tirto.id - Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan mengajak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendorong penghapusan ketentuan presidential threshold 20 persen. Hal tersebut ia sampaikan usai menghadiri pembekalan antikorupsi kepada internal PAN pada Rabu, 25 Mei 2022.
Pria yang akrab disapa Zulhas itu menilai batas pencalonan presiden 20 persen itu rawan memicu politik transaksional yang berpotensi pada terjadinya tindak pidana korupsi. Zulhas pun menekankan Indonesia merupakan negara yang demokratis, maka ketentuan ambang batas pencalonan presiden tersebut harus ditiadakan agar kesempatan semua calon dapat lebih besar.
Zulhas mengklaim PAN sudah berusaha agar ambang batas pencalonan ambang batas presiden menjadi 0 atau 4 persen, namun usulannya ditolak. Zulhas pun mengajak lembaga antirasuah untuk turut meniadakan atau paling tidak menurunkan aturan ambang batas tersebut.
Wakil Ketua MPR ini juga mendukung langkah KPK yang mengusulkan agar para saksi dibiayai oleh negara, bukan oleh partai politik.
Namun langkah Zulhas tersebut menuai kritik, salah satunya dari Ketua DPP Partai Nasdem, Willy Aditya. Ia menilai tindakan Zulhas mengajak KPK meniadakan aturan ambang batas pencalonan presiden ‘salah alamat’.
“Apabila meminta tolong kepada KPK, saya rasa ‘salah alamat’ karena KPK fungsinya penegakan hukum, sedangkan presidential threshold adalah suatu hal yang bersifat politis,” kata Willy saat dihubungi reporter Tirto, Jumat, 27 Mei 2022.
Aturan ambang batas pencalonan presiden ini hanya bisa dibahas di DPR sebagai pelaksana pembuatan undang-undang. Bahkan aturan tersebut berkali-kali sempat diajukan judicial review kepada Mahkamah Konstitusi.
“Setelah sempat beberapa kali disidangkan, Mahkamah Konstitusi tetap memutuskan bahwa presidential threshold 0 persen, dikembalikan kepada DPR sebagai pembuat undang-undang,” sambung Willy.
Selain itu, Willy tak setuju jika ambang batas pencalonan presiden ini menjadi 0 persen lantaran hal tersebut menafikan fungsi partai sebagai alat politik dan pengusung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden.
Berkali-kali Ditolak MK
Pada 24 Februari 2022, MK menolak gugatan uji konstitusionalitas syarat ambang batas pencalonan presiden 20 persen. Uji materi terhadap Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 itu diajukan sejumlah perorangan warga negara, seperti Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Ferry Joko Yuliantono dan mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo. Ada pula anggota DPD RI Tamsil Linrung, Edwin Pratama Putra, dan Fahira Idris.
Mahkamah menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan tersebut, sehingga hakim tidak dapat menerima permohonan. Empat hakim konstitusi mengajukan pendapat yang berbeda (dissenting opinion), mereka adalah Manahan MP Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, dan Saldi Isra.
Hakim Mahkamah Konsitusi menyatakan norma yang dimohonkan penggugat sama dengan yang dimohonkan para pemohon sebelumnya. Karenanya, belum terdapat alasan fundamental untuk dapat menggeser pendirian Mahkamah atas putusan-putusan sebelumnya.
Selain itu, Mahkamah juga berpandangan ambang batas ditujukan untuk memperkuat sistem presidensial dan calon yang terpilih akan memiliki legitimasi kuat; dan merupakan open legal policy dari pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR, maka hanya pihak legislatif bersama eksekutif yang berwenang mengubah atau menentukan besaran ambang batas pencalonan presiden.
Tingginya angka ambang batas pencalonan menyebabkan terbatasnya jumlah pasangan calon yang akan berlaga di pesta demokrasi. Masyarakat hanya disuguhkan pilihan yang tidak variatif. Terbatasnya jumlah paslon pun menciptakan polarisasi yang begitu kuat dan berdampak pada ketegangan sosial, hal itu tercermin pada Pilpres 2019 yang menyajikan rivalitas antara Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Berdasarkan catatan Tirto, sejauh ini MK telah memutus 22 gugatan terkait ketentuan presidential threhsold. Hal ini tertuang dalam putusan bernomor 51-52-59/PUU-VI/2008, 56/PUU-VI/2008, 26/PUU-VII/2009, 4/PUU-XI/2013, 14/PUU-XI/2013, 46/PUU-XI/2013, 56/PUU-XI/2013, 108/PUU-XI/2013, 49/PUU-XII/2014, 44/PUU-XV/2017, 53/PUU-XV/2017, 59/PUU-XV/2017, 70/PUU-XV/2017, 71/PUU-XV/2017, 72/PUU-XV/2017, 49/PUU-XVI/2018, 50/PUU-XVI/2018, 54/PUU-XVI/2018, 58/PUU-XVI/2018, 61/PUU-XVI/2018, 92/PUUXVI/2018, 74/PUU-XVIII/2020.
Semua gugatan tersebut dinyatakan ditolak dan tidak dapat diterima. Alasan Mahkamah antara lain: pertama, pemohon tidak memiliki legal standing dan tak dirugikan secara langsung oleh presidential threshold. Kedua, penguatan sistem presidensial yang menitikberatkan pada fusi atau penyederhanaan partai politik. Ketiga, ketentuan presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy dari pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR.
Jangan Ikut Arus Politik
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zaenur Rohman menyatakan, KPK bukan lembaga yang tepat dimintai dukungan mengenai keputusan politik.
“KPK bisa bertugas memberantas korupsi dengan upaya penindakan maupun pencegahan, tapi tidak perlu masuk ke ranah politik,” ujar Zaenur saat dihubungi reporter Tirto.
Lembaga antirasuah itu bisa saja melakukan studi ihwal politik transaksional terhadap kandidat calon presiden. Atau cara lainnya, Litbang KPK meneliti soal politik uang terkait pemilihan presiden, cum memberikan saran-saran guna mencegah terjadinya korupsi di sektor politik.
“Seperti yang selama ini telah dilakukan di dalam SIPP. SIPP itu juga hasil dari penelitian KPK yang selama ini dilakukan di sektor politik,” lanjut Zaenur. “Tapi KPK tak perlu buat pernyataan terkait presidential threshold.”
Ambang batas pencalonan ini memang membuka ruang untuk politik transaksional untuk mendapatkan dukungan partai, hingga melaju untuk mencapai kepala negara. Namun, kata dia, KPK tak perlu terseret kepada ranah politik. Pun ada uji materi yang disampaikan ke MK, biarlah itu menjadi tanggung jawab mahkamah.
KPK, kata dia, tidak memiliki kapasitas mengomentari ambang batas pencalonan tersebut. “KPK bukan lembaga politik, bukan lembaga perwakilan. Lebih baik KPK fokus kepada kerja-kerja utamanya,” tutur dia.
Peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus berujar, semestinya hal itu adalah tugas PAN yang berkecimpung di DPR RI untuk mendorong perubahan undang-undang. Namun, tak mungkin perubahan regulasi itu tercapai karena rangkaian pemilu akan berlangsung.
“Tidak relevan. Lembaga penegak hukum seperti KPK dimintai bantuan untuk menurunkan presidential threshold. Bagaimana jalan pikirannya?” ucap dia kepada reporter Tirto, Jumat (27/5/2022).
Kecuali PAN meminta Firli Bahuri cs untuk mengurangi politik uang dalam tahapan pemilu, itu masih masih masuk akal, kata Lucius. Sementara terkait ambang batas, itu pekerjaan Fraksi PAN di parlemen, bukan ‘dialihkan’ ke lembaga lain yang tak berkorelasi dan tak berwenang.
“Mungkin itu bentuk frustrasi (PAN) atau bentuk ketidakberdayaan PAN dengan jumlah kursi yang tidak signifikan di parlemen,” kata Lucius.
Ia melanjutkan, bisa saja PAN meneriakkan hal ini kepada publik. “Tapi PAN sendiri malu-malu, karena separuh kakinya ada di koalisi, separuhnya di oposisi. Ini, sih, problem PAN, tidak ada urusan dengan KPK,” imbuh Lucius.
Dia pun mengingatkan agar lembaga antirasuah tetap bertugas sesuai dengan peraturan. “Fokus dan konsisten kepada undang-undang, akan jadi modal besar bagi KPK untuk menjadi lembaga independen.”
Respons KPK
Plt Juru Bicara KPK, Ipi Maryati Kuding menanggapi pernyataan Zulhas yang meminta KPK turut perjuangkan presidential treshold 0 persen. Ipi mengatakan sampai saat ini KPK belum pernah mengkaji perihal presidential treshold tersebut.
“Sampai dengan saat ini KPK belum pernah mengkaji tentang presidential threshold," kata Ipi saat dikonfirmasi reporter Tirto, Jumat, (27/5/2022).
Namun demikian, Ipi mengatakan KPK sudah sejak lama fokus pada sektor politik dengan melakukan sejumlah kajian maupun mengembangkan sejumlah program di sektor politik sebagai wujud implementasi amanat UU KPK. Beberapa di antaranya adalah: Kajian RUU Parpol (2018), Kelas Politik Cerdas Berintegritas Politisi (2018), dan Kajian Pendanaan Parpol (2019).
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz