Menuju konten utama
Krisis Iklim

Nasib Warga Pesisir Pantura di Tengah Ancaman Krisis Iklim

Banjir rob di Jawa Tengah menunjukkan ancaman krisis iklim dan kerusakan lingkungan semakin nyata bagi warga pesisir Pantura.

Nasib Warga Pesisir Pantura di Tengah Ancaman Krisis Iklim
Foto udara sejumlah warga yang didominasi pekerja menembus banjir limpasan air laut ke daratan atau rob yang merendam kawasan Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Jawa Tengah, Senin (23/5/2022). ANTARA FOTO/Aji Styawan/rwa.

tirto.id - Tanggul Pelabuhan Tanjung Emas Semarang di Kampung Nelayan Tambakrejo jebol, Senin, 23 Mei 2022. Aliran listrik di permukiman warga padam sejak pukul 2 siang hingga 11 malam selama dua hari. Sekitar pukul 2 siang, air laut tiba-tiba masuk dengan cepat ke teras rumah warga, menggenangi kasur, kamar, hingga dapur.

Abdullah Ahmad Marzuki atau Zuki (33), warga Blok D Kampung Nelayan Tambakrejo, tengah memasang tenda untuk pernikahan adiknya ketika banjir rob datang. Air setinggi 30 sentimeter itu menggenangi teras rumah hingga ke kamarnya.

“[Suasananya] memang agak mencekam, saat itu lampu mati. Mulai dari dikabarkan jebolnya tanggul Pelabuhan [Tanjung Emas]. Itu terus lampu mati, pemadaman sampai jam sebelasan [malam] dari sekitar jam 2 [siang],” kata Zuki kepada Tirto, Senin (30/5).

Ia tentunya rungsing memikirkan hajatan sang adik Jumat mendatang (27/5) jika air rob masih menggenangi rumahnya seperti ini.

Warga lain di blok yang sama, Agung (22) sempat panik begitu air rob memasuki rumah, menggenangi teras, ruang tamu, dan terus masuk ke kamar. Arus air laut terasa amat deras di kakinya. Ia lantas mengecek ke blok lain dan melihat Blok B dan C sudah terendam. Tempat pemancingan warga bahkan sudah tenggelam.

“Tempat pemancingan itu kemarin tenggelam semua. Kan terlalu tinggi airnya. Biasanya enggak sampai segitu airnya. Jadi kena arus semua,” imbuh Agung.

Zuki dan Agung adalah salah dua nelayan di Kampung Nelayan Tambakrejo, Pelabuhan Tanjung Mas, pesisir Semarang. Bagi keduanya, banjir rob tak ubahnya menu tahunan bagi warga pesisir seperti mereka.

Dari pengakuan Zuki, ia bahkan sudah mengalami banjir rob sejak tahun 90an saat ia masih tinggal di Desa Tambaklorok. Ia pindah ke Tambakrejo sejak tahun 2000.

"Saat itu tanggul Sembaten banjir kanal timur masih tinggi. Memasuki tahun 2007 sampai 2010 sudah mulai tenggelam sedikit-sedikit sampai kena banjir rob," cerita Zuki,

Ia pun mengakui, banjir rob kali merupakan yang terparah yang pernah ia alami.

"Banjir rob seperti ini aslinya setiap tiga tahun sekali. Memang semakin tahun, semakin tinggi. Tak tahu tanah Jawa ini ambles atau gimana. Tapi kemarin memang yang tertinggi," beber Zuki.

Sebagai nelayan, Zuki mengaku hasil tangkapannya menurun hingga 80 persen tahun-tahun belakangan ini. Sedangkan Agung mengaku penghasilannya juga menurun hingga 30 persen sejak tahun kemarin akibat banjir rob.

Sementara Fadhilah, salah seorang pengupas kerang hijau di kampung tersebut menceritakan bagaimana air laut masuk dengan cepat dan mendadak naik ketinggiannya, hingga masuk ke kamar dan dapurnya.

Di Blok A dan B, katanya, ketinggian air mencapai lebih dari setengah meter, blok C 20-30 sentimeter (cm), dan blok D yang urukannya lebih tinggi, tidak sampai 20 cm.

Fadhilah mengeluhkan banjir rob membuat tempat budidaya kerang yang terbuat dari bambu telah rusak. Alhasil selama seminggu dia, dan juga perempuan para pengupas kerang lainnya tidak bisa bekerja lagi.

“Iya jadi menganggur semua, ibu juga menganggur,” ujar Fadhilah kepada Tirto pada Senin (30/6/2022) malam.

Selain budidaya kerang, banjir rob juga menghancurkan 70 persen tanaman-tanaman jambu air citra dan jambu kristal yang ditanam para warga di depan rumah untuk menjadi calon wisata petik buah.

“Ya kerugiannya banyak ya kalau dihitung. Jambu itu kan mulai berbuah, tahu-tahu terus keterjang banjir rob itu satu hari saja terendam, itu kering semua, daunnya langsung kuning, langsung pada mati semua,” ucap Fadhilah.

Kendati terus dihantui rob, Zuki, Agung, Fadhilah dan rekan nelayan lainnya masih ogah pindah dari pesisir. Hidup mereka dan masyarakat Kampung Nelayan Tambakrejo sepenuhnya bergantung pada laut.

Jika harus tinggal di tempat yang lebih tinggi seperti Semarang Tengah atau daerah yang lebih lagi, mereka harus memikirkan biaya lain, salah satunya transportasi.

Alhasil, salah satu strategi agar dapat bertahan ialah dengan meninggikan bangunan rumah.

"Kalau direlokasi ke rusunawa gitu, kita enggak bisa ancang-ancang harus kerja apa gitu. Karena kita memang terpaut sama laut," pungkas Zuki.

Pesisir Pantura Terancam

Data BNPB mencatat, banjir rob pada 23-25 Mei 2022 sedikitnya terjadi di 13 kabupaten/kota di Jawa Tengah, meliputi Kabupaten Brebes, Kabupaten Tegal, Kota Tegal, Kabupaten Pemalang, Kabupaten Pekalongan, Kota Pekalongan, Kabupaten Batang, Kabupaten Kendal, Kota Semarang, Kabupaten Demak, Kabupaten Jepara, Kabupaten Pati dan Kabupaten Rembang.

Ketinggian air beragam mulai dari 10 hingga 100 sentimeter. Data per tanggal 24 Mei 2022, empat desa di Kabupaten Brebes terdampak banjir rob dengan tinggi muka air 10-20 sentimeter. Kemudian Kota Tegal melaporkan empat kelurahan yang terendam hingga ketinggian 45 sentimeter. Sementara itu Kelurahan Dampuak di Kabupaten Tegal dilaporkan terendam banjir rob dengan ketinggian 40-100 sentimeter.

Banjir rob juga dilaporkan merendam wilayah Kota Pekalongan dengan ketinggian muka air antara 10-90 sentimeter. Sebanyak 221 jiwa terpaksa harus mengungsi. Sementara di Kendal, banjir rob berdampak pada 1.847 jiwa.

Banjir rob di Demak dilaporkan berdampak pada kurang lebih 10 ribu jiwa di empat desa dan Rembang yang melaporkan terdapat 119 KK yang terdampak.

Sementara Kabupaten Pati tercatat sebagai wilayah yang paling banyak terdampak banjir rob sebanyak 26 desa di 5 kecamatan.

Meluasnya banjir rob di sejumlah daerah di Jawa Tengah menunjukkan ancaman krisis iklim semakin nyata terutama bagi warga pesisir yang amat rentan terhadap perubahan iklim.

Lembaga riset terkait perubahan iklim Climate Central bahkan memproyeksikan 23 juta warga pesisir Indonesia terancam banjir rob tahunan akibat kenaikan air laut pada 2050.

Dampak Kerusakan Lingkungan & Krisis Iklim

Peristiwa banjir rob yang meluas itu diyakini Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya adalah adanya fenomena perigee, yakni kondisi jarak terdekat bulan dengan bumi. Faktor lain adalah adanya peningkatan ketinggian gelombang yang terjadi di utara jawa.

Namun sejumlah ahli dan organisasi lingkungan menyangsikan peristiwa ini akibat faktor alam semata.

Kepala Laboratorium Geodesi Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB), Heri Andreas mengungkapkan bahwa banjir rob Semarang merupakan dampak dari kerusakan lingkungan.

“Ya bisa dikatakan debagai dampak dari kerusakan lingkungan air,” ungkap Heri kepada Tirto, Senin (30/5/2022) siang.

Awalnya, papar dia, air permukaan dicemari dan tercemar sehingga rusak, serta tidak dapat dipakai sebagai supply atau pasokan. Lalu orang berlomba mengambil air tanah.

“Nah, eksploitasi air tanah yang berlebihan selain merusak akuifer tanah, juga menyebabkan tanah di atasnya turun (land subsidence). Tanah yang terus turun menyebabkan posisinya menjadi lebih rendah dari laut, akibatnya kerap terjadi banjir rob,” sambung Heri.

Solusinya, menurut Heri, adalah dengan program berupa pengelolaan tanah (land management) dan pengelolaan air (water management).

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut banjir rob Semarang adalah karena dampak dari kerusakan lingkungan secara global dan lokal.

“Asal muasal dari bencana rob dan tanggul jebol yang kemarin melanda adalah semakin naiknya permukaan air laut yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan secara global, yaitu krisis iklim,” ujar Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Jateng, Iqbal Alma kepada Tirto, Senin (30/5/2022).

Dia menerangkan bahwa dampak dari kerusakan secara global itu karena adanya krisis iklim. Sedangkan untuk secara lokal, ada yang disebabkan oleh ekstrasi air tanah, alih fungsi tanah, jenis tanah, hingga peristiwa geologi tertentu. Dia juga mengatakan banjir rob di Pantai Utara (Pantura) itu diperparah dengan penurunan muka tanah atau amblesan serta abrasi yang cepat.

“Betul, secara global dan lokal. Di Semarang misalnya, amblesan tanah disebabkan oleh masifnya ekstrasi air tanah dan bangunan-bangunan besar yang berada di kawasan pesisir seperti kawasan industri dan sebagainya,” ungkap Iqbal.

Menurut WALHI, kata dia, ada dua solusi yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia yaitu solusi jangka pendek dan jangka panjang. Solusi jangka pendeknya yaitu pemerintah harus serius dalam memitigasi banjir rob, supaya tak terulang lagi. “Ya menurut kami, solusi jangka pendek adalah pemerintah harus serius dalam memitigasi bencana rob ini, agar bencana ini tidak selalu terulang,” tutur Iqbal.

Adapun Direktur Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjuntak menerangkan bahwa banjir rob Semarang merupakan hasil dari beberapa faktor. Antara lain fenomena alam dan mengindikasikan telah terjadinya kerusakan lingkungan.

“Saya kira banjir rob di Semarang adalah hasil dari beberapa faktor, baik yang merupakan fenomena alam maupun yang mengindikasikan sudah terjadinya kerusakan lingkungan,” kata dia kepada Tirto, Senin (30/5/2022) malam.

Misalnya, beber Leonard, hilangnya hutan-hutan mangrove yang merupakan penahan alami. Tidak hanya di Semarang, Jateng, tetapi sudah terjadi di berbagai wilayah Pantura lainnya yaitu Demak, Pekalongan, dan lain-lain. Lalu contoh lainnya adalah penurunan muka air tanah, karena eksploitasi yang berlebihan dari industri, menyebabkan kerawanan akan banjir meningkat secara signifikan.

Leonard kemudian menjelaskan bahwa beberapa studi sudah membuktikan di berbagai wilayah Pantura, termasuk Kota Semarang, penurunan air tanah ini sudah cukup ekstrim. Selain itu, kenaikan tinggi muka air laut juga sudah terjadi karena adanya pemanasan global.

“Walaupun porsinya dalam bencana banjir rob ini mungkin masih kecil, tetapi tanpa upaya yang serius dari pemerintah, sektor industri, dan kita semua, kenaikan tinggi muka air laut ini akan terus terjadi, dan pada saatnya nanti akan menjadi faktor yang signifikan,” tandas dia.

Baca juga artikel terkait KRISIS IKLIM atau tulisan lainnya dari Farid Nurhakim

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri