadi raja boneka. Bersamaan dengan itu tentara Spanyol dan aliansi menyerang dan berhasil menguasai Tenochtitlán. Praktis Cortés telah menguasai Aztec.
Meski menang, Cortés tak bisa tenang. Ia kemudian dipusingkan oleh pasukan kiriman Velázquez. Pasukan itu diperintahkan menangkap Cortés karena dianggap melampaui wewenang. Cortés berhasil mengalahkan pasukan ini pada April 1520 dan bahkan menggabungkan mereka dalam pasukannya sendiri.
Tapi, ketika kembali ke Tenochtitlán, Cortés dihadapkan lagi pada masalah lain: pemberontakan orang-orang Aztec yang dipimpin seorang kaisar baru.
Tentang episode ini, Ensiklopedia Britannica menulis, “Kakak Montezuma, Cuitláhuac, diangkat jadi tlatoani [kaisar] baru dan mengusir para conquistadores beserta sekutunya keluar dari Tenochtitlán dalam serangan berdarah yang dikenal sebagai La Noche Triste. Cortés mundur ke timur ke Tlaxcala, tempat ia perlahan menyusun lagi kekuatan militer selama lebih dari lima bulan.”
Cacar Menyerang
Kedatangan pasukan Velázquez sekilas terlihat seperti penghalang bagi ambisi Cortés menguasai Aztec. Tapi, siapa nyana pasukan itu malah membawa bala bantuan tak kasat mata yang menentukan kesuksesan Cortés kemudian. Di antara pasukan itu terdapat seorang budak bernama Francisco Eguía yang saat itu tengah terjangkit cacar.
Kuman cacar Eguía dengan cepat menyebar di Semenanjung Yucatan. Pribumi yang tak pernah terpapar kuman penyakit ini dengan mudah terjangkit, termasuk orang-orang Aztec. Dalam waktu empat bulan saja, wabah cacar telah merambah wilayah inti Kekaisaran Aztec, termasuk ibu kota.
Penduduk asli Amerika yang terjangkit mulanya mengalami demam tinggi, sakit kepala, sakit perut, sampai muntah. Beberapa hari kemudian muncul ruam-ruam di hampir sekujur tubuh si sakit. Dalam beberapa hari ruam-ruam itu berubah jadi abses yang dipenuhi cairan dan nanah. Mereka yang tak mampu bertahan biasanya tewas setelah sebulan sakit. Beberapa yang berhasil sintas mengalami kebutaan.
“Tulah itu berlangsung selama 70 hari, menyerang seantero kota dan menewaskan banyak orang. Luka meletus di wajah, payudara, hingga perut kami. Kulit kami tertutup luka yang menyakitkan dari kepala hingga kaki,” tulis sebuah kronik Aztec sebagaimana dikutip profesor kedokteran dari Universitas Indiana Richard Gunderman dalam artikel yang tayang di laman The Conversation.
Populasi orang Aztec di Tenochtitlán sebelum berlangsungnya penaklukan diperkirakan sebanyak 200 ribu. Serbuan kuman cacar yang tak terbendung itu mengurangi populasi kota itu hingga 40 persen sebelum 1520 berakhir.
Gunderman menjelaskan bahwa korban terbanyak dari wabah itu adalah bayi dan anak kecil. Orang-orang dewasa yang sakit tidak bisa lagi merawat ladang pertanian yang kemudian menyebabkan kelaparan meluas. Kematian masif di kota itu membuat mereka yang sintas luntur semangat tempurnya.
“Epidemi yang dihasilkan akhirnya membunuh nyaris separuh populasi Aztec, termasuk Kaisar Cuitlahuac. Orang-orang Aztec yang masih hidup ciut nyalinya karena penyakit misterius yang merenggut nyawa orang-orang Indian namun tak menyentuh orang-orang Spanyol, seolah-olah menandakan betapa orang-orang Spanyol tak bisa dikalahkan,” tulis Diamond (hlm. 262).
Demoralisasi pasukan Aztec dan wabah yang kian menyebar ke seantero Meksiko tentu saja menguntungkan Cortés. Pada Agustus 1521 ia melancarkan serbuan pamungkas ke Tenochtitlán dan menang.
Setelah Kekaisaran Aztec dikalahkan, Cortés lantas mengklaim wilayahnya sebagai bagian dari Kerajaan Spanyol.
Tentu saja, wabah cacar tak berhenti di Tenochtitlán. Selepas teguhnya kolonisasi Spanyol, epidemi yang mematikan ini beberapa kali pecah di beberapa wilayah Meksiko. Pada pertengahan abad ke-16 itu, populasi pribumi Amerika di Meksiko yang semula diperkirakan mencapai 30 juta jiwa merosot tajam hingga hanya bersisa sekira 1,6-3 juta jiwa saja.
Gunderman juga menyebut bahwa Aztec bukanlah satu-satunya peradaban asli yang tumpas gara-gara kuman bawaan orang Eropa. Selain populasi Indian Amerika Utara, peradaban Maya dan Inca juga hampir musnah oleh cacar dan penyakit Eropa lain seperti campak dan gondong.
Laman Past Medical History menyebut, “Meskipun angka pastinya tidak akan pernah diketahui secara pasti, cacar diperkirakan telah menewaskan antara 40 hingga 50 juta penduduk asli Dunia Baru. Beberapa perkiraan bahkan lebih tinggi dan menyatakan bahwa sebanyak 90 persen populasi meninggal.”
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 21 Februari 2020 dengan judul 'Bagaimana Wabah Bawaan Kolonialis Eropa Menghancurkan Inca dan Maya'. Redaksi melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Windu Jusuf & Rio Apinino