tirto.id - Pada 23 Februari 2005 silam, Majelis Nasional Perancis mengesahkan sebuah undang-undang hukum. Dalam Pasal 4, terdapat ketentuan yakni setiap guru yang mengajar di jenjang sekolah tinggi atau setara SMA diwajibkan mengajarkan nilai-nilai positif dari kolonialisme kepada siswa mereka.
Kontroversi dari Pasal 4 adalah adanya pengakuan dan mengenali khususnya peran positif dari kehadiran Perancis di luar negeri, terutamanya di tanah Afrika Utara—wilayah yang banyak menjadi koloni atau dijajah Perancis. Kewajiban ini seakan mengabaikan atau bahkan mengubur catatan-catatan buruk dan kelam dari praktik kolonialisme Perancis.
Masyarakat di Afrika Utara, terutama Aljazair, Maroko, dan Tunisia, menentang keras kebijakan Perancis yang meloloskan aturan baru dalam mengajarkan kolonialisme di bangku sekolah.
Bagi Aljazair, kebijakan ini seperti membubuhkan cuka pada luka lama mereka lewat peristiwa Pembantaian Aljazair yang dilakukan semasa Perancis berkuasa di tanah mereka. Mei 1945 silam, tentara Perancis menewaskan ribuan orang Aljazair di sekitar kota Setif dalam perayaan untuk menandai kekalahan Nazi Jerman dan sekaligus menyuarakan protes pro-kemerdekaan.
Angka resmi dari Perancis menyebutkan sebanyak 1.020 orang tewas, sedangkan menurut versi Aljazair, angka korban tewas diperkirakan mencapai 45.000 jiwa. Menurut Douglas Porch dalam bukunya berjudul The French Foreign Legion, peristiwa pembunuhan massal di Setif diabaikan dalam sejarah nasional Perancis. Padahal, peristiwa tersebut masih menyisakan trauma bagi penduduk Aljazair bahkan menjalar ke tentara angkatan darat Perancis yang berdarah Aljazair.
Ini sekaligus ironis lantaran tidak berselang lama dari pengesahan Perancis terkait hukum pengajaran kolonialisme, Duta besar Perancis untuk Aljazair kala itu yang dijabat oleh Hubert Colin de Verdière sudah mengungkapkan permohonan maaf atas nama pemerintah Perancis atas tragedi pembantaian di kota Setif silam.
Karena jaraknya yang berdekatan, Aljazair menjadi negara yang sangat menyayangkan kebijakan Perancis itu.
Sementara itu, kawasan Afrika lain seperti Kamerun, Senegal hingga Madagaskar juga mengalami masa-masa represi keras di tahun 1940an oleh Perancis. Di Madagaskar, para tentara Perancis pada 1947 pernah membantai ribuan orang dengan dalih menumpas pemberontakan yang menyuarakan kemerdekaan.
Kala itu, Perancis menurunkan tiga kali lipat pasukan termasuk dari daerah koloni lain di Afrika sekitar 18.000 orang ke pulau Madagaskar guna membendung kaum nasionalis Madagaskar. Taktik teror baik fisik maupun psikologis dilakukan. Kekuatan militer tersebut kemudian melakukan eksekusi mati secara massal, penyiksaan, pemerkosaan, hingga membakar desa-desa.
Dihimpun oleh Philippe Leymarie dalam artikelnya berjudul "Deafening Silence on a Horrifying Repression," laporan dari pemerintah Perancis merilis sebanyak 89.000 orang Madagaskar tewas dalam konflik ini. Menurut Komisaris Tinggi di Madagaskar, jumlahnya bahkan lebih dari itu, mengingat banyak yang melarikan diri ke hutan dan tewas sehingga angka korban jiwa lebih dari 100.000. Pada 1950, pemerintah Perancis malah merevisi jumlah korban tewas dalam konflik langsung sebanyak 11.342 dan sisanya meninggal akibat dampak lanjutan seperti kelaparan dan kelelahan dalam pelarian diri.
Hanya sedikit yang diajarkan di sekolah-sekolah Perancis terkait serentetan peristiwa berdarah tersebut.
Menanggapi kebijakan itu, sejumlah sejarawan Perancis ramai-ramai mengkritik kebijakan pemerintah mereka. "Ada risiko nyata bahwa kita akan berakhir menyembunyikan kejahatan dan rasisme yang melekat dalam kenyataan kolonialisme," kata Claude Liauzu, seorang sejarawan untuk urusan kolonial Perancis di Universitas Paris seperti dikutip BBC.
Benjamin Stora, seorang sejarawan spesialis mengenai Aljazair mengatakan kala itu bahwa lebih dari 40 tahun setelah meninggalkan bekas koloninya, Perancis masih harus menghadapi masalah kejujuran terkait perannya selama di Algeria.
“Perancis tidak pernah mengambil sejarah kolonialnya. Ini menjadi perbedaan besar dengan negara-negara Anglo-Saxon, dimana studi post-kolonial sekarang diajarkan di semua universitas mereka,” tutur Stora.
Beberapa bulan setelah pengesahan tersebut, The Guardian melansir ihwal petisi dari 1.000 sejarawan, penulis dan intelektual yang menuntut pencabutan undang-undang baru tersebut yang telah mewajibkan para guru sejarah di sekolah untuk menekankan aspek positif dari kolonialisme Perancis.
Stanford Encyclopedia of Philosophy 2006 menggunakan istilah kolonialisme untuk menggambarkan proses penyelesaian Eropa serta kontrol politik atas seluruh dunia, termasuk di Amerika, Australia, sebagian Afrika dan juga Asia.
Lebih lanjut, kolonialisme merupakan suatu konsep umum yang mengacu pada proyek dominasi politik Eropa mulai dari abad 16 hingga ke abad 20 yang berakhir dengan gerakan pembebasan nasional yang banyak terjadi.
Selama abad ke 19 hingga 20, kekaisaran kolonial Perancis adalah salah satu yang terbesar di dunia setelah kerajaan Inggris, Kekaisaran Rusia dan Kekaisaran Spanyol. Hampir seluruh benua pernah disinggahi dan dikoloni oleh Perancis, mulai dari Amerika, Afrika, Asia, Oseania bahkan Antartika.
Menurut Alfred William Brian Simpson dalam bukunya berjudul Human Rights and the End of Empire: Britain and the Genesis of the European Convention, kekaisaran kolonial Perancis mulai jatuh selama Perang Dunia Kedua ketika banyak dari daerah jajahan mereka diduduki oleh kekuatan asing.
Narasi dalam produk hukum yang antagonis ini nyatanya memicu serangkaian kritik terutama dari kelompok sayap kiri dan juga negara-negara bekas koloni.
Pada akhirnya, Dewan Konstitusi menetapkan bahwa regulasi buku pelajaran sejarah merupakan hal administrasi, bukan hukum. Dengan demikian, pengesahan undang-undang yang menimbulkan pro dan kontra ini dicabut pada awal tahun 2006.
Penulis: Tony Firman
Editor: Maulida Sri Handayani