Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Polemik Presidential Threshold: MK Lepas Tangan, DPR Tak Mau Revisi

Harapan menghapus aturan presidential threshold 20% sirna usai uji materi ditolak MK. Sementara DPR tak mau merevisi UU Pemilu.

Polemik Presidential Threshold: MK Lepas Tangan, DPR Tak Mau Revisi
Sejumlah aktifis pro demokrasi yang mendaftarkan Pengujian Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, membentangkan spanduk seusai melengkapi syarat gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK),Jakarta, Kamis (21/6/2018). ANTARA FOTO/ Reno Esnir

tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan tidak menerima gugatan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) 20%. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).

Pemohon gugatan ini antara lain mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Gatot Nurmantyo, anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Fahira Idris dan Tamsil Linrung, aktivis Lieus Sungkharisma, politikus Ferry Joko Yuliantono dan lain-lain. Gugatan mereka berbeda berkas, namun sama-sama kandas.

Pemohon yakin memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan karena hak konstitusionalnya dirugikan dengan adanya aturan presidential threshold 20%. Sebagai warga negara Indonesia, pemohon berhak untuk memilih dan dipilih dalam sebuah kontestasi demokrasi.

Dengan tingginya PT, maka pemilih dirugikan karena jumlah calon presiden yang ada sangat terbatas. Publik tak punya banyak pilihan. Sedangkan sebagai warga yang berhak dipilih, syarat pencalonan dalam pilpres begitu tinggi dan rumit.

Pokok permasalahan dalam permohonan ini adalah Pasal 222 UU /2017 yang berbunyi, "Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya."

Pemohon, salah satunya Gatot Nurmantyo, mendalilkan ketentuan Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6 ayat (2), Pasal 6A ayat (2), Pasal 6A ayat (3), Pasal 6A ayat (4), Pasal 6A ayat (5), Pasal 22E ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28J ayat (1), Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945.

Pemohon berpendapat tingginya angka presidential threshold berpotensi memunculkan calon tunggal di Pemilu 2024. Pendapat itu diperkuat dengan data bahwa 14 dari 16 partai politik di tingkat nasional telah mendeklarasikan diri sebagai pendukung pemerintah. Sedangkan dua lainnya menegakkan garis oposisi terhadap rezim.

Sebanyak 14 parpol dalam koalisi 'gemuk' Jokowi antara lain PDI Perjuangan, Gerindra, Golkar, PKB, Nasdem, PAN, PPP. Mereka memiliki kursi di parlemen. Kemudian Perindo, Berkarya, PSI, Hanura, PBB, Garuda, dan PKPI. Mereka tak memiliki kursi di parlemen. Koalisi Jokowi melibas habis partai politik yang ada dan hanya menyisakan dua oposisi: PKS dan Demokrat.

"14 partai politik yang mendukung pemerintah memiliki jumlah suara sebesar 84,02 persen dan jumlah kursi 81,91 persen; dan dua partai politik yang beroposisi memiliki jumlah suara sebesar 15,98 persen dan jumlah kursi 18,09 persen," ucap Gatot Nurmantyo dilihat dalam salinan Putusan MK Nomor 70/PUU-XIX/2021, Jumat (25/2/2022).

Berdasarkan pemetaan tersebut, apabila parpol pendukung pemerintah berkoalisi pada Pilpres 2024, maka dapat dipastikan tak ada lagi calon presiden dan wakil presiden selain calon yang diusung koalisi mereka. Atau, bisa saja parpol pendukung pemerintah membelah diri jadi dua atau tiga pasang calon.

"Tetapi mereka menggunakan permufakatan untuk siapa pun yang menang kekuasaan tetap di tangan mereka," terang Gatot.

Tingginya angka presidential threshold menyebabkan terbatasnya jumlah pasangan calon yang akan berlaga di pesta demokrasi. Masyarakat hanya disuguhkan pilihan yang tidak variatif. Terbatasnya jumlah paslon juga menciptakan polarisasi yang begitu kuat dan berdampak pada ketegangan sosial. Hal itu tercermin pada Pilpres 2019 yang menyajikan rivalitas antara Jokowi-Ma'ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.

Hakim MK menyatakan norma yang dimohonkan penggugat sama dengan yang dimohonkan para pemohon sebelumnya. Karenanya, belum terdapat alasan fundamental untuk dapat menggeser pendirian Mahkamah atas putusan-putusan sebelumnya.

MK juga berpandangan presidential threshold ditujukan untuk memperkuat sistem presidensial dan calon yang terpilih akan memiliki legitimasi kuat. MK juga menyatakan bahwa PT merupakan open legal policy dari pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR. Hanya pihak legislatif bersama eksekutif yang berwenang mengubah atau menentukan besaran ambang batas pencalonan presiden.

MK menyatakan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan atau gugatan. Mahkamah juga tidak mempertimbangkan pokok permohonan pemohon. Majelis memutuskan tidak dapat menerima permohonan tersebut.

"Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," ujar Hakim MK Anwar Usman, Kamis (24/2/2022).

Sebanyak empat hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan ini. Mereka adalah Manahan M.P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo, dan Saldi Isra.

Manahan dan Enny berpendapat, meski pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum untuk menggugat presidential threshold, akan tetapi dalam pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum, sehingga permohonan ditolak.

Sementara Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra berpendapat, pemohon perseorangan memiliki kedudukan hukum dan pokok permohonannya beralasan hukum, sehingga permohonan dikabulkan. Akan tetapi, pendapat dua hakim MK ini kalah jumlah sehingga secara keseluruhan permohonan pemohon tak dapat diterima.

MK Melepas Tanggung Jawab

Sejauh ini MK telah memutus 22 gugatan terkait ketentuan presidential threhsold. Hal ini tertuang dalam putusan bernomor 51-52-59/PUU-VI/2008, 56/PUU-VI/2008, 26/PUU-VII/2009, 4/PUU-XI/2013, 14/PUU-XI/2013, 46/PUU-XI/2013, 56/PUU-XI/2013, 108/PUU-XI/2013, 49/PUU-XII/2014, 44/PUU-XV/2017, 53/PUU-XV/2017, 59/PUU-XV/2017, 70/PUU-XV/2017, 71/PUU-XV/2017, 72/PUU-XV/2017, 49/PUU-XVI/2018, 50/PUU-XVI/2018, 54/PUU-XVI/2018, 58/PUU-XVI/2018, 61/PUU-XVI/2018, 92/PUUXVI/2018, 74/PUU-XVIII/2020.

Semua gugatan tersebut dinyatakan ditolak dan tidak dapat diterima. Alasan Mahkamah antara lain: pertama, pemohon tidak memiliki legal standing dan tak dirugikan secara langsung oleh presidential threshold. Kedua, penguatan sistem presidensial yang menitikberatkan pada fusi atau penyederhanaan partai politik. Ketiga, ketentuan presidential threshold merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy dari pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR.

Dengan demikian, MK ingin menegaskan bahwa pengubahan ketentuan ambang batas pencalonan presiden hanya bisa dilakukan DPR bersama pemerintah. Sedangkan MK tak berwenang untuk memutus hal itu. Namun, pendapat Mahkamah dikritisi oleh Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari.

Feri menilai, pendapat Mahkamah yang menyatakan ketentuan PT merupakan kebijakan hukum terbuka adalah tidak benar dan hanya akal-akalan. Ia melihat MK seperti melepas tanggung jawab menguji konstitusionalitas presidential threshold.

"Ya ini akal-akalan MK saja untuk menghindari tanggung jawab menguji nilai konstitusionalitas dari ambang batas tersebut," ujarnya saat dihubungi Tirto, Jumat (25/2/2022).

Menurut Feri, MK tetap harus menguji konstitusionalitas aturan presidential threshold meski ketentuan tersebut menjadi kewenangan pembuat undang-undang untuk mengubahnya.

"Jangan karena mentang-mentang kebijakan hukum terbuka lalu diserahterimakan sepenuhnya kepada pembuat UU. (Harus tetap) diuji apakah yang dibuat (pembuat UU) itu sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam UUD 1945," terang dia.

Gatot Nurmantyo dalam gugatannya menyatakan bahwa MK pernah menyatakan suatu undang-undang yang merupakan open legal policy tetap tidak diperkenankan melanggar UUD 1945. Karenanya, terhadap UU demikian MK berwenang untuk membatalkannya.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKS, Mardani Ali Sera mengakui pengubahan ketentuan presidential threshold sulit dilakukan jika diserahkan pada pembentuk UU atau DPR. Pasalnya saat ini konfigurasi politik tidak memungkinkan. Fraksi pendukung pemerintah menutup pintu revisi UU Pemilu dan menghendaki besaran PT yang sekarang.

"Jika diserahkan pada pembentuk UU, sulit mengharapkan perubahan untuk 2024," jelas Mardani kepada Tirto.

Fraksi PKS, kata dia, mendukung penghapusan presidential threshold atau setidak-tidaknya angkanya turun. Ia mengelus dada melihat putusan MK yang menolak gugatan Gatot Nurmantyo dan kawan-kawan. PKS, kata dia, akan segera mengajukan gugatan presidential threshold ke MK.

"Rencananya (PKS) sendiri (akan gugat PT ke MK). (Waktunya nanti) saya kabari," ungkap Mardani.

Partai Demokrat tak bersikap tegas seperti PKS dalam menyikapi putusan MK soal presidential threhsold. Partai berlogo bintang mercy itu mengaku tetap menghormati putusan MK kendati tidak seusai dengan harapan partai.

"Kami menyayangkan ini menutup kesempatan semakin banyaknya putra dan putri terbaik bangsa untuk tampil pada kontestasi kepemimpinan nasional. Ini juga menutup ruang bagi rakyat untuk semakin banyak mendapatkan pilihan. Meskipun demikian karena telah menjadi keputusan, tentu kami hormati," kata Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat, Kamhar Lakumani kepada Tirto.

Demokrat mengaku akan menghitung ulang sebelum menempuh langkah dalam mendobrak ketentuan presidential threshold.

"Kami akan hitung ulang langkah apa yang mesti ditempuh. Opsi langkah politik maupun hukum mesti dikalkulasi dengan cermat agar tak mengulangi kegagalan dan kekalahan dalam memperjuangkan penghapusan presidential threshold ini," kata Kamhar.

Perlawanan Parpol Nonparlemen

Partai politik nonparlemen berencana menggugat ketentuan ambang batas pencalonan presiden ke MK. Mereka yakin upaya hukum tersebut akan membuahkan hasil karena memiliki legal standing.

Hal tersebut merupakan butir keputusan dari pertemuan parpol nonparlemen beberapa waktu lalu. Mereka antara lain Perindo, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Hanura, PKP dan Garuda.

Sekretaris Jenderal PBB, Afriansyah Noor mengakui penghapusan presidential threshold sulit dilakukan apabila menempuh jalur di parlemen. Sebab partai politik 'besar' tak menghendaki perubahan PT. Satu-satunya jalan untuk merontokkan ketentuan tersebut hanya lewat MK.

"Susah, partai besar tak akan mau, apalagi mereka punya jago yang akan (dicalonkan di 2024)," katanya saat dihubungi Tirto, Jumat (25/2/2022).

Afriansyah menyebut enam parpol nonparlemen akan berkoalisi untuk menghadapi Pemilu 2024. Kebersamaan ini penting karena suara keenam partai sangat besar bila digabungkan, yakni sekitar 13,5 juta atau berada di urutan kedua setelah PDI Perjuangan.

Namun demikian, 13,5 juta suara itu terbuang sia-sia gegara ketentuan presidential threshold 20%. Karenanya, parpol nonparlemen akan menggugat ketentuan tersebut ke MK dan optimistis legal standing-nya diterima karena terdampak langsung atas kebijakan ini.

"Kami punya legal standing, kami peserta Pemilu 2019, jadi dasar legal standing ini kami coba ajukan (gugatan) agar presidential threshold 0%," tegas Afriansyah.

Ia menyebut ambang batas pencalonan presiden yang dibuat oleh DPR tidak sesuai dengan kehendak rakyat. Penyusunan aturan terkesan lebih mementingkan kelompoknya sendiri. Parpol nonparlemen menuntut keadilan atas ketentuan ini.

Afriansyah juga memastikan argumentasi gugatan parpol nonparlemen memiliki kebaruan, sehingga kemungkinan akan diterima oleh hakim konstitusi. "Ya kita mencoba judicial review-nya akan mengajukan hal-hal yang berbeda, alasan yang berbeda. Kita minta keadilan," tukas dia.

Presidential Threshold 20% Suburkan Oligarki

Pengamat politik Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Ujang Komarudin berpendapat, upaya mewujudkan presidential threshold 0% sudah kandas pasca putusan MK. Ia melihat oligarki politik akan semakin kuat pada Pemilu 2024.

"Kan sudah saya prediksi. Dan itu sudah saya yakini jauh-jauh hari, bahwa MK tak akan mengabulkan permohonan PT nol persen. Itu sudah bagian dari skenario penguatan oligarki yang berkepenjangan," kata Ujang saat dihubungi Tirto.

Ujang berujar Pemilu 2024 tidak akan menampilkan figur baru karena terganjal oleh presidential threshold 20%. Rakyat pun terpaksa memilih calon yang bukan pilihannya karena tak ada pilihan lain.

"Suka tak suka, mau tak mau, Pemilu 2024 masih akan didominadi oleh 4 L. Lo lagi, lo lagi, lo lagi, dan lo lagi," tandasnya.

Berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga, kandidat capres-cawapres untuk Pemilu 2024 sudah bermunculan. Calon-calon yang muncul merupakan wajah 'lama' dan masih satu lingkaran. Mereka antara lain Prabowo Subianto, Puan Maharani, Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Sandiaga Uno, Ridwan Kamil, serta para ketua umum partai politik.

Baca juga artikel terkait PRESIDENTIAL THRESHOLD atau tulisan lainnya dari Fahreza Rizky

tirto.id - Politik
Reporter: Fahreza Rizky
Penulis: Fahreza Rizky
Editor: Abdul Aziz