tirto.id - Wacana pemerintah ingin memberikan kewarganegaraan ganda bagi diaspora Indonesia perlu dikaji serius. Rencana ini muncul-tenggelam dalam diskursus hubungan internasional dalam negeri dan tak jarang memunculkan polemik. Sudut pandang keuntungan ekonomis bagi negara terkait wacana ini jangan menjadi satu-satunya pertimbangan, terlebih tanpa didahului kajian mendalam.
Rencana kewarganegaraan ganda riuh lagi setelah Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, membicarakan hal ini. Dalam acara Microsoft Build: AI Day di JCC, Selasa (30/4/2024), Luhut mengungkap pemerintah bakal memberikan kewarganegaraan ganda bagi diaspora bertalenta yang ingin berkiprah di dalam negeri. Terutama, kata dia, diaspora Indonesia yang memiliki bakat di sektor digital.
Dosen Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan (UPH), Edwin Martua Bangun Tambunan, menilai tidak ada yang salah dengan wacana kewarganegaraan ganda, hanya saja saat ini tidak mudah untuk mewujudkannya. Menurut dia, Indonesia lewat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan RI tidak mengenal adanya konsep dwi kewarganegaraan.
Hingga saat ini, pengecualian hanya berlaku bagi anak-anak dengan kondisi dan syarat tertentu yang dapat memiliki dwi-kewarganegaraan. Namun, ketika anak itu sudah berusia 18 tahun, mereka tetap harus memilih salah satu negara untuk status kewarganegaraannya.
“[Kewarganegaraan ganda] Hanya untuk anak yang dimaksudkan dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, dan Pasal 5 huruf b [UU Kewarganegaraan]. Saat berusia 18 tahun, Pasal 6 mengatur anak berkewarganegaraan ganda harus menentukan satu kewarganegaraannya,” kata Edwin kepada reporter Tirto, Kamis (2/5/2024).
Edwin memandang, wacana Luhut memberikan kewarganegaraan ganda kepada diaspora Indonesia bertalenta tetap harus melewati kajian ilmiah terlebih dulu. Kajian tersebut harus meliputi data potensi diaspora dan keuntungan ekonomi yang dapat dibawa masuk ke Indonesia dengan aturan kewarganegaraan ganda.
“Perlu juga dikaji potensi risiko dan dampak negatif dari pemberian status kewarganegaraan ganda agar implementasinya dilakukan dengan cermat dan penuh kehati-hatian sehingga terhindar dari kerugian,” jelas Edwin.
Lebih lanjut, sudah barang tentu diperlukan perubahan UU tentang Kewarganegaraan RI agar mampu mengatur status kewarganegaraan ganda di luar anak-anak. Hal ini perlu dilakukan pemerintah lewat pengajuan revisi undang-undang kepada para wakil rakyat di parlemen.
“Termasuk [merevisi] ketentuan siapa saja yang berhak memperolehnya, serta hak dan kewajiban yang didapatkan [diaspora],” tutur Edwin.
Edwin menilai, diaspora bertalenta yang dimaksud Luhut adalah anak-anak berbakat yang tadinya memiliki kewarganegaraan Indonesia dan asing, tetapi kemudian sudah terlanjur memilih status kewarganegaraan asing. Selain itu, bisa pula diaspora yang merupakan WNI namun memilih ganti kewarganegaraan sebab alasan akses, fasilitas, dan kemudahan yang didapatkan di negara lain.
“Untuk mereka ini tentu saja tidak akan cukup hanya menjanjikan sistem kerja yang baik. Perlu status yang jelas sebagai WNI bagi mereka agar dapat berkiprah secara maksimal, tanpa kehilangan kewarganegaraan asingnya,” ucap Edwin.
Dia menambahkan, wacana pemberian kewarganegaraan ganda memang punya potensi menghasilkan keuntungan ekonomis bagi Indonesia. Namun, angka yang didapatkan belum bisa diprediksi karena tidak adanya kajian mendalam terkait hal ini. Apalagi, wacana Luhut masih terfokus pada satu sektor yakni diaspora bertalenta di bidang digital.
“Yang perlu dicermati adalah jangan setelah diwacanakan langsung trabas aturan untuk menerapkannya,” tegas Edwin.
Sebelumnya, Luhut menyatakan pada 2029 nanti, Indonesia bakal punya hampir 3.000 anak muda yang siap bekerja di bidang pengembang perangkat lunak (software developer). Indonesia tidak akan kekurangan sumber daya manusia dalam bidang ini. Termasuk mereka yang menjadi diaspora diundang kembali ke Indonesia lewat pemberian kewarganegaraan ganda sebagai sumber daya manusia yang mampu membangun ekonomi dalam negeri.
“Jadi mungkin mereka sudah jadi warga negara Amerika (Serikat), tapi mereka memenuhi syarat untuk mendapatkan kewarganegaraan negara Indonesia,” kata Luhut.
Pro-Kontra DPR
Anggota DPR RI Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, tidak setuju dengan wacana pemerintah memberikan kewarganegaraan ganda bagi diaspora. Menurut Benny, hingga saat ini Indonesia belum menerapkan hal tersebut sehingga sikapnya masih sejalan dengan regulasi yang ada.
“Tidak ada pengecualian, larangan itu absolut berdasarkan UU Kewarganegaraan. Belum ada perubahan dari segi legislasi terkait dengan sikap negara kita tentang kewarganegaraan ganda ini. Saat ini [saya] tetap menolak,” kata Benny kepada reporter Tirto, Kamis (2/5/2024).
Apabila ingin mengubah aturan yang ada tersebut, kata Benny, maka ada dua pilihan bagi pemerintah. Pertama, lewat perubahan UU Kewarganegaraan yang ada saat ini dengan mengajukan RUU perubahan. Selain itu, bisa diakomodir lewat penerbitan Perpu apabila syarat-syaratnya dapat dipenuhi.
“Atau pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan JR [judicial review] ke MK. Tuntutan kewarganegaraan ganda saat ini diajukan WNI diaspora tentu dengan alasan-alasan tertentu, pemerintah Indonesia harus memilih,” ujar Benny.
Di sisi lain, Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar, Christina Aryani, mendukung gagasan Luhut Binsar Pandjaitan, yang menawarkan kewarganegaraan ganda untuk diaspora Indonesia bertalenta. Pasalnya, kewarganegaraan ganda dinilai mencegah fenomena brain drain.
Christina mengatakan bahwa aspirasi kewarganegaraan ganda sejak lama telah diperjuangkan diaspora Indonesia di luar negeri dan juga komunitas perkawinan campuran. Jalan untuk mewujudkannya, kata dia, melalui revisi UU Kewarganegaraan. Ia juga mengatakan, revisi UU Kewarganegaraan sendiri sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2019-2024.
“Selama ini, Indonesia cukup banyak kehilangan talenta berbakat (mereka yang berkarya di luar negeri sebagai ilmuwan, akademisi, profesional ataupun anak hasil perkawinan campuran) yang kemudian memilih melepaskan kewarganegaraan Indonesianya atas berbagai alasan. Fenomena ini dikenal sebagai brain drain," kata Christina kepada Tirto, Kamis (2/5/2024).
Menurut Christina, insentif yang bisa diterima dari bekerja di luar negeri dan dalam negeri saat ini belumlah seimbang. Menurutnya, ada cukup banyak diaspora yang ingin berbuat sesuatu untuk Indonesia, tapi terpaksa harus memilih melepaskan kewarganegaraan Indonesia karena alasan ekonomi. Kendati demikian, dia tidak menampik diskursus kewarganegaraan ganda memerlukan kajian yang lebih lanjut.
“Walau masih membutuhkan kajian lebih lanjut, kontribusi diaspora dengan kewarganegaraan ganda terhadap pertumbuhan ekonomi (melalui investasi dll) juga berpeluang sebagaimana terjadi di beberapa negara," tutur Christina.
Rencana membuat peraturan soal diaspora sebetulnya mulai mencuat awal tahun ini ketika Presiden Joko Widodo melakukan rapat terbatas bersama beberapa menteri terkait hal tersebut di Istana Kepresidenan, Kamis (7/3/2024). Di antara menteri yang diundang adalah Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi. Kendati demikian, Yasonna membantah bahwa ratas tersebut membahas soal kewarganegaraan ganda bagi diaspora.
Persoalan terkait kewarganegaraan ganda juga sempat membuat ramai pemberitaan. Misalnya dalam perkara Orient Patriot Riwu Kore sebagai calon bupati terpilih Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur saat Pilkada 2020. Orient tak pernah melaporkan ke pemerintah kalau dirinya menerima kewarganegaraan Amerika Serikat pada 2006. Namun dia masih tercatat sebagai WNI di disdukcapil ataupun basis data imigrasi sehingga bisa maju pilkada.
Selain itu, pada 2016 silam, mantan menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Arcandra Tahar, turut tersandung perkara kewarganegaraan ganda Amerika Serikat. Akibatnya, Presiden Joko Widodo memberhentikan Arcandra dengan hormat dari jabatan menteri.
Menurut data Imigrasi Kemenkumham pada 2023, ada 6 juta diaspora Indonesia yang tersebar di sejumlah negara. Adapun di kawasan Asia Tenggara, Filipina merupakan negara yang sudah mengizinkan penduduknya memiliki kewarganegaraan ganda.
Persiapan Bukan Cuma RUU
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyampaikan bahwa diaspora yang berganti kewarganegaraan, salah satunya diakibatkan lebih lengkapnya fasilitas yang ditawarkan oleh negara baru mereka. Misalnya, kata dia, untuk penelitian bagi akademisi, sejumlah negara memiliki dana riset yang relatif lebih besar dan mempunyai kapasitas untuk melakukan penelitian dalam skala besar.
Menurut Yusuf, maka rencana kewarganegaraan ganda bagi diaspora bertalenta harus diiringi dengan pembenahan birokrasi di Indonesia, terutama di sektor pekerjaan. Jangan sampai, merencanakan aturan baru soal diaspora namun belum mempersiapkan kapasitas dan fasilitas yang mumpuni bagi mereka.
“Menurut mereka itu tidak fleksibel dilakukan di Indonesia. Sehingga betul bahwa dengan dibukanya peluang kewarganegaraan ganda ini pembenahan pun juga harus dilakukan. Artinya kita berharap mereka yang sudah berkarir atau mempunyai kondisi tertentu di luar negeri bisa memberikan efek luberan positif,” jelas Yusuf kepada reporter Tirto.
Contohnya, seorang peneliti yang sudah bekerja lama di luar negeri dan bakal memiliki kewarganegaraan ganda, maka dapat mengajarkan pengalaman penelitiannya ke anak bangsa. Namun, Yusuf menilai, hal tersebut mesti juga diakomodasi Indonesia melalui berbagai pendukung dari kegiatan atau aktivitas penelitian tersebut, mulai dari infrastruktur fisik dan pendanaan.
“Menurut saya perlu [juga] diperhatikan [aspek] implikasi hukum. Karena memiliki kewarganegaraan ganda, ketika misalnya individu yang dimaksud terjerat kondisi hukum tertentu, maka tentu treatment hukum yang diberikan tidak sesederhana dengan kewarganegaraan tunggal,” kata Yusuf.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz