Menuju konten utama

Ganasnya Corona Indonesia: Tingginya Indeks Kematian Nakes

Parahnya Corona di Indonesia terlihat dari angka kematian tenaga kesehatan.

Ganasnya Corona Indonesia: Tingginya Indeks Kematian Nakes
Sejumlah perawat beristirahat dengan mengenakan alat pelindung diri di Instalasi Gawat Darurat khusus penanganan COVID-19 di RSUD Arifin Achmad, Kota Pekanbaru, Riau, Jumat (5/6/2020). ANTARA FOTO/FB Anggoro/pras.

tirto.id - Muchrid Coki Nasution, eks anggota DPRD Sumatera Utara dan istrinya, divonis positif COVID-19 berdasarkan tes swab. Orang pertama yang dihubungi adalah dr. Andhika Kesuma Putra, salah satu dokter muda spesialis paru-paru di Medan. Mereka menghubungi Andhika karena ia adalah dokter cemerlang.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Medan dr. Wijaya Juwarna menyatakan Andhika adalah “generasi emasnya dokter spesialis paru-paru di Sumatera Utara.”

Andhika sudah mengabdi sejak masih berkuliah. Ia juga didapuk menjadi dokter konsultan di usia muda. Pada usia yang baru 36 tahun ia telah turun tangan merawat pasien COVID-19 di RS Columbia Asia Medan dan sempat bergabung dengan gugus tugas dan bekerja di RS GL Tobing.

Saat itu, Andhika tidak merespons panggilan Muchrid karena masih bertugas dengan alat perlindungan diri lengkap. Andhika kemudian merespons lewat Whatsapp dan memberikan catatan obat untuk dikonsumsi selama isolasi mandiri.

“Tanggal 7 Juli aku kembali WA dokter dengan mengirimkan hasil MRI Torax-ku, dan engkau memberi arahan dan semangat pada diriku,” kata Muhcrid di Facebook.

Sekitar pertengahan Juli 2020, giliran Andhika yang dirawat. Ia dinyatakan positif COVID-19, begitu pun Istri dan anaknya. Muchrid yang masih isolasi mandiri mengirim pesan ke Andhika dan mereka saling memberi semangat.

Pada 27 Juli, Muchrid kembali menanyakan kabar Andhika melalui Whatsapp. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Andhika tidak menjawab. Tiga hari berselang, 1 Agustus, sang generasi emas dokter paru-paru berpulang ke pelukan Tuhan.

“Engkau pendekar sejati COVID-19. Niat syahidmu telah kau buktikan, saya yakin engkau husnulkhatimah,” kata Muchrid.

Terburuk

IDI mencatat sudah ada 74 dokter yang meninggal dunia akibat COVID-19. Andhika adalah dokter ke-72. Setelah Andhika, terdapat dr. Edi Suwasono (IDI Malang) dan dr. Ahmad Rasyidi Siregar (IDI Medan) yang berpulang.

Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) mencatat ada 55 perawat yang meninggal dunia akibat COVID-19. Terdapat pula delapan orang dokter gigi, 15 bidan, satu orang tenaga kesehatan masyarakat, satu orang asisten apoteker, dan satu orang ahli teknologi laboratorium medik meninggal dunia akibat pagebluk. Total, 155 tenaga kesehatan meninggal dunia.

Angka itu memang relatif kecil jika dibandingkan dengan negara lain. Namun akan terlihat kontras jika dipersentasekan dengan jumlah total kematian.

Per 13 Juli, Inggris Raya mencatat 540 kematian tenaga kesehatan. Sementara korban meninggal mencapai 44.830. Artinya kematian di kalangan tenaga kesehatan sebesar 1,2 persen. Sementara di sini, tercatat 5.388 orang meninggal dunia. Persentase kematian tenaga kesehatan--155--mencapai 2,8 persen.

“Kalau dilihat dari persentase, kita masuk kategori tinggi, berada di bawah Rusia tapi jauh lebih tinggi dari UK, USA, Brasil,” kata Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Dedi Supratman.

Dedi menggambarkan betapa gentingnya situasi dini dengan memperhitungkan rendahnya rasio dokter terhadap total populasi di Indonesia, yaitu hanya 0,4 per 1000 penduduk (empat dokter untuk melayani 10 ribu orang). Dengan demikian, 74 dokter yang meninggal berdampak terhadap 185 ribu masyarakat.

“Di tengah rasio dokter sedikit, ini kalau semakin banyak yang positif apalagi meninggal dunia dampaknya sangat besar bagi masyarakat,” kata Dedi.

Hitungan ini belum mempertimbangkan persebaran dokter yang relatif terpusat di Jawa.

Atas dasar itu pada 21 Juli lalu Koalisi Masyarakat Profesi dan Asosiasi Kesehatan (Kompak), terdiri dari 14 organisasi kesehatan, mengirim surat ke Presiden RI Joko Widodo memohon audiensi.

“Kami harapkan bisa duduk satu meja, enggak usah mejalah, online juga boleh, untuk mengevaluasi tingginya angka kematian. Ini enggak boleh dibiarkan,” kata Dedi, yang di Kompak ditunjuk sebagai sekretaris jenderal.

Strategi serupa pernah ditempuh pada 9 Juni 2020. Ketika itu Kompak telah menyurati Kantor Staf Kepresidenan (KSP) dengan permohonan serupa, tetapi hanya berakhir dengan disposisi ke disposisi.

Permohonan yang terakhir pun belum ditanggapi. Dan Dedi kecewa betul. “Ini kenapa? Ini lagi COVID, pasukan tempurnya adalah tenaga kesehatan, kenapa tidak ada waktu untuk bertemu dengan teman-teman asosiasi profesi dan asosiasi kesehatan?” kata Dedi.

Ketua PPNI Harif Fadhilah pun mengaku pihaknya sudah berkali-kali membicarakan keselamatan tenaga kesehatan, baik ke DPR bahkan Kementerian Kesehatan.

Ia mengatakan meski telah pasti 55 orang perawat meninggal dunia setelah terjangkit COVID-19, sampai saat ini tak diketahui bagaimana awalnya mereka terpapar. Butuh rekam medis dan penyelidikan epidemiologis untuk mengungkap hal ini. PPNI tak bisa lakukan itu, pemerintahlah yang mampu.

Namun hingga kini belum ada perkembangan berarti.

Kini yang bisa dilakukan adalah membuat analisis berdasarkan informasi yang diketahui. Menurut Harif, kebanyakan dari perawat yang meninggal justru tidak secara khusus bertugas di rumah sakit rujukan: 12 perawat bertugas di puskesmas, 18 orang di rumah sakit swasta, dan 20 orang di rumah sakit negeri. Kematian perawat yang bertugas di rumah sakit rujukan dan menangani COVID-19 relatif kecil, hanya 3 orang.

Dugaan pertama, banyaknya orang terkonfirmasi tanpa gejala dan datang ke rumah sakit non rujukan. Harif mencontohkan kasus terinfeksinya puluhan tenaga kesehatan di RS Kariadi Semarang beberapa waktu lalu. Hal ini tentu bisa diatasi jika alat pelindung diri tersebar merata ke seluruh layanan kesehatan, baik rumah sakit pemerintah, swasta, maupun puskesmas. Masalahnya, memasuki bulan keenam pandemi, keberadaan APD masih kerap langka. Hotline PPNI masih kerap mendapat aduan soal ini, khususnya dari rumah sakit swasta atau puskesmas.

Hal ini diperparah dengan asumsi kedua, yakni minimnya pelatihan pencegahan infeksi bagi tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Ini membuat mereka tetap rentan. Meski sudah melengkapi diri dengan APD, belum tentu mereka paham betul prosedur penggunaannya.

“Asumsi-asumsi penyebab itu yang kita suarakan. Yang harusnya meneliti itu pemerintah karena mereka yang punya akses,” pungkasnya.

Baca juga artikel terkait TENAGA KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino