Menuju konten utama

Revolusi Guru Muda Indonesia

Guru kini menjadi salah satu profesi yang menarik kaum muda. Bukan semata-mata karena perbaikan kesejahteraan, melainkan ada panggilan hati untuk mengabdi. Semangat baru yang harus terus dipupuk. Dari data temuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2015, demografi guru di Indonesia menunjukkan data yang cukup mengejutkan. Kini, semakin banyak anak muda yang berprofesi jadi guru.

Revolusi Guru Muda Indonesia
Sejumlah guru SDN Pojok Klitih III bergandengan tangan ketika melewati sungai saat berangkat mengajar di Desa Pojok Klitih, Plandaan, Jombang, Jawa Timur. ANTARA FOTO/Syaiful Arif

tirto.id - Pada 2011, Ardi Wilda baru saja lulus dari jurusan Komunikasi di universitas negeri ternama di Yogyakarta. Umurnya baru 23 kala itu. Sebagai lulusan baru dari jurusan dan kampus yang dipandang elit, ada banyak pekerjaan mentereng dengan gaji besar menanti Awe –panggilan akrabnya. Namun, pria kelahiran Jakarta ini lebih memilih menjadi guru dalam program Indonesia Mengajar.

“Saat itu saya putuskan untuk mendaftar di Indonesia Mengajar karena saya merasakan benar pengaruh pendidikan dalam hidup saya. Kalau tidak sekolah, saya tidak akan jadi apa-apa,” katanya. “Saya juga ingin orang lain merasakan hal yang sama.”

Awe adalah satu banyak sekali anak muda yang memutuskan untuk jadi guru. Kini, guru tidak lagi menjadi profesi yang dipandang sebelah mata. Anak-anak muda memandang profesi guru dengan optimistis.

Dari data temuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 2015, demografi guru di Indonesia menunjukkan data yang cukup mengejutkan. Kini, semakin banyak anak muda yang berprofesi jadi guru. Jumlah guru muda sekarang mengalahkan guru yang berusia senior.

Untuk jenjang Sekolah Dasar, hanya 29 persen guru yang berusia di atas 50 tahun. Yang paling banyak adalah guru berusia 35 tahun ke bawah, mencapai 36 persen. Untuk SMA, jumlah guru muda semakin banyak, sekitar 39 persen adalah guru berusia di bawah 35 tahun. Sedangkan guru berusia 50 tahun ke atas hanya berkisar 21 persen. Begitu pula untuk tingkat Sekolah Menengah Kejuruan. Guru muda berusia di bawah 35 tahun jumlahnya mencapai 50 persen. Sedangkan guru berusia 50 tahun ke atas hanya di angka 15 persen.

Indikator lainnya adalah jumlah pendaftar Indonesia Mengajar. Ini adalah program pendidikan yang dicanangkan Anies Baswedan ketika masih menjabat sebagai Rektor Universitas Paramadina, Jakarta. “Di Indonesia Mengajar kita membawa misi melunasi janji kemerdekaan, mencerdaskan kehidupan bangsa. Mencerdaskan saudara sebangsa. In sya Allah kita akan bawa misi itu terus bersama teman-teman yang memiliki kepedulian yang sama,” ujar Anies.

Program ini ditujukan bagi anak-anak muda yang baru lulus kuliah, maksimal dua tahun setelah kelulusan. Syaratnya termasuk ketat. Umur harus di bawah 27 tahun, dan ada indeks prestasi minimal. Setelah lulus seleksi, mereka akan dikirim untuk mengajar Sekolah Dasar di daerah-daerah terpencil di 20 Kabupaten.

Meski syaratnya ketat dan harus tinggal di desa terpencil, program ini ternyata menarik minat banyak anak muda. Angkatan pertama yang dibentuk pada 2010 berisikan 1.383 pendaftar. Setahun kemudian, jumlah pendaftar melonjak menjadi 4.368. Pada 2012, ada 8.501 pendaftar. Hingga 2014, diperkirakan ada 57.454 anak-anak muda yang mendaftar program ini.

Kenapa semakin banyak anak muda tertarik jadi guru? Ada banyak penyebab. Antara lain iming-iming kesejahteraan yang baik. Terutama bagi guru yang bekerja di kota besar dan guru yang sudah lolos sertifikasi. Di Jakarta, misalkan. Provinsi ini memberikan gaji yang amat besar bagi para guru PNS.

"Dalam sebulan mereka bisa membawa gaji sebesar Rp 15 juta sampai Rp 17 juta," ujar Wakil Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Sopan Adrianto.

Beberapa anak muda juga memutuskan jadi guru karena cita-cita. Seperti yang dialami oleh Karina Widya. Ibunya adalah guru. Maka, sejak kecil dia bercita-cita mengikuti jejak ibunya. Selepas lulus dari SMA, Karina memutuskan untuk masuk di jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Malang.

Setelah lulus pada 2010, perempuan yang sekarang berusia 29 tahun ini menjadi guru honorer di sebuah SMK swasta. Gajinya kecil, hanya Rp 300 ribu per bulan. Setelah 6 bulan mengajar dia ikut tes Calon Pegawai Negeri Sipil dan diterima. Dia ditempatkan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Pakusari, Jember. Di tempatnya mengajar, juga banyak guru muda seperti dirinya.

"Di tempat saya ada sekitar 6 orang guru muda. Umurnya kisaran 25 sampai 29 tahunan," katanya.

Menurut Karina, salah satu faktor kenapa profesi guru sekarang banyak dilirik anak muda adalah karena jam kerja yang relatif lebih ringan. “Tidak sampai seharian, paling setengah hari saja,” katanya. Selain itu, beberapa guru muda juga bertahan jadi honorer karena ada harapan menjadi guru PNS, walau itu artinya harus mengabdi cukup lama dengan gaji yang tak banyak.

“Beberapa senior saya yang berusia 35 sampai 40 tahun diangkat jadi PNS setelah jam terbangnya tinggi, sekitar 10 tahunan,” ujar Karina.

Faktor lain kenapa guru kini dilirik sebagai profesi pilihan anak muda juga ada kaitannya dengan idealisme. Profesi mengajar di daerah terpencil membuat para mahasiswa baru lulus yang masih kuat rasa idealismenya, menyambut dengan baik. Pengalaman mengajar di daerah terpencil, selain akan memberikan kesempatan perataan pendidikan, juga akan memberikan pengalaman yang menarik.

“Saya tertarik dengan Indonesia Mengajar karena program ini menawarkan pengalaman berbeda dan penting untuk hidup saya,” kata Awe yang merupakan pengajar Indonesia Mengajar dari angkatan III.

“Misalkan, dulu saya pikir orang desa itu tidak sekolah karena malas, dan lain sebagainya. Tapi ternyata faktornya banyak. Misalkan waktu sekolah tidak sesuai dengan waktu meladang. Jadi saya belajar hati-hati dalam menilai orang,” tutur Awe yang mendapatkan penugasan di Tulang Bawang, Provinsi Lampung.

Banyaknya guru muda adalah kabar baik bagi pendidikan di Indonesia. Sebab kini kurikulum pendidikan di Indonesia, yang sekarang bernama Kurikulum Nasional, dituntut untuk memaksimalkan penggunaan informasi teknologi dan komunikasi.

Para guru muda akan cenderung lebih lancar menggunakan teknologi. Sebab dari riset John Hopkins University, dijelaskan bahwa para generasi X (mereka yang lahir antara 1965 hingga 1980) dan generasi Y (mereka yang lahir setelah 1980) adalah generasi tech savvy, atau fasih dalam menggunakan teknologi terbaru yang hampir seluruhnya terhubung dengan internet.

Rilis Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia pada 2013, disebutkan bahwa mayoritas pengguna internet di Indonesia adalah mereka yang berusia 18-25 tahun. Jumlahnya mencapai 49 persen dari total pengguna internet di Indonesia. Kemudian 33 persen pengguna internet adalah mereka yang berusia 26 hingga 35 tahun. Mereka yang di atas usia 55 tahun hanya 0,2 persen yang menggunakan internet.

Tapi ada anomali. Di Pulau Jawa, para pengajar mudanya justru lebih sedikit. Contohnya saja di DKI Jakarta. Hanya 22 persen guru yang berusia 35 tahun ke bawah. Sedangkan mereka yang berusia 55 tahun ke atas mendominasi dengan jumlah 35 persen. Tren ini berbeda dengan tren nasional. Ini dikarenakan saingan untuk menjadi guru akan lebih berat di kota besar. Semoga saja ini adalah tanda-tanda meratanya persebaran guru.

Memang guru berusia muda tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas. Namun, guru berusia muda masih punya kesempatan panjang untuk meningkatkan kualitas. Semoga banyaknya anak muda yang menjadi guru di daerah menjadi penanda perbaikan pendidikan di Indonesia.

Baca juga artikel terkait GURU atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Aqwam Fiazmi Hanifan
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti