Menuju konten utama

WALHI: Banjir Rob Pantura Akibat Pembangunan Eksploitatif Pesisir

Selain krisis iklim, banjir rob di Pantura diperparah dengan penurunan muka tanah serta abrasi yang cepat akibat pembangunan yang eksploitatif di pesisir.

WALHI: Banjir Rob Pantura Akibat Pembangunan Eksploitatif Pesisir
Personel kepolisian dari Polsek Kesatuan Pelaksanaan Pengamanan Pelabuhan (KP3) Tanjung Emas Semarang bersama warga dan relawan bergotong royong menutup tembok kawasan industri atau tanggul yang jebol dengan konstruksi pagar bambu dan karung berisi pasir dan batu di kawasan industri Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, Jawa Tengah, Rabu (25/5/2022). ANTARA FOTO/Aji Styawan/tom.

tirto.id - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut banjir rob tanggal 23 Mei 2022 di Kota Semarang, Provinsi Jawa Tengah (Jateng) adalah karena dampak dari kerusakan lingkungan secara global dan lokal.

Sebelumnya dilaporkan bahwa banjir rob tersebut terjadi di kawasan Pelabuhan Tanjung Emas, Semarang, Jateng seusai penahan air laut atau tanggul jebol.

“Asal muasal dari bencana rob dan tanggul jebol yang kemarin melanda adalah semakin naiknya permukaan air laut yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan secara global, yaitu krisis iklim,” ujar Manajer Advokasi dan Kampanye WALHI Jateng, Iqbal Alma kepada Tirto, Senin (30/5/2022).

Dia menerangkan bahwa dampak dari kerusakan secara global itu karena adanya krisis iklim. Sedangkan untuk secara lokal, ada yang disebabkan oleh ekstraksi air tanah, alih fungsi tanah, jenis tanah, hingga peristiwa geologi tertentu.

Dia juga mengatakan banjir rob di Pantai Utara (Pantura) itu diperparah dengan penurunan muka tanah atau amblesan serta abrasi yang cepat.

“Betul, secara global dan lokal. Di Semarang misalnya, amblesan tanah disebabkan oleh masifnya ekstraksi air tanah dan bangunan-bangunan besar yang berada di kawasan pesisir seperti kawasan industri dan sebagainya,” ungkap Iqbal.

Menurut WALHI, kata dia, ada dua solusi yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia yaitu solusi jangka pendek dan jangka panjang. Solusi jangka pendeknya yaitu pemerintah harus serius dalam memitigasi banjir rob, supaya tak terulang lagi.

“Ya menurut kami, solusi jangka pendek adalah pemerintah harus serius dalam memitigasi bencana rob ini, agar bencana ini tidak selalu terulang,” tutur Iqbal.

Dia mencontohkan, pasang air laut karena gravitasi bulan adalah sesuatu yang rutin dan bisa diprediksi. Namun tidak ada mitigasi seperti pengecekan dan lain-lain terkait gagalnya tanggul di kawasan Lami Citra, Tanjung Emas.

“Tidak seperti pasang air laut yang terprediksi, tanggul jebol tidak teprediksi. Tanggul jebol menyangkut banyak hal, perawatan, desain, dan lain-lain,” ujar Iqbal.

Untuk jangka panjangnya, lanjut dia, pemerintah Indonesia seharusnya sadar bahwa kondisi lingkungan ini sudah krisis serta kebijakan-kebijakan yang dibuat harus mengarah kepada solusi dari krisis itu.

“Jangka panjangnya, pemerintah sudah harusnya sadar bahwa kondisi lingkungan ini sudah krisis, kebijakan-kebijakan yang dibuat harus mengarah ke solusi krisis itu. Stop pembangunan yang akan memperparah krisis lingkungan tersebut, terutama untuk kawasan Pantura [Pantai Utara],” tutur Iqbal.

Dia pun menegaskan bahwa pemerintah Indonesia harus lebih serius menangani permasalahan banjir rob ini dan segera menetapkan kondisi darurat. Dia juga mengusulkan agar pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang hanya akan memperparah kondisi tersebut, yang seharusnya dikeluarkan adalah sebaliknya atau dapat memperbaiki.

Kemudian pemerintah perlu mengoptimalkan sistem peringatan dini (early warning system) Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) agar terdistribusi ke masyarakat khususnya di wilayah pesisir.

“Hentikan segala bentuk pembangunan yang eksploitatif dan merenggut ruang hidup masyarakat wilayah pesisir,” tegas Iqbal.

Baca juga artikel terkait BANJIR ROB SEMARANG atau tulisan lainnya dari Farid Nurhakim

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri