Menuju konten utama

BMKG: Krisis Pangan Ancam Dunia pada 2050 akibat Perubahan Iklim

Menurut BMKG, organisasi pangan dunia FAO juga meramalkan dunia akan menghadapi potensi bencana kelaparan akibat perubahan iklim pada 2050.

BMKG: Krisis Pangan Ancam Dunia pada 2050 akibat Perubahan Iklim
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyampaikan paparan dalam Refleksi Bencana 2019 dan Proyeksi Bencana 2020 di Kantor Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Jakarta, Senin (30/12/2019). ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/foc.

tirto.id - Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati menyebutkan ancaman krisis pangan menghantui banyak negara di dunia pada 2050.

Ancaman krisis pangan tersebut akibat kencangnya laju perubahan iklim yang dilaporkan oleh World Meteorological Organization pada 2022. Hal itu berdasarkan data hasil pemantauan yang dilakukan oleh Badan Meteorologi di 193 Negara dan State di seluruh dunia.

Menurut Dwikorita, organisasi pangan dunia FAO juga meramalkan dunia akan menghadapi potensi bencana kelaparan akibat perubahan iklim pada 2050. Hal itu sebagai konsekuensi dari menurunnya hasil panen dan gagal panen.

Diprediksi oleh FAO, lebih dari 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen dari stok pangan dunia adalah yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Situasi ini, tambah Dwikorita, akan terjadi di berbagai belahan dunia tanpa memandang negara tersebut besar, kecil, maju atau berkembang.

Dwikorita menyampaikan hal tersebut dalam Dialog Nasional Antisipasi Dampak Perubahan Iklim untuk Pembangunan Indonesia Emas 2045 di Jakarta,

“Kerentanan pangan ini tidak lepas dari kenaikan suhu global yang akhirnya memberikan tekanan tambahan pada sumber daya air sehingga menghasilkan water hotspot atau krisis air,” kata Dwikorita melalui keterangan tertulisnya, Rabu (23/8/2023).

Dwikorita memaparkan seluruh negara di dunia saat ini mengalami dampak perubahan iklim dengan tingkat yang berbeda-beda. Mulai dari cuaca ekstrem, bencana alam, penurunan keanekaragaman hayati, penurunan muka air laut, krisis air, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, dia menilai perlu tindakan konkret seluruh lapisan masyarakat di seluruh dunia untuk menekan laju perubahan iklim ini.

Di Indonesia sendiri, lanjut Dwikorita, tren suhu rata-rata tahunan periode 1951-2021 mengalami peningkatan temperatur 0,15 derajat Celsius per 10 tahun. Kondisi itu menandakan peningkatan suhu permukaan bahkan telah terjadi pula secara signifikan dan merata di Indonesia.

Kemudian, Dwikorita melanjutkan pemanasan global memicu pergeseran pola musim dan suhu udara yang mengakibatkan peningkatan frekuensi dan intensitas bencana hidrometeorologi.

Dia mencontohkan kekeringan akibat dipicu oleh El Nino seperti yang saat ini terjadi di Indonesia. Kondisi itu diperparah dengan ulah manusia yang berujung pada kebakaran hutan dan lahan. Akibatnya, dapat memicu peningkatan emisi karbon dan partikulat ke udara.

“Ancaman krisis pangan di pertengahan abad ini perlu menjadi perhatian bersama, maka berbagai langkah pencegahan atau pengurangan risiko krisis tersebut, melalui upaya mitigasi dan adaptasi perlu lebih serius dan kongkrit digalakkan, agar prediksi krisis tersebut tidak sampai kejadian,” kata Dwikorita.

Baca juga artikel terkait KRISIS PANGAN atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan