tirto.id - Sebanyak 25 peserta didik Program Pendidikan Dokter Spesialis Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta (PPDS FK UNS) dinyatakan positif COVID-19, Minggu (12/7/2020). Beberapa di antaranya terjun langsung dalam penanganan pandemi di RSUD Dr. Moewardi. Kini mereka tengah menjalani karantina.
Selain UNS, 24 peserta PPDS di Semarang pun positif Corona. Lalu, berdasarkan data yang diterima Tirto, di RSUD dr. Soetomo, rumah sakit rujukan di Jawa Timur sekaligus tempat magang atau residensi mahasiswa FK Universitas Airlangga (Unair), 64 dari 1.800 residen terpapar COVID-19. Miftah Fawzy Sarengat (34) dan Putri Wulan Sukmawati (33), dua dokter PPDS di rumah sakit itu, meninggal dunia.
Provinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah termasuk lima besar penambahan COVID-19 terbanyak per 12 Juli. Sebaran tertinggi ada di Jatim dengan 518 kasus baru, DKI Jakarta (404), Sulawesi Selatan (173), Kalimantan Selatan (77), dan terakhir Jateng (70). Dari 75.699 orang yang positif terpapar Corona, 3.606 di antaranya meninggal. Para dokter residen termasuk dalam angka-angka ini.
Seorang dokter magang RSUD dr. Soetomo yang meminta namanya tak ditulis bersedia bercerita kepada reporter Tirto. Ia bagian dari PPDS positif COVID-19. Statusnya setara dengan dokter relawan yang direkrut pemerintah untuk menangani pasien Corona di RS Darurat Wisma Atlet, Jakarta.
Ia mengatakan selalu menangani pasien Corona melebihi batas waktu. Ketika bertugas di instalasi gawat darurat, ia bisa mengenakan baju hazmat dan alat pelindung diri (APD) selama 12-24 jam. Setelahnya biasanya ada kompensasi libur.
Ia juga berkewajiban memeriksa pasien non-Corona dan semua tugas itu tanpa ada insentif dan gaji. Ia juga mengaku belum diproteksi asuransi.
Permintaannya sederhana: jam kerja manusiawi, APD yang cukup, insentif, keringanan biaya kuliah, dan masa cuti.
FK Unair baru merespons permintaan itu setelah terjadi penularan. Salah satu bentuk insentif itu adalah peserta PPDS yang terpapar COVID-19 diberikan keringanan bayar uang kuliah tunggal (UKT) 50 persen. Kampus juga memberikan kelonggaran cuti selama pandemi, terutama PPDS yang memiliki penyakit komorbid.
Sistem Pendidikan Dokter Perlu Dievaluasi?
Ketua Prodi Magister Hukum Kesehatan Universitas Katolik Soegijapranata Yustina Endang Wahyati berpendapat kasus ini tidak membuat sistem pendidikan kedokteran harus diubah. Yang perlu dilakukan adalah melengkapi kurikulumnya.
“Ini persoalan bagaimana para mahasiswa PPDS diatur hak dan kewajibannya. Lembaga pendidikan harus menyiapkan itu sejak awal,” ucap Endang, Minggu (12/7/2020).
Mahasiswa kedokteran yang bekerja di rumah sakit harus diperjelas soal hak dan kewajiban melalui kesepakatan, tidak hanya berbekal surat tugas. “Di lapangan harusnya ada ketentuan tegas soal mengatur hak dan kewajiban residen.”
Masalahnya memang rumah sakit kemampuan finansialnya tidak sama. Jika ada rumah sakit yang tak sanggup memberikan insentif layak, maka pihak kampus bisa saja turun tangan memenuhi hak residen sebagai upaya jangka pendek.
Kampus juga dapa bergerak dulu sendirian meski tidak ada peraturan pemerintah yang melandasinya.
Dalam Pasal 9 ayat (1) UU 4/1984 tentang Wabah Penyakit Menular. Di sana disebutkan: “Kepada para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya.”
Endang bilang peraturan ini perlu diturunkan dalam peraturan yang lebih operasional sebab kasus seperti ini memang sangat situasional.
“Kalau menunggu peraturan menteri, misalnya, terlalu lama. Untuk jangka pendek, kampus bisa memperjuangkan hak-hak para residen untuk memberikan perlindungan hak,” kata Endang.
Sementara Ketua Divisi Pendidikan Konsil Kedokteran Indonesia Sukman Tulus Putra mengatakan yang harus dievaluasi ada sistem perlindungan bagi para dokter residen alias dokter yang sedang menjalani pendidikan untuk menjadi seorang spesialis.
“Harus ditelusuri betul apa yang salah. Misalnya perlindungan, jam kerja yang terlalu lama sehingga tidak cukup istirahat,” kata dia ketika dihubungi reporter Tirto, Minggu (12/7/2020).
Sukman mempertanyakan apakah para dokter residen ini mendapatkan hak yang sama dengan para tenaga kesehatan lain seperti APD yang terstandardisasi. Pertanyaan ini penting karena mereka sama-sama berada di lokasi berisiko tinggi.
Ia mengatakan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) semestinya bisa melindungi para residen karena mereka bekerja di rumah sakit sekaligus juga terdaftar sebagai peserta pendidikan di universitas.
Tanggapan Asosiasi Dokter
Sekjen PB Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) Eka Ginanjar menegaskan “pelaksanaan pendidikan PPDS ini sangat tergantung lokasinya, termasuk keterlibatannya dalam penanganan COVID-19. Aceh akan berbeda dengan Semarang, begitu pula Palembang atau Makassar.”
“Jaminan kesehatan, honor, hak cuti, cara kerja sangat tergantung pusatnya,” ucap dia ketika dihubungi reporter Tirto, Minggu (12/7/2020). “SOP-nya termasuk jaminan kerja, asuransi, semua secara global diatur dalam UU Pendidikan Dokter.”
Sementara Kompetensi dan kurikulum dijaga oleh Kolegium Ilmu Penyakit Dalam, termasuk ujian untuk standar kelulusan agar mereka memiliki kompetensi setara.
Eka lantas menegaskan PPDS Penyakit Dalam belum menjadi anggota PAPDI, tapi masih tanggung jawab pelaksana pendidikan. Namun ia menegaskan bukan berarti PAPDI lepas tangan, sebab para PPDS ini akan menjadi sejawat, sebagai internist. Bisa dikatakan para residen ini menjadi anggota muda PAPDI.
“Koordinasi antar cabang PAPDI terutama di tempat yang menjadi pusat pendidikan terus dilakukan. Kebutuhan-kebutuhan tambahan untuk perlindungan PPDS terus diupayakan seperti hazmat, masker N95 dan lainnya,” katanya menegaskan.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Maya Saputri