Menuju konten utama

Menanti Kinerja Dewan Aglomerasi Bereskan Masalah Jabodetabekjur

Kinerja Dewan Kawasan aglomerasi akan memberi nilai positif selama tidak ada ribut tumpang tindih dengan pemerintah daerah.

Menanti Kinerja Dewan Aglomerasi Bereskan Masalah Jabodetabekjur
Kepadatan kendaraan di Jalan Raya Margonda, Depok, Jawa Barat, Jumat (1/9/2023). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/rwa.

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) resmi membentuk Kawasan Aglomerasi Jakarta setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 2 tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta. Pembentukan kawaasan aglomerasi tidak lepas dari upaya sinkronisasi pembangunan Jakarta dengan daerah sekitar.

Mengacu pada pasal 51 ayat 2 UU DKJ, Kawasan Aglomerasi Jakarta terdiri atas Daerah Khusus Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi.

Dalam pelaksanaan kawasan aglomerasi, undang-undang mengamanatkan pembentukan Dewan Kawasan Aglomerasi.

Dewan ini bertugas mengoordinasikan pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional pada kawasan aglomerasi dan mengoordinasikan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan di kawasan aglomerasi. Presiden pun diberi wewenang penuh untuk menentukan ketua dan anggota Dewan Kawasan Aglomerasi.

"Ketua dan anggota Dewan Kawasan Aglomerasi ditunjuk oleh presiden," bunyi pasal 55 ayat 3 UU DKJ.

Hal menarik lain adalah pembolehan penyediaan layanan lintas daerah di Kawasan Aglomerasi lewat pembentukan Badan Layanan Bersama. Badan layanan ini adalah badan hukum yang berhak punya kekayaan, mengelola anggaran dan pegawai sendiri. Mereka juga berhak bekerja sama dengan pihak lain.

Selain itu, badan ini bisa dibentuk jika ada keputusan bersama para kepala daerah setelah mendapat persetujuan DPRD. Badan layanan ini terdiri atas kepala badan dan wakil badan serta dewan pengawas yang dibantu pengawas internal.

Penetapan pejabat tersebut diatur berdasarkan keputusan bersama kepala daerah kawasan aglomerasi. Penentuan suara kepala daerah dilakukan berdasarkan proporsi modal dan/atau saham masing-masing daerah.

Dalam keterangan kepada publik, Sekjen Kemendagri, Suhajar Diantoro, mengatakan bahwa pembangunan kawasan aglomerasi adalah upaya membangun sinergi antara Jakarta dengan kawasan sekitar.

Dalam pernyataan Senin (22/4/2024), Suhajar menilai kerja sama antara wilayah Jabodetabekjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Cianjur) menjadi kunci dalam membangun badan layanan bersama yang akan mendukung pertumbuhan ekonomi di bawah payung hukum UU DKJ.

Ia mengatakan, UU DKJ mengamanatkan pembentukan badan layanan bersama dan kawasan aglomerasi untuk menyelaraskan pembangunan dan infrastruktur di seluruh wilayah. Dewan Aglomerasi yang dibentuk untuk mengkoordinasi tata ruang Jakarta dan sekitarnya, serta mensinkronkan perencanaan pembangunan, akan dipimpin oleh ketua yang ditunjuk oleh Presiden.

"Kerja sama antar wilayah ini sangat penting untuk mewujudkan Jakarta sebagai pusat perdagangan global. Kita tidak bisa membangun Jakarta sendirian," tegas dia kala itu.

UU DKJ juga memberikan kewenangan khusus kepada Dewan Aglomerasi dalam mengatur aspek transportasi dan lingkungan. Misalnya, pengembangan transportasi umum seperti MRT terus dikembangkan hingga daerah luar Jakarta untuk mendukung mobilitas warga.

Dengan demikian penyelenggaraan kota-kota sekitar Jakarta, termasuk permukiman dan pengelolaan sampah harus tersinkronisasi dalam kawasan aglomerasi.

Suhajar menekankan, meski ke depan ada Dewan Aglomerasi, namun pemerintah daerah di sekitar Jakarta tetap berada di bawah kewenangan provinsi yang menaunginya saat ini. Dengan infrastruktur dan regulasi yang telah disiapkan, diharapkan Jakarta dapat terus memperkuat perannya sebagai pusat perdagangan global.

Sementara itu, Anggota Baleg DPR RI, Taufik Basari menegaskan UU DKJ bukan sekadar tentang Jakarta. UU ini melingkupi kawasan aglomerasi yang luas, menyatukan kekuatan Botabekjur untuk mencapai tujuan pembangunan bersama.

"Masalah seperti transportasi, pengolahan sampah, dan banjir perlu diselesaikan secara terpadu, tanpa terhalang batas wilayah," kata Taufik.

Ia pun menyampaikan bahwa menyatukan berbagai wilayah dengan sejarah, budaya, dan kehidupan yang berbeda tentu bukan tanpa tantangan. Namun, UU DKJ memberikan kerangka kerja yang tepat untuk mengatasi tantangan tersebut dan membuka peluang baru bagi semua pihak.

Di sisi lain, Pengamat Tata Kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, berharap UU DKJ mampu menghadirkan konsep aglomerasi yang memungkinkan Jakarta dan kota-kota di sekitarnya untuk berkolaborasi dan saling memperkuat ekonomi.

"Di dalam konteks pengembangan jakarta, paling penting bagaimana dengan kota sekitar menjadi satu kesatuan sebagai ekosistem wilayah dan ekonomi," tutur Yayat dalam keterangan.

Tidak kalah penting, ia mengingatkan pentingnya membangun infrastruktur perkotaan yang memadai di seluruh wilayah Jabodetabekpunjur. Terutama terkait hal-hal yang manfaatnya langsung dirasakan oleh masyarakat, seperti dalam hal penyediaan angkutan massal yang terjangkau.

"Kota ini tidak boleh boros konsumsi dan polusi. Oleh karena itu, Dewan Aglomerasi harus memiliki kewenangan eksekusi, bukan hanya koordinasi," tegas dia.

Jumlah penumpang KRL Commuterline Jabodetabek meningkat

Sejumlah penumpang kereta rel listrik (KRL) Commuterline Jabodetabek berjalan keluar dari gerbong usai tiba di Stasiun Jakarta Kota, Jakarta, Jumat (12/4/2024). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/pras.

Bisakah Dewan Kawasan Aglomerasi Atasi Kemacetan & Problem Lain?

Ekonom Celios, Nailul Huda menilai Kawasan Aglomerasi seharusnya menjadi tempat baik untuk koordinasi. Akan tetapi, ia khawatir hal itu terjadi karena daerah aglomerasi berada di jabatan politik seksi. Ia khawatir akan ada persaingan ruang politik baru di dewan aglomerasi.

"Saya melihat aglomerasi yang seharusnya bisa jadi tempat koordinasi yang baik, justru akan tumpang tindih dengan kewenangan pemprov dan pemda. Terlebih 3 pemprov tersebut juga "biasa" diisi oleh orang yang kuat baik secara politik maupun pengaruh ke nasional. Keputusan untuk menunjuk ketua dan dewan aglomerasi akan sangat berkaitan dengan kekuatan politik daerah dan nasional," kata Huda, Senin (29/4/2024).

Huda juga mengingatkan keberadaan aglomerasi juga perlu melihat apakah persetujuan setiap kebijakan perlu melibatkan anggota DPR dan DPRD provinsi aglomerasi atau tidak. Hal ini karena menyangkut pembangunan di kawasan mereka juga.

"Menurut saya bisa menimbulkan masalah baru ketika tidak ada keterlibatan anggota dewan dari masing-masing daerah. Jadi kehadiran dewan harus mempertimbangkan unsur daerah masing-masing provinsi," kata Huda.

Huda mengakui, secara ekonomi memang konsep aglomerasi menguntungkan karena ada konsep biaya maupun kegiatan ekonomi yang saling menunjang daerah satu dengan daerah lainnya.

Ia memberi contoh pada konsep pembangunan transportasi yang integratif sehingga saling menguntungkan. Ia melihat aglomerasi akan memberi nilai positif selama tidak ada ribut tumpang tindih.

Penerapan contraflow menuju jalur Puncak Bogor

Sejumlah kendaraan melintas di tol Jagorawi saat penerapan rekayasa lalu lintas contraflow menuju jalur wisata Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis (11/4/2024). ANTARA FOTO/Arif Firmansyah/nz

Analis kebijakan publik dari IDP-LP, Riko Noviantoro, mengakui bahwa keberadaan Dewan Aglomerasi adalah tuntutan demi membangun penataan wilayah Jabodetabekjur.

"Dewan Aglomerasi menjadi tuntutan untuk mengedepankan penataan wilayah di Jabodetabek - Cianjur secara komprehensif. Meski sejak awal aku kurang setuju karena berpotensi konflik dengan kewenangan kepala daerah di kota penyangga," kata Riko, Senin.

Riko mengaku potensi konflik muncul karena pemerintah sudah memiliki undang-undang pemerintah daerah. Selain itu, ia mengaku sudah ada regulasi yang meminta para kepala daerah di aglomerasi untuk berkomunikasi.

Meski begitu, Riko melihat kewenangan Dewan Aglomerasi yang mengacu pada UU DKJ bisa lebih jelas teknisnya dalam Perpres. Ia mendesak agar perpres tersebut berbanding lurus dengan semangat UU DKJ dan tidak memicu konflik kepentingan.

Lantas apakah bisa menangani masalah kemacetan? Riko justru menilai Dewan Aglomerasi memang turut andil dalam mengurai kemacetan. Ia beralasan penataan kawasan yang baik juga menghitung moda transportasi publik. Oleh karena itu sudah sepatutnya Dewan Aglomerasi bisa mengurai kemacetan.

Dewan Aglomerasi, kata Riko, harus mampu berkomunikasi dengan pemda-pemda terkait penataan kawasan agar konsep penataan kawasan sejalan dengan Dewan Aglomerasi, termasuk dalam pengembangan transportasi terintegrasi antar daerah.

"Misalkan rencana perluasan MRT, LRT atau moda transportasi lain yang memungkinkan," kata Riko.

Selain itu, kehadiran kota atau kawasan tertentu perlu diakselarasi pembangunan perekonomian lokal.

Secara teoritis, jika penataan kawasan itu baik (terkoneksi, komprehensif dan berkelanjutan) maka sangat terbuka lompatan ekonomi dapat terwujud. Oleh karena itu, Dewan Aglomerasi harus mampu mendorong perekonomian di daerah aglomerasi Jakarta.

"Dewan Aglomerasi dan Pemda duduk bersama menemukan keunikan maisng daerah. Memunculkan potensi ekonomi antar daerah yang saling melengkapi bukan saling meniru dan seragam," kata Riko.

Baca juga artikel terkait DAERAH KHUSUS JAKARTA atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Bayu Septianto