Menuju konten utama

BMKG: Krisis Pangan Imbas Perubahan Iklim Bukan Isapan Jempol

Kencangnya laju perubahan iklim berimbas pada ketahanan pangan nasional akibat hasil panen yang menurun hingga gagal tanam.

BMKG: Krisis Pangan Imbas Perubahan Iklim Bukan Isapan Jempol
Petani melihat kondisi sawah yang mengering di Desa Kedung Kelor, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Sabtu (17/6/2023). ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/nz

tirto.id -

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyampaikan, ancaman krisis pangan sebagai dampak dari perubahan iklim bukan sekadar isapan jempol.

Kencangnya laju perubahan iklim, kata Dwikorita, berimbas pada ketahanan pangan nasional akibat hasil panen yang menurun hingga gagal tanam.

“Tahun 2050 mendatang jumlah penduduk dunia diperkirakan menembus angka 10 miliar. Jika ketahanan pangan negara-negara di dunia lemah, maka akan terjadi bencana kelaparan akibat jumlah produksi pangan yang terus menurun sebagai dampak dari perubahan iklim,” ujar Dwikorita di Jakarta, Jumat (7/7/2023).

Ia menjelaskan, bencana kelaparan sebagaimana yang diprediksi Organisasi Pangan Dunia (FAO) terjadi di tahun 2050 adalah ancaman nyata.

Situasi ini bukan hanya menjadi ancaman bagi Indonesia atau terbatas negara-negara berkembang saja. Melainkan seluruh negara-negara dunia menghadapi ancaman yang sama jika tidak ada langkah kongkrit untuk mengatasi krisis iklim.

“Suhu atau temperatur bumi secara global saat ini naik 1,2 derajat celsius. Angka tersebut dipandang sebagai angka yang kecil, padahal itu adalah angka yang besar dan mematikan. Banyak fenomena ekstrem, bencana hidro-meteorologi yang diakibatkan pemanasan global tadi,” ungkap Dwikorita.

Menurut Dwikorita, tidak sedikit yang beranggapan bahwa ancaman perubahan iklim dan krisis pangan belum terlalu terlihat di Indonesia.

Persepsi ini biasanya karena anggapan ketersediaan sumber daya alam masih cukup melimpah dan kondisi geografis Indonesia yang memungkinkan produksi pertanian tetap berjalan sepanjang tahun.

Nyatanya, jika situasi iklim global saat ini tidak direspons secara serius, maka Indonesia bisa terlambat untuk mengantisipasi bencana kelaparan pada tahun 2050.

Ketahanan pangan nasional Indonesia, lanjut Dwikorita, dihadapkan pada tantangan besar berupa kenaikan populasi penduduk di tengah produksi pangan yang cenderung stagnan.

Jika tidak diiringi intervensi kebijakan, potensi kerugian ekonomi di Indonesia (2020-2024) mencapai angka Rp544 triliun akibat dampak perubahan iklim. Maka dari itu, kebijakan ketahanan iklim menjadi salah satu prioritas yang dinilai mampu menghindari potensi kerugian ekonomi sebesar Rp281,9 triliun hingga tahun 2024 mendatang.

“Hal ini sangat penting karena berdasarkan hitung-hitungan Kementerian Keuangan, kerugian ekonomi akibat bencana diperkirakan mencapai rata-rata Rp22,8 triliun per tahunnya,” ujar Dwikorita.

Ia menambahkan, data dan informasi yang dikeluarkan BMKG tidak hanya dibutuhkan untuk urusan penanggulangan bencana alam saja, namun juga kesehatan, konstruksi, energi pertambangan, pertanian kehutanan, tata ruang, industri, pariwisata, transportasi, pertahanan keamanan, sumber daya air, hingga kelautan perikanan.

“Khusus di sektor pertanian, BMKG terus melakukan penguatan literasi iklim dan cuaca kepada para petani dan penyuluh pertanian sebagai langkah mitigasi dan adaptasi perubahan iklim,” jelas Dwikorita.

Baca juga artikel terkait KRISIS PANGAN atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri