tirto.id - Harga bawang merah di tingkat pedagang eceran semakin tidak terkendali. Sudah hampir sepekan lebih, harga komoditas ini berada di atas Harga Eceran Tertinggi (HET), yakni Rp41.500 per kilogram (kg) dan belum ada solusi konkret dari pemerintah.
Berdasarkan data panel harga Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga rata-rata nasional bawang merah berada di Rp52.120 per kg. Harga tertinggi Rp77.800 per kg di Papua Tengah dan terendah Rp36.280 per kg di Kepulauan Riau.
Alih-alih memberi solusi, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, justru menyebut harga bawang merah mengalami kenaikan akibat banjir di wilayah sentra produksi. Menurutnya, efek dari banjir dan kenaikan harga tersebut akan kembali normal dalam satu minggu.
"Kemarin banjir sebentar, kalau banjir ya sudah, paling seminggu lagi sudah normal," kata Zulkifli saat konferensi pers setelah acara Halal Bihalal di Kementerian Perdagangan, Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Pernyataan Zulkifli diperkuat oleh Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI), Doni Primanto Joewono. Ia mengatakan, kenaikan signifikan harga bawang merah karena beberapa sentra produksi bawang di Brebes hingga Kendal mengalami cuaca buruk dan banjir.
"Memang beberapa sentra produksi bawang merah seperti Brebes, Demak, Kendal, dan lainnya dalam kondisi banjir, sehingga memengaruhi pasokan dan distribusi," kata Doni dalam konferensi pers Pengumuman Hasil RDG April 2024.
Namun, menurut Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santoso, peran banjir terhadap kenaikan harga bawang merah cukup kecil. Kenaikan harga bawang merah, menurutnya justru terjadi karena pola yang musiman.
"Peran banjir kecil banget [terhadap kenaikan harga bawang merah]. Jadi bukan karena itu," ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (30/4/2024).
Andreas menjelaskan, secara pola, harga bawang merah terendah terjadi pada Februari. Pada periode itu, terjadi panen raya sehingga harga di tingkat pedagang eceran mengalami penurunan.
Tapi, setelah panen raya produksi bawang merah otomatis menurun. Akibatnya, kenaikan harga bawang merah tidak bisa dihindarkan. Pola kenaikan, kata dia, akan terjadi pada Mei hingga Juni mendatang.
"Jadi polanya begitu. Lalu setelah itu nanti turun lagi sampai Agustus-September. Dan kemudian naik lagi. Polanya memang seperti itu," ujarnya.
"Jadi bukan karena banjir atau karena apa. Jadi pola musiman seperti itu terkait dengan pola produksi," lanjut Andreas.
Menurutnya, pemerintah belum tentu memahami pola produksi tersebut. Padahal, pola itu terjadi di hampir semua produk pangan.
Ia mencontohkan, harga daging ayam dan telur ayam akan naik terus dan puncaknya mencapai di Juni. Kemudian harga turun terendah nanti terjadi di Oktober. Lalu kembali naik di sekitar Januari dan setelah itu turun lagi.
"Polanya akan seperti itu karena terkait dengan pola produksi. Belum tentu pemerintah paham dengan pola ini. Mereka tidak paham," ungkapnya.
Penyebab Kenaikan Harga Bawang Merah
Pengamat Pertanian dari Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian, melihat akar permasalahan dari kenaikan harga bawang merah adalah persoalan produksi.
Saat ini, sentra produksi bawang merah terbesar berada di Jawa Tengah, sumbangsihnya sampai 28,15 persen terhadap produksi nasional. Namun, saat ini belum memasuki panen raya.
"Panen raya biasanya bulai Mei dan Juni. Periode tanamnya di Maret dan April yang mana kemarin sempat diterjang banjir sehingga mereka harus menanam lagi. Jadi memang stok belum berlimpah sehingga membuat harga naik, karena yang panen baru sebagian kecil saja," katanya kepada Tirto, Selasa (30/4/2024).
Sementara itu terkait kasus petani di Brebes dan Demak, waktu tanamnya baru berusia satu bulan dan terdampak banjir. Jadi, kata Eliza, sedikit mengurangi potensi panennya.
Namun, persoalan kenaikan harga ini, lanjut dia, bukan semata-mata karena dari sisi produksinya. Faktor distribusi juga perlu dipertimbangkan.
Menurutnya, saat ini terdapat 24 provinsi di Indonesia yang defisit bawang merah, dan 20 diantaranya defisitnya lebih dari 50 persen. Sehingga ada biaya logistik yang cukup mahal yang membuat harga bawang di provinsi terdampak menjadi tinggi.
"Logistik kita masih kurang efisien, sehingga mendorong terjadinya disparitas harga yang cukup tinggi. Sementara provinsi yang surplus itu hanya Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Barat, Jaw Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, dan Sulawesi Selatan, sisanya itu defisit," ujarnya.
Lalu Bagaimana Solusinya?
Salah satu solusi untuk mendorong perdagangan antardaerah yang mutlak diperlukan pemerintah adalah infrastruktur untuk mendorong pengiriman barang yang efisien. Sebab, data 10 tahun terakhir pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur, biaya logistik masih tinggi.
"Bahkan skor logistik performance index kita tahun 2023 itu turun. Di sini ada miss match pembangunan dengan kebutuhan," kata Eliza.
Semestinya, kata dia, pemerintah lebih banyak membangun infrastuktur transportasi berbasis rel karena lebih efisien.
"Ini perlu dibangun di luar Jawa, seperti Sumatra dan Sulawesi untuk pengiriman jalur darat," ujarnya.
Di luar itu, Eliza meminta pemerintah mendorong Bapanas dan lembaga di bawahnya, untuk menyimpan stok komoditas tertentu yang harganya kadang-kadang tidak terkendali. Karena sebenarnya menurut dia, 3-5 persen dari total produksi untuk komoditas bersangkutan sudah cukup untuk mengendalikan harga.
"Tapi itu tidak dilakukan sampai sekarang. Stok pemerintah miliki kan hanya beras. Memang di situ disebut jagung dan lain-lain, tapi itu peesentasinya kecil. Beras itu hanya 7-8 persen dari produksi nasional," ungkapnya.
Maka itu, ia menyarankan pemerintah kalau tujuannya ingin mengendalikan harga komoditas tertentu, harus memiliki stok yang memadai. Paling tidak 3-5 persen dari total produksi nasional cukup memadai untuk komoditas bersangkutan.
"Sudah barang tentu untuk setiap komoditas di bawah kewenangan Bapanas mestinya pemerintah memberikan dana memadai untuk menyetok. Sehingga stok pemerintah ketika panen raya dalam jumlah besar, dan melepaskan ketika musim paceklik untuk komoditas bersangkutan," jelas dia.
Gerakan Pangan Murah, Apakah Efektif?
Dalam upaya stabilisasi bawang merah, Bapanas bersama Kementerian Pertanian (Kementan) beserta stakeholder pangan lainnya mulai intervensi melalui Gerakan Pangan Murah (GPM) di wilayah Jakarta. GPM ini dimulai 29 April sampai 8 Mei 2024 sebanyak 63 titik lokasi plus 2 Pasar Mitra Tani Hortikultura (PMTH).
GPM akan menyediakan bawang merah jenis Batu Ijo, Bima Brebes, dan Brebes Super dengan harga yang terjangkau. Bawang merah Batu Ijo dapat dibeli dengan harga Rp25.000 per kg, bawang merah Bima Brebes Rp35.000 per kg, dan bawang merah Brebes Super di Rp40.000 ribu per kg.
Kepala Bapanas, Arief Prasetyo, mengatakan komitmen pemerintah dalam menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan terus dilaksanakan secara kolaboratif. Melalui operasi pasar murah yang masif, diharapkan bisa menekan gejolak harga bawang merah yang belakangan ini menjadi perhatian masyarakat.
“GPM bawang merah ini untuk menggelontorkan stok ke daerah konsumsi tinggi seperti Jakarta. Jadi nanti masyarakat bisa membeli dengan harga lebih terjangkau karena ini langsung dari petani untuk rakyat,” kata Arief.
Dia memproyeksikan, melalui GPM dalam 30 sampai 40 hari mendatang, harga bawang merah sudah stabil kembali.
Namun, alih-alih memberikan solusi, Andreas justru menilai GPM tidak efektif. Sebab, gerakan pangan murah dilakukan pemerintah hanya menjangkau beberapa persen total pasar. Paling tidak nol sekian persen dari komoditas bersangkutan.
"Sehingga tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap pembentukan harga di pasar," ujarnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Irfan Teguh Pribadi