Menuju konten utama

Derita Petani Sawit Usai Ekspor CPO dan Turunannya Kembali Dibuka

Harga TBS petani di 22 provinsi penghasil sawit sampai hari ini jatuh di bawah harga yang ditetapkan dinas perkebunan wilayah masing-masing.

Derita Petani Sawit Usai Ekspor CPO dan Turunannya Kembali Dibuka
Sejumlah truk pengangkut Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit mengantre untuk pembongkaran di salah satu pabrik minyak kelapa sawit milik PT.Karya Tanah Subur (KTS) Desa Padang Sikabu, Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, Selasa (17/5/2022). ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/rwa.

tirto.id - “Jauh panggang dari api.” Pribahasa itulah yang menggambarkan perasaan petani kelapa sawit di Indonesia saat ini.

Para petani sawit, sempat bernapas lega usai Presiden Joko Widodo mengumumkan dibolehkannya kembali ekspor bahan baku minyak goreng sawit atau Crude Palm Oil (CPO) pada Kamis, 19 Mei 2022. Harapan mereka sederhana: Harga Tanda Buah Segar (TBS) di tingkat petani bisa kembali terdongkrak, setelah sempat anjlok.

Namun harapan itu di luar ekspektasi. Harga TBS petani di 22 provinsi penghasil sawit sampai dengan hari ini justru jatuh di bawah harga dari yang ditetapkan oleh dinas perkebunan wilayah masing-masing. Kondisi tersebut membuat para petani kelapa sawit mulai patah arang.

“Petani kebahagiannya terlalu tinggi karena ekspor CPO dibuka. Setelah [pengumuman] dicabut tidak sesuai harapannya. Mereka kecewa luar biasa," ujar Ketua DPP Asosiasi Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (25/5/2022).

Sampai dengan Selasa, 24 Mei 2022, rata-rata harga TBS di tingkat petani swadaya atau mandiri berada pada kisaran Rp1.964 per kilogram (kg). Sedangkan di tingkat petani plasma atau bermitra mencapai Rp2.343 per kg. Keduanya memang sudah naik tipis dari Harga Pokok Penjualan (HPP) yang hanya Rp1.950 per kg. Namun masih jauh di bawah rerata ditetapkan oleh dinas perkebunan sebesar Rp2.930 per kg.

“Secara umum harga tersebut di bawah harga penetapan dinas perkebunan,” imbuh Gulat.

Hasil pantauan Serikat Petani Indonesia (SPI) menemukan harga TBS sawit di beberapa wilayah di Indonesia masih cukup rendah. Walaupun ada kenaikan, namun perubahannya masih kecil. Misalnya di beberapa desa di Kabupaten Asahan, Sumatera Utara terjadi kenaikan Rp50 per kg, dan ada juga yang harganya tetap. Harga di tingkat petani bahkan bervariasi di kisaran Rp1.700 - Rp2.000.

"Sementara harga di loading ramp di kisaran Rp2.000 - Rp2.200," ujar Ketua Umum SPI, Henry Saragih dalam pernyataannya.

Henry melanjutkan, dari Pasaman Barat, Sumatera Barat harga TBS di peron Rp1.750, sementara untuk langsung ke pabrik kelapa sawit (PKS) di kisaran Rp1.950. Sementara di Riau, tepatnya di Kabupaten Rokan Hulu, harga TBS sudah ada yang Rp2.300 per kg jika diantarkan langsung ke PKS.

"Kalau di Jambi, harga TBS juga tidak lagi mengalami penurunan," imbuhnya.

Jika bergeser ke Tanjung Jabung Timur, maka harga TBS tetap Rp1.625 per kg, di Muara Bungo Rp2.200 per kg, dengan kenaikan Rp100 per kg. Begitu juga di Kabupaten Muaro Jambi, Tebo, dan Tanjung Barat, kenaikan mulai terjadi dari Rp75 per kg sampai Rp250.

Penyebab TBS Turun dan Potensi Kerugian

Jatuhnya harga TBS di bawah yang ditetapkan dinas perkebunan bukan tanpa alasan. Gulat melihat hal ini terjadi karena para eksportir belum mau terburu-buru melakukan ekspor kembali. Sebab mereka membutuhkan waktu untuk bisa mendapatkan perizinan ekspor dan beberapa dokumen persyaratan lainnya.

Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 30 Tahun 2022 mengenai ketentuan baru ekspor minyak goreng menetapkan bahwa, eksportir harus memiliki dokumen Persetujuan Ekspor (PE) sebagai syarat mengekspor CPO dan produk turunannya sesuai dengan yang diatur dalam permendag tersebut.

Ada tiga persyaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh PE. Pertama, eksportir harus memiliki bukti pelaksanaan distribusi kebutuhan dalam negeri (domestic market obligation/DMO) dengan harga penjualan di dalam negeri (domestic price obligation/DPO) kepada produsen minyak goreng curah.

Kedua, bukti pelaksanaan distribusi DMO minyak goreng curah dengan DPO kepada pelaku usaha jasa logistik eceran dan membeli CPO dengan tidak menggunakan DPO.

Ketiga, bukti pelaksanaan distribusi DMO produsen lain yang didahului dengan kerja sama antara eksportir dan produsen pelaksana distribusi DMO, disampaikan melalui Indonesia National Single Window (INSW) berupa elemen data elektronik nomor induk berusaha dan nama perusahaan.

“Saya tanya ke beberapa pabrikan refinery kenapa belum bergerak? Mereka bilang 'Kami tidak mau kejadian kayak kemarin, kami harus lebih teliti karena harus menunjukan bukti PE dan distributor ke mana dan itu butuh waktu'," ujar Gulat mencontohkan.

Gulat menyebut, paling lama eksportir maupun PKS bisa kembali melakukan pengiriman ke luar negeri satu bulan sejak diperbolehkannya ekspor CPO. Dalam kurun waktu tersebut, tentu saja berdampak pada serapan maupun pembelian TBS di tingkat petani.

"Semua pabrik hampir sama mengatakan ekspor belum jalan dan belum bisa bergerak jadi tidak bisa membeli sesuai ditetapkan dinas perkebunan," kata dia.

Ia bahkan sudah menghitung potensi kerugian petani kelapa sawit akibat rendahnya harga TBS mencapai Rp12,11 triliun. Total kerugian itu dihitung selama 28 hari sejak 22 April 2022 saat larangan ekspor diberlakukan hingga 20 Mei 2022. Kerugian ini diperkirakan terus bertambah, jika dalam satu bulan eksportir belum juga melakukan ekspor.

Oleh karenanya, Gulat menekankan sudah tidak ada lagi alasan para eksportir ataupun PKS membeli harga TBS petani dengan harga murah. Apalagi ekspor CPO sendiri sudah dibuka pintunya. "Sekarang keran eskpor sudah dibuka tentu mereka bisa ekspor dengan harga internasional. Jangan munafik menekan harga petani.”

Gulat menambahkan, “Kalau kemarin saya tanya 100 pabrik alasan mereka kalau sudah ada kepastian dicabut kami beli dengan normal. Sekarang sudah normal sudah dicabut, tapi tidak dibeli dengan harga normal.”

Terakhir, ia meminta Jokowi untuk memerintahkan Menteri Pertanian supaya merevisi Permentan 1/2018 tentang Tataniaga TBS (Penetapan Harga TBS). Ini karena harga TBS yang diatur di dalam Permentan 01 hanya ditujukan kepada petani yang bermitra dengan perusahaan. Padahal petani bermitra dengan perusahaan hanya 7 persen dari total luas perkebunan sawit rakyat 6,27 juta hektare (Ha).

Sementara itu, Serikat Petani Indonesia juga mendesak pemerintah segera membuat kebijakan harga dasar kelapa sawit. Hal ini penting untuk menjadi rujukan pihak pabrik kelapa sawit membeli TBS petani.

SPI juga mendorong agar Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) dapat mengalokasikan anggarannya kepada para petani sawit skala kecil. Karena selama ini masih dinikmati oleh korporasi atau industri besar untuk biodiesel.

"Sawit diurus petani, bukan korporasi. Perkebunan sawit harus diserahkan pengelolaannya kepada petani dikelola usaha secara koperasi mulai dari urusan tanaman, pabrik CPO dan turunannya," tandas Henry.

LARANGAN EKSPOR PRODUK KELAPA SAWIT

Petani mengumpulkan buah sawit hasil panen di perkebunan Mesuji Raya, Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Senin (9/5/2022). ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/pras.

Upaya Pemerintah

Melihat perkembangan harga TBS terjadi di lapangan, membuat pemerintah mengambil sikap. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto bahkan berencana membuat peraturan teknis dengan melibatkan pemerintah daerah. Aturan teknis ini dimaksud untuk menjamin pembelian harga TBS di tingkat petani,

"Harga TBS dari petani akan dilakukan pengaturan yang melibatkan pemda," katanya dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.

Di samping itu, Airlangga juga meminta kepada seluruh perusahaan CPO untuk membeli TBS kelapa sawit milik petani dengan harga wajar. Sehingga harga TBS bisa kembali meningkat pasca dibukanya keran ekspor CPO.

"Tentunya bagi para perusahaan CPO dapat membeli TBS dari petani pada tingkat harga yang wajar," kata Airlangga.

Baca juga artikel terkait HARGA TBS DI PETANI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz