Menuju konten utama

Timor Leste pada Masa Kolonial

Pepatah "Lepas dari mulut harimau, masuk mulut buaya" ialah perumpamaan yang tepat tentang nasib rakyat Timor Leste. Portugal angkat kaki setelah berkuasa selama ratusan tahun, tetapi Tentara Nasional Indonesia sudah menunggu gilirannya sambil menodongkan senjata.

Timor Leste pada Masa Kolonial
Invasi tentara Indonesia ke Timor Timur, 1975. FOTO/AMRT

tirto.id - 15 tahun lalu, Republik Demokratik Timor Leste bergabung dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa atau PBB. Artinya, masyarakat dunia menjamin kedaulatan negeri tersebut. Dan jaminan itu jadi pelengkap yang sempurna atas hasil referendum 30 Agustus 1999: merdeka dari jajahan Indonesia.

Negara di bagian timur Pulau Timor itu kecil; luas wilayahnya hanya 15.410 kilometer persegi dan jumlah penduduknya (2015) 1,167,242 orang saja, tetapi ia punya sejarah panjang sebagai negeri yang menerbitkan liur para penjajah.

Para pedagang Portugis tiba di Timor untuk pertama kali dalam rentang tahun 1509 sampai 1511. Sebagaimana kelompok-kelompok pedagang Eropa di Nusantara pada umumnya, mereka datang demi rempah-rempah, cendana, dan hasil alam tropis lainnya. Kemudian, sejumlah biarawan Dominikan mendirikan pemukiman Portugis di Lifau, Oekusi, dan mulai berdakwah di pulau tersebut.

Portugal memperkenalkan agama Katolik, sistem abjad Latin, percetakan, dan sekolah formal kepada rakyat Timor Leste. Bahasa Portugis digunakan dalam peribadatan, bisnis, dan birokrasi, berdampingan dengan bahasa Melayu dan Tetun buat urusan sehari-hari.

Apakah itu cukup? Tidak. Pada 1642, Francisco Fernandes dan pasukan Topasses (indo Portugis-Flores) pimpinannya memulai ekspedisi militer. Satu demi satu, raja-raja pulau Timor mereka tundukkan, dan akhirnya, pada 1702, terciptalah koloni baru yang secara resmi mereka namai Timor Portugis, beribukota di Lifau.

Tetapi Portugal bukan pemain tunggal. Belanda mendirikan pangkalan di Kupang, di Pulau Timor bagian barat, dan kaum Topasses jadi semakin sukar dikendalikan.

Tahun 1769, ibukota Timor Portugis dipindahkan ke Dili karena ancaman orang-orang Topasses. Sementara di Timor bagian barat, Belanda terus memperluas kekuasaannya.

Akhirnya, lewat Perjanjian Lisbon tahun 1859, ada kesepakatan pembagian wilayah Pulau Timor antara Timor Portugis dan Hindia Belanda. Yang pertama di timur, yang belakangan di barat.

infografik timor leste

Ratusan tahun dijajah Portugal, baru pada tahun 1910 sampai 1912 orang Timor Portugis melakukan pemberontakan yang cukup besar buat mengguncang keadaan. Perlawanan itu dikenal sebagai Pemberontakan Timor Timur atau Pemberontakan Manufahi.

Geoffrey C Gunn dalam Historical Dictionary of East Timor mencatat salah satu peristiwa paling brutal dalam pemberontakan itu: pada Februari 1912, pemberontak dari satu bekas kerajaan Timor memasuki ibukota Dili. Mereka menjarah dan membakar pemukiman orang-orang Portugis serta menggorok para tentara. Balasannya, Portugal mengirimkan tentara dari Mozambik dan sebuah kapal perang dari Macau.

Menurut Constancio Pinto dan Matthew Jardine dalam East Timor's Unfinished Struggle: Inside the East Timor Resistance, 3.424 orang Timor terbunuh dan 12.567 orang luka-luka dalam kemelut tersebut. Sementara di pihak Portugis ada 289 orang korban tewas dan 600 korban cedera.

Selama Perang Dunia Kedua, Timor Portugis “dijaga” oleh pasukan Australia dan Belanda. Jepang, lawan mereka, tiba di kawasan itu pada Februari 1942. Situasi itu kembali menyeret rakyat Timor Portugis ke dalam perang. Pada 19 Februari 1942, sebuah pertempuran meletus. Rakyat Timor membantu kubu Sekutu menghadang Jepang.

Akibatnya, sekalipun Sekutu telah mundur dari Timor Portugis, penduduk setempat harus terus berperang melawan Jepang. Sebagian besar kematian warga sipil disebabkan oleh pembalasan Jepang yang berlangsung sampai tahun 1945. Menurut situs pertahanan Australia, ada 40.000 sampai 70.000 orang Timor Portugis terbunuh dalam perang tersebut.

Setelah Perang Dunia, Timor Portugis kembali dikuasai Portugal. Namun, menurut Adam Schwarz dalam A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s, Timor Portugis pada masa itu dipandang pemerintah Portugal hanya sebagai pos perdagangan yang tak penting-penting amat. Investasi di bidang infrastruktur, kesehatan dan pendidikan sangat minim. Peran utama koloni itu hanya sebagai tempat pengasingan orang-orang yang dianggap “bermasalah” oleh pemerintah di Lisbon, termasuk tahanan politik.

Pada tahun 1955, Timor Portugis dinyatakan sebagai “Provinsi Luar Negeri” Republik Portugal. Sementara itu, kawasan Timor Barat bekas jajahan Belanda telah menjadi bagian dari Republik Indonesia yang berdaulat.

Sinar terang muncul bagi rakyat Timor Portugis pada 1974, ketika Portugal dilanda Revolusi Anyelir yang salah satu tuntutannya ialah Portugal harus melepaskan daerah-daerah koloni yang tercatat sebagai provinsi luar negeri.

Rakyat Timor Portugis mulai berhitung soal kemerdekaan. Mereka mendirikan partai-partai politik, antara lain União Democrática Timorense (UDT)—bentukan sejumlah tuan tanah kaya bekas kolaborator Portugal, Frente Revolucionária de Timor-Leste Independente (FRETILIN)—kelompok yang hendak memperjuangkan kemerdekaan Timor Leste, dan Associacão Popular Democratica Timorense (APODETI) yang ingin Timor Leste bergabung dengan Indonesia.

Perselisihan politik tidak terhindarkan dan konflik bersenjata segera menyusul. Mario Lemos Pires, gubernur Timor Portugis, kewalahan. Pada 28 November 1975, FRETILIN mendeklarasikan kemerdekaan Timor Leste dari Portugis.

Kita tahu kelanjutan cerita ini. Tak sampai dua pekan setelah mengumumkan kemerdekaannya, Timor Leste kena gempur Tentara Nasional Indonesia. Dan pada 17 Juli 1976, Indonesia secara resmi—dan tak tahu diri—menyatakan Timor Leste, dengan nama Timor Timur, telah jadi provinsinya yang ke-27.

Dalam preambul Undang-undang Dasar 1945, Indonesia menyatakan: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsadan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan" dan “perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”

Bagaimana dengan hak bangsa Timor Leste untuk merdeka? Bukankah mereka sama berjuang demi kedaulatan dan kemakmuran rakyatnya? Penjajahan Indonesia atas Timor Leste bukan hanya tragedi bagi rakyat Timor Leste, tetapi juga bagi rakyat Indonesia. Ia adalah pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan kita.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Humaniora
Reporter: Tony Firman
Penulis: Tony Firman
Editor: Dea Anugrah