tirto.id - 12 Oktober 1492. Pelayaran Kristoforus Kolumbus telah memasuki pekan kelima. Pukul 02.00 pagi, cuaca masih gelap, suasana di tengah Samudera Atlantik Utara relatif tenang, tak terlalu rusuh oleh gelombang. Rodrigo de Triana, salah satu awak kapal Pinta, tiba-tiba melihat gemerlap cahaya berjejer horizontal, yang ia yakini sebagai daratan. Rodrigo bangun dari kantuknya, kemudian berteriak-teriak kegirangan.
“¡Tierra! ¡Tierra!” (Daratan! Daratan!)
Kapten Pinta, Martin Alonso Pinzon, segera memeriksa kabar tersebut. Setelah yakin, ia meneruskannya kepada Kolumbus dengan cara menembaki langit dengan sepucuk pistol lombard. Kolumbus riang bukan kepalang. Ia langsung teringat janji Raja Ferdinand II dari Kerajaan Aragon dan Ratu Isabella I dari Kerajaan Castile, bahwa siapapun yang pertama kali menemukan daratan pulau yang dituju, maka yang bersangkutan akan diberi uang pensiun seumur hidup.
Baca juga: Kisah Sedih Penjajahan Amerika Serikat di Hawaii
Hadiah tersebut seharusnya jatuh ke tangan Rodrigo. Namun kemudian Kolumbus mengaku bahwa ia sudah melihat temaram cahaya pulau di hari sebelumnya, tepatnya saat jarum jam menunjuk pukul 10 malam. Saat itu ia mengurungkan pengumuman karena tidak yakin yang dilihatnya adalah daratan sungguhan.
Atas klaim inilah, dan berdasarkan kuasanya sebagai pemimpin proyek pelayaran, maka Kolumbus yang mendapat hadiah spesial dari kerajaan, sementara Rodrigo tak mendapat imbalan secuil pun. Kapal belum sempat merapat ke daratan, namun arogansi Kolumbus sudah menyeruak ke permukaan, demikian catatan Patrick Murphy dan Ray Coye di buku Mutiny and Its Bounty (2013).
Arogan Sejak Mendarat
Kepulauan yang pertama kali ia jajaki dalam petualangan mencari Dunia Baru (New World) itu ia namai San Salvador (kini bernama Bahama). Tak begitu jelas di pulau mana persisnya ia dan awak kapal Nina, Pinta, dan Santa Maria mendarat. Namun teori mayoritas sejarawan mengerucut ke tiga pulau: San Salvador, Samana Cay, atau Plana Cay.
Orang-orang lokal menyambut rombongan kaum kulit putih yang memulai pelayaran sejak 3 Agustus 1492 dari Kota Palos de la Frontera, Spanyol bagian Selatan itu, dengan hangat dan bersahabat. Peristiwa bersejarah tersebut terutama melibatkan orang-orang Suku Lucayan, Taino, dan Arawak sebagai penghuni asli pulau-pulau di Karibia.
Namun Kolumbus justru menampakkan sikap asli seorang kolonialis Eropa yang haus harta. Melihat beberapa orang lokal mengenakan anting emas, Kolumbus kemudian menyandera salah satu anggota Auku Arawak dan memaksanya untuk menunjukkan di mana orang setempat menambang emas. Emas (Gold), adalah salah satu dari tiga slogan utama kolonialisme klasik selain Gospel (kejayaan gereja) dan Glory (kejayaan teritorial).
Baca juga: Saat Guru Mengajarkan bahwa Penjajahan Itu Baik
Kolumbus melanjutkan pelayaran di kawasan Laut Karibia untuk mengujungi pulau-pulau lainnya. Salah satunya Pulau Hispaniola (yang kini dibagi antara Republik Dominika dan Haiti) pada 5 Desember di tahun yang sama. Dalam perjalanan yang melelahkan sehingga mengakibatkan pengurangan jumlah awak kapal, Kolumbus mendirikan pemukiman di La Navida (kini Haiti), mengambil lebih banyak sandera orang lokal, dan melanjutkan perjalanan.
Perjalanan pertama Kolumbus berlangsung selama satu tahun, durasi yang diberikan oleh Raja Ferdinand dan Ratu Isabela. Dalam perjalanan pulang ke Spanyol, ia membawa 10-35 sandera orang lokal dan hanya tujuh atau delapan yang sampai di Spanyol dalam kondisi hidup.
Mitos-Mitos di Sekeliling Kolumbus
Kolumbus dicatat dalam sejarah sebagai penemu benua Amerika. Kenyataannya, menurut sejumlah sumber sejarah, Kolumbus tak pernah menginjakkan kakinya di Amerika Utara. Selama empat kali pelayaran besarnya antara 1493 hingga 1503, ia hanya berkutat di sekitar Karibia dan Amerika Selatan. Parahnya, saat pertama kali menemukan Dunia Baru, ia tetap bersikeras bahwa wilayah tempat pertama kali mendarat adalah Asia (tepatnya India, sehingga menyebut orang-orang lokal sebagai Suku Indian). Misi awal pelayaran Kolumbus memang untuk mencari jalan ke Asia, namun ia tersesat hingga ke Amerika Tengah.
Ada beberapa teori tentang siapa yang pertama kali menginjakkan kakinya di Amerika Utara. Salah satunya merujuk sosok Lief Erikson dari Bangsa Viking yang tinggal di Islandia dan memimpin pelayaran di abad ke-11 hingga mendarat di Amerika Utara, tepatnya di Newfoundland (Kanada). Teori lain mengatakan jika pendatang pertama yang lebih dulu datang dan menjalin kontak dengan orang lokal di wilayah yang kini jadi negeri Paman Sam adalah orang-orang Fenisia di milenium pertama Sebelum Masehi.
Baca juga: Seabad Malaka Berjaya, Kemudian Musnah
Sayangnya, masih banyak institusi pendidikan di berbagai negara yang belum mengubah informasi tentang Kolumbus. Sejarah Kolumbus akhirnya dipenuhi mitos-mitos atau informasi yang ditulis melenceng sehingga mengaburkan kenyataan. Nama ketiga kapal Kolumbus, misalnya, ada kemungkinan besar tak memakai nama asli. "Nina" adalah panggilan untuk kapal Santa Clara. "Pinta" juga sama, tapi nama asli kapal tak pernah diketahui. Sedangkan "Santa Maria" kala itu populer untuk menamai kapal La Gallega.
Para pelajar kerap diberi pemahaman bahwa Kolumbus berlayar untuk membuktikan teori bumi bulat. Banyak sejarawan menolak teori ini. Mereka meyakini Kolumbus sudah tahu soal bumi bulat dari teori Pythagoras yang dikembangkan Aristoteles dan Euklides. Teori bumi bulat tercantum di buku-buku Eropa tahun 1200-1500an, termasuk Geografi karya Ptolomeus yang dimiliki Kolumbus. Tujuan pelayaran Kolumbus, selain eksplorasi Dunia Baru, adalah pengukuran luas samudera, bukan pembuktian bentuk bumi.
Pelopor Perbudakan di Tengah Tirani
Hal penting lain yang kerap ditutupi sejarah, menurut para sejarawan termasuk Laurence Bergreen yang menulis buku “Kolumbus: The Four Voyages”, adalah fakta bahwa Kolumbus bersikap kejam terhadap orang-orang lokal di wilayah yang ia taklukkan.
Pelayaran pertamanya cukup membuat reputasinya moncer di kalangan pembesar istana Spanyol. Raja Ferdinand dan Ratu Isabela mengangkatnya sebagai Viceroy Spanyol Baru pertama di Pulau Hispaniola selama periode tahun 1492–1499. Selama periode tujuh tahun inilah ia menjalankan kekuasaan dengan tangan besi.
Satu dekade yang lalu, jurnalis Spanyol Consuelo Varela menemukan dokumen terbuang yang sempat dihilangkan oleh monarki Spanyol untuk menyembunyikan fakta betapa tirannya Kolumbus. Kepada Guardian Varela menyebutkan orang-orang lokal Karibia sering dihukum Kolumbus secara tak manusiawi, dan praktiknya bisa terjadi pada laki-laki maupun perempuan.
Misalnya, catatan tentang seorang laki-laki Hispaniola yang ketahuan mencuri, dan Kolumbus memerintahkan aparat untuk memotong hidung dan telinganya. Si laki-laki lalu ditaruh di penjara besi dengan tangan terborgol, dan akhirnya dilelang sebagai budak.
Baca juga: Timor Leste pada Masa Kolonial
Kolumbus adalah tokoh utama yang memelopori perdagangan budak lintas Atlantik dalam skala besar. Hal ini diyakini oleh James W. Loewen dan sejarawan lainnya. Kolumbus mengirim lebih banyak budak dibanding individu lain di masanya. Saat Benua Amerika sedang dibangun orang-orang Eropa yang sevisi dengan Kolumbus, perbudakan orang-orang kulit hitam juga mulai terjadi, yakni melalui perburuan orang-orang Afrika untuk kemudian dibawa ke negeri Paman Sam.
Sejarawan Howard Zinn menulis di karyanya yang termahsyur, A People's History of the United States (1980), bahwa pada 1495 anak buah Kolumbus menangkap 1.500 orang asli Arawak, termasuk perempuan dan anak-anak, untuk dikirim ke Spanyol. 40 persen dari mereka meninggal di perjalanan.
Ada juga kisah tentang seorang perempuan yang menyebarkan rumor bahwa Kolumbus adalah orang melarat. Ia kemudian dihukum adik Kolumbus, Bartolomeo. Hukumannya mengerikan: selain diarak keliling kota tanpa busana, perempuan itu pun dipotong lidahnya karena dianggap berkata lancang. Kristoforus (Kolumbus) mengucapkan selamat padanya (Bartolomeo) karena dianggap telah membela nama baik keluarga.
Menolak Columbus Day
Dalam perspektif kolonialisme dan imperialisme kulit putih era awal, tak susah untuk memahami kelakuan Kolumbus, bahkan untuk kekejaman tingkat lanjut sekalipun: penyiksaan atas nama perbudakan dan pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang lokal.
Menurut catatan saksi sejarah Bartolome de Las Casas dan diceritakan ulang dalam buku American Holocaust: The Conquest of the New World (1992) karya David E. Stannard, Kolumbus menerapkan sistem Encomienda. Encomienda adalah program memperbudak pihak yang terjajah dan telah dilaksanakan sejak Eropa abad pertengahan. Bahkan dalam kondisi merebaknya penyakit mematikan pun program ini tetap dilaksanakan dengan tangan besi oleh rezim pemerintah Spanyol di Karibia.
Setelah pulih dari wabah penyakit, Kolumbus mengorganisasikan pasukannya dengan membentuk sebuah skuadron yang terdiri dari beberapa ratus orang bersenjata berat dan lebih dari 20an anjing penyerbu. Pasukan ini membunuh ribuan orang-orang asli yang masih sakit dan tak bersenjata. Beberapa ada dijadikan tawanan untuk latihan pedang, lebih tepatnya kelinci percobaan apakah pedang bisa membelah tubuh manusia dalam sekali tebas.
Las Casas mencatat ada kurang lebih 50.000 penduduk asli yang tewas selama masa pendudukan Kolumbus. Mereka ini juga meliputi orang-orang yang melawan rezim hanya dengan bermodal keberanian, dan kemudian tewas di ujung senapan mesiu.
Baca juga: Bisnis Asing Caplok Lahan, Kolonialisme Gaya Baru di Afrika
Pada 20 Mei 1506, di usia kira-kira 54 tahun, Kolumbus meninggal di Valladolid, Spanyol, akibat menderita penyakit sindrom reiter. Makamnya sempat berpindah-pindah tempat, namun akhirnya ditetapkan di Katedral Sevilla, Sevilla, Spanyol.
Setiap tanggal 12 Oktober rakyat Amerika Serikat merayakan Hari Kolumbus. Namun tak semuanya mau memperingati perayaan berdasarkan sejarah palsu nan berdarah itu. Oleh masyarakat Kota Seattle, Minneapolis, South Dakota, hingga Berkeley, tanggal 12 Oktober justru diperingati sebagai Hari Penduduk Asli/Masyarakat Adat. Upaya alternatif ini adalah bentuk penghormatan pada Suku Indian dan suku lain yang pernah jadi korban kolonialisme (baca: kekejaman) orang-orang kulit putih.
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf