Menuju konten utama

Bagaimana Krisis Iklim Turut Memengaruhi Kesehatan Mental?

Ingatlah bahwa kelompok rakyat kecillah yang menjadi korban pertama dan paling keras dari dampak krisis iklim.

Bagaimana Krisis Iklim Turut Memengaruhi Kesehatan Mental?
Header Expose Krisis Iklim. tirto.id/Ecun

tirto.id - Krisis iklim telah lama diasosiasikan dengan berbagai akibat, mulai dari bencana alam, krisis pangan, penyakit, hingga krisis ekonomi. Kini, ia bahkan dianggap punya korelasi dengan gangguan kesehatan mental. Meski demikian, studi yang mengaitkan krisis iklim dengan kesehatan mental terbilang masih sangat baru.

Keterkaitan itu seiring dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental dalam beberapa tahun terakhir.

Pada 2021, kolaborasi dari American Psychological Association, Climate for Health, dan ecoAmerica berhasil menelurkan sebuah laporan krusial berjudul Mental Health and Our Changing Climate. Laporan ini pun menjadi tonggak baru dalam penelitian-penelitian yang mengaitkan krisis iklim dengan kesehatan mental.

Faktanya, krisis iklim memang sudah terjadi. Istilah "krisis iklim" ini belakangan lebih dipilih banyak orang untuk menyebut apa yang sebelumnya disebut dengan "perubahan iklim". Pasalnya, iklim saat ini bukan cuma sudah berubah, tapi perubahannya telah menimbulkan efek negatif bagi banyak manusia di berbagai belahan dunia.

Di Indonesia kita bisa merasakan bagaimana hujan dan kemarau tak lagi datang sesuai “jadwal” yang diajarkan di buku pelajaran SD. Hujan tak lagi datang dalam kurun Oktober-Maret dan kemarau tak lagi hadir dalam kurun April-September. Selain itu, kita juga merasakan bahwa temperatur udara di negeri ini pun semakin panas saja.

Itu belum lagi jika kita bicara soal semakin seringnya banjir rob terjadi lantaran kenaikan permukaan laut yang, lagi-lagi, disebabkan oleh pendidihan global.

Berbagai efek yang ditimbulkan krisis iklim itu pun memiliki turunan lagi. Periode penghujan-kemarau yang makin sulit diprediksi berpengaruh pada produksi pangan yang kemudian juga berpengaruh pada penurunan pendapatan petani.

Efek berantainya pun masih panjang. Penurunan pendapatan para petani lalu menyebabkan penurunan daya beli serta kualitas hidup mereka. Ini baru satu contoh dan, rasa-rasanya, bukan cuma petani yang terkena imbas dari krisis ini. Nelayan pun merasakan hal serupa. Bahkan, pekerja kantoran pun tak luput dari impaknya.

Singkat kata, dampak krisis iklim ini sama sekali tidak pandang bulu. Semua bisa kena, semua bisa celaka. Dan parahnya lagi, kerugian yang ditimbulkan dari krisis iklim bukan cuma soal fisik dan materiil, tapi juga mental. Inilah yang, sejak publikasi studi kolaboratif tadi diterbitkan pada 2021, menjadi kekhawatiran terbaru bagi para ilmuwan.

Empat Efek Krisis Iklim bagi Kesehatan Mental

Secara garis besar, bagaimana krisis iklim memengaruhi kesehatan mental bisa dibagi menjadi empat.

Pertama, bagaimana cuaca ekstrem memengaruhi kesehatan mental. Di Indonesia, cuaca ekstrem sudah sering menimbulkan bencana alam, seperti banjir dan badai. Bencana alam sendiri sudah barang tentu masuk dalam kategori peristiwa traumatik. Menghadapi hal mengerikan semacam itu, risiko munculnya stres pascratrauma dan depresi sudah tentu bakal melonjak drastis.

Selain itu, ada pula efek tidak langsung yang disebabkan oleh bencana alam, seperti hilangnya tempat tinggal, hilangnya pekerjaan, sampai hilangnya sumber air dan pangan. Siapa pun yang mengalami ini semua bisa dipastikan bakal mengalami gangguan pada kesehatan mentalnya.

Sebenarnya, efek kesehatan mental pascabencana bisa diminimalisir dengan kuatnya ikatan dalam sebuah komunitas. Ketika sesama korban saling menguatkan dan bantuan mengalir deras, risiko gangguan kesehatan mental secara otomatis berkurang. Namun, apabila bencana terus-menerus terjadi, ini tentu saja tak dapat dijadikan solusi permanen.

Kedua, bagaimana panas memengaruhi kesehatan mental. Sudah bukan rahasia lagi bahwa hawa panas membuat orang semakin mudah marah. Khusus bagi mereka yang mengalami masalah kesehatan mental, efeknya bisa semakin parah. Ada dua penelitian yang menunjukkan betapa berbahayanya kenaikan temperatur ini bagi kesehatan manusia.

Pada 2020, sejumlah ilmuwan Amerika Serikat dan Meksiko menemukan kaitan antara kenaikan temperatur bumi dan meningkatnya angka bunuh diri di kedua negara tersebut. Riset ini juga menemukan bahwa meningkatnya suhu bumi berbanding lurus dengan meningkatnya penggunaan "bahasa depresif" di media sosial.

Penelitian lain yang dilakukan di Bern, Swiss, mendapati temuan bahwa semakin tinggi temperatur sebuah tempat, semakin banyak pula orang yang harus dimasukkan ke rumah sakit jiwa atau berobat ke psikiater. Ini, lagi-lagi, menunjukkan bahaya serius dari pemanasan global yang kian hari kian parah.

Satu efek lain dari meningkatnya suhu bumi adalah semakin sulitnya orang untuk tidur. Ya, semakin panas hawa di malam hari, semakin sulit pula orang untuk terlelap. Ini, tentu saja, berpengaruh pada kualitas hidup. Tak cuma kekurangan energi, orang yang kesulitan tidur juga lebih rentan terkena gangguan kesehatan mental.

Ketiga adalah bagaimana polusi udara memengaruhi kesehatan mental. Depresi rentan sekali muncul pada kelompok orang yang secara rutin terpapar udara dengan kualitas buruk. Bagi anak dan remaja, paparan polusi juga membuat kans mereka terkena gangguan kesehatan mental di kala dewasa semakin besar.

Berikutnya, keempat, ada kaitan antara penyakit menular dengan kesehatan mental. Krisis iklim sudah terbukti meningkatkan jumlah kasus berbagai penyakit menular seperti malaria, demam berdarah, dan zika. Pasalnya, penyebaran dan reproduksi organisme penyebab penyakit tersebut juga ikut terpengaruh oleh pemanasan global.

Bagi mereka yang terserang penyakit-penyakit tersebut, kondisi mental bisa dipastikan akan drop, apalagi jika sakitnya berkepanjangan dan harus dirawat secara intensif. Selain itu, bagi orang-orang di sekitarnya, akan muncul kekhawatiran tersendiri yang membuat kualitas hidup mereka ikut menurun pula.

Kelompok Bawah Terdampak Lebih Keras

Sebelumnya, sudah disebutkan bahwa dampak dari krisis iklim tidaklah pandang bulu. Kendati demikian, ada kelompok-kelompok yang terkena dampak lebih besar daripada kelompok lainnya.

Ketika kita bicara soal mata pencaharian, petani dan nelayan (atau orang-orang yang tinggal di pesisir) jelas bakal terdampak lebih besar. Cuaca yang kian sulit diprediksi akan berpengaruh pada menurunnya hasil panen serta tangkapan.

Tak cuma itu, bencana alam, khususnya banjir, juga jadi ancaman besar. Petani pun bisa terkena dampak dari banjir apabila air sampai menggenangi sawah dan ladang mereka.

Menurut WHO, kelompok-kelompok demografi yang lebih rentan terkena dampak dari krisis iklim ialah perempuan, anak-anak, etnis minoritas, kaum miskin, migran atau pengungsi, orang lanjut usia (lansia), serta mereka yang memiliki masalah kesehatan.

Selain itu, menurut Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat (EPA), penduduk asli (indigenous), yang sampai sekarang masih sangat mengandalkan alam untuk bertahan hidup, pun amat rentan terkena dampak krisis iklim.

Selanjutnya, mereka yang tinggal di negara-negara Kepulauan Pasifik pun layak mendapatkan perhatian tersendiri. Dalam COP27 tahun lalu, para pemimpin negara tersebut sudah menyampaikan kemarahan mereka terhadap negara-negara maju yang tak henti-hentinya merusak alam dan membuat tempat hidup mereka terancam karena kenaikan permukaan air laut.

Nah, secara otomatis, impak kesehatan mental bagi kelompok rentan itu bakal jauh lebih besar pula. Menurut sebuah peta yang dirilis oleh Wellcome, semua negara di dunia ini telah merasakan akibat dari krisis iklim. Artinya, kualitas hidup umat manusia secara holistik pun saat ini tengah berada di titik rendah.

Ekonomi kacau balau, peperangan di mana-mana, dan, sudah begitu, alam sekitar pun rusak parah.

Sebenarnya, seruan dan peringatan untuk menyetop kerusakan ini sudah disampaikan sejak lama. Namun, ada kepentingan-kepentingan yang sulit dikesampingkan oleh para pemangku kebijakan sehingga seruan-seruan tadi hanya masuk dari kuping kanan lalu keluar dari kuping kiri. Pada akhirnya, rakyat kecillah yang menjadi korban pertama dan paling keras.

Lantas, kalau sudah begini, apa yang bisa kita lakukan?

Ingatlah bahwa ini adalah masalah struktural dan butuh solusi struktural—mungkin juga berskala global. Namun, sebagai individu, kita tetap bisa mengupayakan sesuatu. Kita bisa saja melakukan upaya-upaya sederhana dengan menghemat penggunaan listrik, misalnya.

Namun, lagi-lagi, tanpa political will dari pemerintah dan para pemilik modal, semua tidak akan ada artinya. Krisis iklim terjadi karena keserakahan manusia dan satu-satunya cara menghentikan ini semua adalah dengan tidak lagi berbuat serakah. Mungkinkah?

Baca juga artikel terkait KESEHATAN MENTAL atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Mild report
Reporter: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi