tirto.id - Belum ada tanda-tanda penurunan kasus harian COVID-19 di Indonesia sejak virus ini pertama kali dilaporkan masuk tujuh bulan lalu. Penambahan kasus harian per 2 Oktober 2020 mencapai 4.317.
Kasus kumulatif yang mencapai 295.499 menjadikan Indonesia berada di urutan ke-23 kasus positif terbanyak, dengan total kematian 10.972, berdasarkan worldsometer.info.
Selisih Indonesia dengan Jerman, salah satu negara maju, yang memiliki kasus kumulatif 296.615 dan kematian 9.588, memang hanya sekitar 1.000. Masalahnya, jumlah tes keduanya sangat timpang. Indonesia baru mengadakan tes PCR kepada 3.365.490 orang atau hanya 12 ribu per 1 juta penduduk. Sementara Jerman 16.999.253 orang atau 202.729 tes per 1 juta penduduk.
Rendahnya angka tes Indonesia bahkan disorot Badan Kesehatan Dunia (WHO). Mereka meminta agar Indonesia meningkatkan kapasitas laboratorium agar seluruh kasus suspek segera diuji. Pada laporan per 30 September 2020 (PDF), jumlah yang dites sebanyak 45.496 spesimen dan 30.940 orang. Di sisi lain, jumlah kasus suspek COVID-19 pada saat itu mencapai 132.693.
Data tersebut juga menyebutkan periode 21-27 September merupakan pekan dengan jumlah penambahan kasus tertinggi sejak awal pandemi, yakni 30.537 kasus baru; rata-rata 4.362 kasus baru per hari.
Pulau Jawa masih memegang rekor jumlah kasus tertinggi. Sebanyak 59,4 persen dari total kasus nasional berasal dari sana. DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat menjadi empat provinsi dengan kasus aktif tertinggi. Sementara Sulawesi Selatan menjadi satu-satunya provinsi di luar Jawa yang masuk lima besar provinsi dengan kasus aktif terbanyak.
Tingkat kematian DKI, 163 kematian per 1 juta penduduk, merupakan yang tertinggi secara nasional, diikuti dengan Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Sulawesi Utara, dan Bali. Di antara enam besar, Sulawesi Utara dan Kalimantan Selatan paling mengkhawatirkan karena kasus aktif di daerah tersebut sebetulnya tergolong rendah. Sulawesi Utara di urutan 16, sementara Kalimantan Selatan 6.
Lalu, tak ada satu pun provinsi di Jawa yang mengalami penurunan setidaknya 50 persen dalam tiga pekan sejak puncak kurva terakhir. Jawa Timur dan Yogyakarta mengalami penurunan kasus kurang dari 50 persen sejak puncak kurva terakhir pada 14-20 September.
Sementara Jawa Barat mengalami peningkatan kasus yang signifikan selama 21-27 September dibanding pekan sebelumnya. Periode 14-20 September penambahan kasus mencapai 2.434. Kemudian melonjak tajam pada pekan berikutnya, periode 21-27 September, dengan 4.132 kasus.
Sebagai catatan, 14 September itu pembatasan sosial berskala besar (PSBB) DKI Jakarta setelah PSBB transisi diperpanjang kembali. Dalam PSBB kali ini, tidak ada larangan keluar-masuk dari dan ke DKI Jakarta seperti sebelumnya.
Idealnya, catatan kasus positif menjadi representasi sesungguhnya di lapangan jika pengawasan dilakukan dengan komprehensif dan pengujian mencapai skala 1 tiap 1.000 penduduk per pekan. Masalahnya hanya sedikit daerah yang sudah memenuhi angka deteksi kasus minimum ini. Beberapa yang sudah mencapainya adalah DKI Jakarta, Sumatera Barat, dan Papua Barat dalam tiga minggu terakhir, serta Yogyakarta dalam dua minggu terakhir.
Kendati Papua Barat memenuhi standar tes, namun positivity rate-nya sangat tinggi. Pada periode 14-20 September, positivity rate daerah itu lebih dari 40 persen, jauh dari ambang batas aman positivity rate yang ditetapkan WHO di bawah 5 persen. Sementara Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah positivity rate-nya rerata 15-25 persen.
Tracing Belum Mumpuni
WHO juga menyoroti angka kematian COVID-19 dan kematian dengan sebab lain dengan protap COVID-19.
Angka kematian sebab lain dengan protap COVID-19 di DKI Jakarta cukup tinggi dibandingkan daerah lain. Pada 7-13 September, angka kematian sebanyak 121, sementara kematian sebab lain dengan protap COVID-19 mencapai 311 jenazah.
Jumlah kematian sebab lain dengan protap COVID-19 itu terus meningkat pada pekan-pekan setelahnya, yakni 327 jenazah pada periode 14-20 September dan 339 jenazah pada periode 21-27 September.
Okupansi rumah sakit yang merawat pasien COVID-19 pada Juni di DKI cukup stagnan. Pada awal Juli jumlahnya menurun dan perlahan melonjak kembali 8 Juli hingga mencapai puncak pada medio September. Jumlah ini mulai menurun lagi sejak saat itu, bersamaan dengan PSBB, hingga sekarang.
Pada 10-11 September, WHO bersama Subdirektorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung melakukan survei terhadap petugas pengawasan daerah untuk mengevaluasi pelacakan kontak erat. Dari 259 responden, 65 persen menyatakan 80 persen kasus positif didapat dari pelacakan kontak erat.
WHO menemukan sebanyak 86 persen masih menggunakan cara manual (kertas dan pulpen), 9 persen lainnya menggunakan aplikasi buatan lokal, lima persen sisanya tidak mendokumentasikan prosedur pelacakan. WHO lantas mengimbau agar Indonesia mengembangkan sistem berbasis elektronik secara nasional demi meningkatkan pelacakan kontak erat di seluruh daerah.
Masih dalam laporan yang sama, Organisasi Pengembangan Industri PBB (UNIDO) juga menyoroti aktivitas UMKM di Indonesia yang terdampak pandemi. Hasilnya, pada September, hampir 60 persen UMKM melaporkan setidaknya 50 persen karyawan mereka tidak dapat pergi ke tempat kerja. Dampaknya, terjadi penurunan operasional yang cukup parah terutama pada perusahaan teknologi.
Lalu sekitar 82 persen melaporkan penurunan pesanan seiring menurunnya permintaan pasar. Dan 81 persennya kehilangan lebih dari 50 persen pendapatannya pada tahun 2020 jika dibandingkan dengan 2019.
Dari keseluruhan UMKM yang disurvei, 40 persennya sudah mendapat bantuan pemerintah. Sementara 82 persen perusahaan mikro dan 72 persen pengolahan makanan meminta agar ada kebijakan yang membebaskan mereka dari kewajiban membayar sewa dan utilitas (listrik & air).
Editor: Gilang Ramadhan