tirto.id - "Kisah ini dimulai sekitar dua miliar tahun lalu, yakni ketika dunia--mungkin tak bisa dianggap lebih muda--jauh lebih mudah dipengaruhi," tutur Elizabeth Kolbert, peraih Pulitzer Prize untuk buku The Sixth Extinction dalam artikel berjudul "Creating a Better Leaf" (The New Yorker, 13 Desember 2021).
Karena berputar lebih cepat hingga membuat matahari terbit setiap duapuluh satu jam dan mendorong terbentuknya benua paling awal, sebagian besar bumi dibanjiri lautan. Dan lautan tersebut dibanjiri makhluk hidup mungil bernama mikroba, yang tak ditemukan di planet lain.
Beberapa mikroba, terutama kelompok Sianobakteri, mulai berevolusi dengan cara "mengisap" sinar matahari untuk diubah menjadi gula. Lalu limbah yang dihasilkan mengeluarkan oksigen.
Karena jumlah Sianobakteri begitu banyak, maka oksigen membanjiri lautan dan akhirnya membanjiri atmosfer. Hal ini membuat kelompok mikroba yang tak dapat hidup berdekatan dengan oksigen mundur ke sudut tergelap lautan atau memilih mati.
Namun organisme yang tak dapat hidup berdekatan dengan oksigen pun berevolusi. Mereka tidak ikut-ikutan mengonsumsi sinar matahari, tetapi dalam rupa yang telah berubah menjadi semacam proto-alga. Mereka akhirnya hidup dengan cara melahap Sianobakteri.
Laku hidup organisme ini mendorong kemunculan varian baru kehidupan. Varian yang lebih berwarna dan beragam. Ketika bumi berputar lebih lambat dan benua-benua baru mulai bermunculan, sejumlah makhluk hidup darat pun muncul. Dalam wujud tumbuhan dan hewan, makhluk hidup darat ini lebih kompleks. Dan miliaran tahun kemudian, lahirlah manusia.
Segala kehidupan di bumi, sebagaimana dituturkan Stephen Long, profesor biologi pada University of Illinois Urbana-Champaign sekaligus Direktur Realizing Increased Photosynthetic Efficiency (RIPE), "langsung atau tidak, lahir dari proses fotosintesis."
Proses ini dilakukan oleh organ tanaman bernama kloroplas--keturunan langsung Sianobakteri. Ketika foton dari sinar matahari diserap, kloroplas memulai reaksi bernama kaskade untuk mengubah sinar mentari menjadi energi kimia yang dimediasi oleh protein dalam tanaman.
Lalu setelah energi kimia terbentuk, tanaman mengubahnya menjadi karbohidrat yang juga memerlukan zat mediasi lain bernama protein. Untuk mengubah 100 persen cahaya matahari yang diterima menjadi sekitar 10 persen energi bagi tanaman, diperlukan tak kurang dari seratus lima puluh tahapan.
Proses multitahap ini tak berubah sedikit pun sejak zaman Sianobakteri hadir di bumi hingga sekarang. Maka, menurut Stephen Long, "seandainya manusia dapat mencari tahu cara untuk menyederhanakan kerja fotosintesis, maka mereka dapat meningkatkan hasil panen."
Upaya Menghidupi 10 Miliar Manusia
Mencari cara untuk meningkatkan panen memang kian mendesak. Dalam buku berjudul Famine 1975! (1967), William dan Paul Paddock pernah mengutarakan, "atas terjadinya ledakan populasi penduduk, umat manusia berada di ambang kelaparan."
Secara umum, merujuk studi berjudul "Breeding Crops to Feed 10 Billion" (Nature Biotechnology, Vol. 37 Juli 2019) yang ditulis Lee T. Hickey, setelah menyadari bahwa fotosintesis merupakan pondasi kehidupan, para peneliti berusaha mengotak-atik kerja tetumbuhan dalam memperoleh energi dari proses fotosintesis.
Sebagai contoh, bekerja sama dengan NASA pada pertengahan 1980-an, Utah State University melakukan uji coba menggenjot panen dengan cara menyinari gandum. Dilakukan tanpa jeda dengan memanfaatkan LED, hal ini mendorong pertanian tak hanya dilakukan di hamparan sawah atau ladang, tetapi juga di ruang-ruang tertutup.
Terinspirasi oleh kerja sama tersebut, pada 2003 peneliti University of Queensland mencoba menyempurnakannya. Ia merilis teknik bercocok tanam baru yang disebut speed breeding atau pemuliaan cepat, dengan lebih mengintensifkan cahaya yang diberikan pada tanaman disertai dengan kontrol suhu yang ketat.
Meski dua usaha ini terbukti membuat kerja fotosintesis meningkat dan membuat panen lebih sering, hasil panennya lebih buruk, sebagaimana dipaparkan Deepak K. Ray dalam "Recent Patterns of Crop Yield Growth and Stagnation" (Nature Communication, Desember 2012).
Secara spesifik, dari 9,8 juta hektar sawah/ladang yang ada di Indonesia, 81 persen mengalami stagnasi panen. Bahkan di Maroko dan sebagian kecil India, sawah/ladang tak pernah sekalipun mengalami peningkatan panen.
Padahal pada tahun 2050, untuk menghidupi sekitar 10 miliar manusia, diperlukan sawah/ladang yang meningkat tak kurang dari dua kali lipat secara jumlah. Dan diperkirakan situasi buruk ini tak akan mengalami perbaikan yang signifikan.
Merujuk studi berjudul "Solution for a Cultivated Planet" (Nature, Vol. 478 2011) yang ditulis Jonathan A. Foley, hal terjadi karena 70 persen padang rumput, 50 persen sabana, 45 persen hutan di wilayah iklim sedang, serta 27 persen hutan hujan tropis telah diubah manusia menjadi sawah atau ladang pertanian.
Manusia setidaknya perlu mengubah seluruh area hutan hujan tropis yang tersedia menjadi sawah/ladang. Dan ini sangat sulit dilakukan karena hutan hujan adalah pondasi utama bumi dalam membersihkan dirinya dari keracunan karbon dioksida, termasuk menjadi sumber keanekaragaman hayati.
Selain itu, membuka area sawah/ladang baru dalam kuantitas dua kali lipat akan memunculkan masalah baru, yakni berkurangnya pasokan air tawar untuk dikonsumsi manusia. Dalam area pertanian yang ada saat ini, tak kurang dari 70 persen air tawar mengalir bagi kebutuhan irigasi.
Sorgum sebagai Solusi?
Dirundung situasi sulit untuk memenuhi kebutuhan perut 10 miliar penduduk bumi, secara tak terduga manusia memiliki pilihan lain. Sebagaimana dimuat dalam kolom editorial tim Journal of Molecular Plant berjudul "Sustainable Agriculture" (Mei 2019), pilihan itu adalah beralih dengan mengonsumsi sorgum.
Mulai dibudidayakan sekitar 1.000 tahun sebelum kelahiran Yesus di sekitar Sungai Nil atau Ethiopia, dan diperkirakan menjadi sumber energi manusia zaman itu untuk menjauh dari Afrika sub-Sahara, sorgum merupakan sereal atau bulir biji-bijian ajaib.
Tanaman ini mampu bertahan hidup dalam kondisi ekstrem. Ia tahan diterpa kekeringan dan tahan pula dilanda banjir terus-menerus.
Menurut J. R. N. Taylor dalam "Overview: Importance of Sorghum in Africa" (Taylor, 2003), hal ini mungkin disebabkan salah satunya oleh penetrasi akar sorgum yang sangat dalam hingga dapat menghemat kelembapan.
Selain itu, karena terdapat varian gen fotosintesis lain yang dapat "terus-menerus hijau dan terus-menerus berfotosintensis" kala lingkungannya berubah-ubah.
Artinya, sorgum dapat diupayakan sebagai pengganti padi--yang membutuhkan intensitas air tawar dalam kuantitas besar. Juga pengganti jagung dan gandum--yang tak tahan terlalu lama dengan intensitas air besar alias hanya baik ditanam di lingkungan kering.
Namun, menjadikan sorgum sebagai solusi untuk membuat manusia tetap kenyang memiliki masalah tersendiri. Pasalnya, meskipun memiliki sejarah menjadi tanaman nomor satu umat manusia, sorgum saat ini hanya banyak ditanam di kawasan Afrika.
Secara keseluruhan Afrika menyumbang sepertiga panen sorgum dunia per tahun, dengan jumlah sekitar 20 juta ton. Dan dari jumlah tersebut, Nigeria, Sudan, Ethiopia, Burkina Faso, serta Mesir menjadi penyumbang terbesar.
Maka untuk membuat sorgum tersedia di semua tempat di bumi, perlu upaya besar-besaran menanam sorgum di negara-negara non-Afrika.
Dan upaya ini mesti dibarengi dengan penyelesaian masalah klasik pertanian, yakni soal panen yang stagnan. Sama halnya seperti padi, jagung, dan gandum, ladang-ladang sorgum pun mengalami stagnasi, rata-rata hanya menghasilkan 1 ton sorgum per hektare per tahun di seantero Afrika.
Editor: Irfan Teguh Pribadi