tirto.id - Ada sikap berbeda saat Presiden Joko Widodo meresmikan kantor baru Partai Nasdem di Gondangdia, Jakarta Pusat pada 22 Februari 2022. Di depan kader Nasdem, Jokowi membandingkan gedung baru yang diberi nama Nasdem Tower tersebut dengan ibu kota baru atau IKN Nusantara.
Jokowi mengakui ada pro dan kontra dalam masalah rencana pembangunan ibu kota baru. Akan tetapi, ia ingin agar polemik tersebut berakhir karena pemerintah sudah sepakat untuk membangun IKN Nusantara dan undang-undangnya juga sudah disahkan DPR RI.
“Memang sebuah transformasi besar, sebuah perubahan besar, sebuah gagasan besar, pasti ada pro dan kontra. Ada yang setuju, ada tidak setuju, tetapi dalam sistem politik kita jelas bahwa undang-undangnya sudah disetujui oleh DPR dan disetujui oleh 8 fraksi dari 9 fraksi yang ada," tegas Jokowi.
Jokowi menambahkan, “Artinya, secara hukum politik sudah selesai. Jadi kalau sudah seperti itu, mestinya tidak dipertentangkan lagi, mestinya.”
Pernyataan Jokowi tidak bisa dilepaskan dari munculnya sikap kontra kehadiran ibu kota baru. Sejumlah pihak mengkritik soal ibu kota baru itu mulai dari proses legislasi berupa naskah akademik yang dinilai amburadul hingga proses pengesahan undang-undangnya yang dibahas sangat singkat.
Selain itu, konsep otorita IKN Nusantara juga dinilai melanggar esensi dasar pembentukan pemerintahan Indonesia. Sejumlah akademisi, baik dari ilmu administrasi, hukum tata negara, hingga otonomi daerah satu pendapat bahwa dasar hukum pembentukan IKN melanggar UUD 1945. Beberapa orang pun sudah memastikan akan menggugat UU IKN ke Mahkamah Konstitusi.
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati memandang pesan Jokowi di acara Nasdem adalah upaya dia menghapus sentimen debat kusir isu IKN dan narasi proyek IKN sebagai ambisi Jokowi semata. Ia menangkap sinyal Jokowi takut proyek IKN terganggu karena sejumlah pihak mengkritik program IKN hingga menggugat ke MK.
“Korelasinya ada ke sana terlebih presiden sepertinya was-was apabila UU IKN ini akan bernasib seperti UU Ciptaker yang tentu mencoreng citra pemerintahan," kata Wasisto, Rabu (23/2/2022).
Wasisto mengatakan, Jokowi ingin agar IKN dapat berjalan lancar sesuai target sebelum periode kepemimpinannya berakhir. Ia tidak ingin ada narasi negatif, termasuk dari internal partai pendukung.
Pesan ingin polemik IKN juga berkorelasi dari stigma "otoriter" Jokowi. Wasisto mengingatkan, citra negatif otoriter tersebut muncul karena Jokowi meloloskan sejumlah undang-undang kontroversial seperti revisi UU KPK, revisi UU Minerba, UU Cipta Kerja dan UU IKN. Masyarakat pun berupaya melawan dengan mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Jokowi pun mulai memperhitungkan langkah publik setelah "kalah" dalam judicial review Undang-Undang Cipta Kerja, kata Wasisto.
“Politisasi dan gugatan publik itu muaranya pada semakin menguatnya sentimen anti-pemerintah, terlebih lagi pemerintah saat ini sedang kejar tayang menyelesaikan progam-programnya sebelum 2024. Oleh karena itu, presiden ingin meminimalkan adanya disrupsi yang justru berpotensi menggagalkan progam pemerintahanya,” kata Wasisto.
Wasisto menuturkan, kekhawatiran tersebut kuat karena proyek IKN belum jalan seperti UU Cipta Kerja. Dengan kata lain, pemerintah perlu mengeluarkan tenaga lebih demi memastikan proyek IKN berjalan sementara sudah ada investor masuk. Ia menyarankan agar Jokowi mengubah pendekatan penanganan IKN dengan lebih banyak melibatkan publik.
“Ada baiknya, Jokowi juga mendorong partisipasi dan masukan publik soal pembangunan IKN agar terkesan IKN juga pro publik, tidak hanya sekedar jadi wacana naskah akademik saja," kata Wasisto.
Sementara itu, analis komunikasi politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio memandang pernyataan Jokowi adalah upaya kepala negara meyakinkan publik agar program IKN mendapat dukungan dari masyarakat meski ada penolakan. Ia menilai penolakan tidak boleh ditutupi Jokowi.
“Dia (Jokowi) memohon mengharapkan rakyatnya untuk mendukung program dia ini, tapi memang tidak bisa dipaksakan juga karena memang negara kita negara demokrasi dan Pancasila mengizinkan itu untuk perbedaan pendapat," kata Hendri, Rabu (23/2/2022).
Hendri menuturkan, pernyataan Jokowi memastikan beberapa hal. Pertama, Jokowi mengakui bahwa pemerintah gagal dalam menyampaikan pesan urgensi IKN kepada publik. Ia memahami ada polemik dalam IKN sehingga komunikasi pemerintah untuk meyakinkan publik belum berhasil.
"Kelihatannya kalau masih ada polemik, artinya komunikasi pemerintah kepada rakyat belum berhasil," kata pria penulis buku Momentum ini.
Selain itu, kata Hendri, pernyataan Jokowi juga menandakan mantan Wali Kota Solo itu trauma dengan kejadian Undang-Undang Cipta Kerja. Ia tidak ingin UU IKN senasib dengan UU Cipta Kerja karena IKN digugat ke MK oleh sejumlah pihak.
“Dia pasti takut seperti itu kalau inkonstitusional bersyarat Anda harus mulai lagi dari awal proses IKN ini," kata pendiri lembaga survei KedaiKOPI ini.
Hendri memandang, Jokowi hanya bisa melakukan dua hal. Pertama, Jokowi harus memperbaiki komunikasinya kepada publik. Pemerintah harus lebih tajam dalam menyampaikan informasi secara baik dan akurat.
Kedua, pemerintah harus meyakinkan publik bahwa IKN bisa membawa dampak positif. Kepercayaan publik harus bisa diraih pemerintah karena banyak isu negatif tentang IKN seperti soal lahan milik oligarki hingga masalah pemerintah ngotot bangun ibu kota dengan kondisi keuangan terbatas.
“Jadi selama komunikasi dan trust publik ini tidak dilaksanakan, tidak dibangun, ya akan begini terus. Polemik IKN akan terus menerus mengganggu eksistensi pemerintah dalam mewujudkan mimpi besar ini," kata Hendri.
Dosen Universitas Paramadina ini pun meminta Jokowi tidak berbicara sembarangan soal IKN di masa depan. Ia mengingatkan posisi Jokowi sebagai pemimpin bisa disalahtafsirkan jajarannya yang justru membuat Jokowi semakin dicap otoriter.
“Pak Jokowi [harus] hati-hati. Jangan terjebak otoriterianisme jadi seolah-olah mengatur tidak boleh ada pendapat beredar di masyarakat karena, kan, Pak Jokowi pemimpin tertinggi," tutur Hendri.
Hendri menambahkan, “Nanti kalau salah diterjemahkan oleh bawahannya, gimana? Salah diterjemahkan oleh polisi, salah diterjemahkan oleh TNI dan paling parah kalau salah diterjemahkan oleh buzzer. Itu kan jadi gaduh lama itu.”
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Wandy Tuturoong justru memandang bahwa pesan Presiden Jokowi adalah keinginan agar semua masyarakat tidak lagi berpolemik dengan Ibu kota Nusantara. Namun, pemerintah siap menerima 'ujian' berupa gugatan di Mahkamah Konstitusi.
“Saya melihatnya sebagai ajakan untuk menyudahi polemik dan fokus pada keputusan penting untuk berpikir ke depan, membangun Indonesia yang modern dan bisa menghadapi berbagai tantangan, mulai dari ketimpangan antar wilayah hingga ancaman perubahan iklim atau pemanasan global," kata pria karib disapa Binyo itu, Rabu (23/2/2022).
“Soal gugatan, ya boleh saja, kan, memang tersedia mekanismenya," tutur Binyo.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz