Menuju konten utama
Omnibus Law

Dampak Buruk Revisi UU PPP Bila Hanya Demi Memuluskan UU Ciptaker

Mestinya DPR menaati putusan MK dengan memperbaiki UU Cipta Kerja dan menyesuaikan dengan hal formil pembentukan UU.

Dampak Buruk Revisi UU PPP Bila Hanya Demi Memuluskan UU Ciptaker
Sidang Paripurna DPR RI 2014-2019, Senin 30/9/2019. tirto.id/Bayu Septianto

tirto.id - DPR RI menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentuan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) menjadi usul inisiatif DPR dalam rapat paripurna di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa, 8 Februari 2022.

Terdapat 15 poin perubahan dalam UU PPP. Inti perubahan UU PPP untuk mendukung UU Cipta Kerja dengan memasukan metode omnibus di dalamnya.

Perubahan UU PPP mendapat persetujuan dari 8 dari total 9 fraksi yang ada di DPR. Hanya Fraksi PKS yang menolak. PKS menilai pembahasan revisi UU PPP oleh Baleg DPR terburu-buru dan minim partisipasi publik.

PKS juga meminta agar metode omnibus hanya digunakan untuk penyusunan perundang-undangan dengan satu klaster tertentu saja. Agar spesifik dan fokus, kata Anggota Badan Legislasi DPR RI Fraksi PKS, Bukhori Yusuf.

Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan mesti diperbaiki dalam kurun waktu dua tahun sejak pembacaan putusan atau 25 November 2021.

Pengajar Hukum Tata Negara di Jentera Law School, Bivitri Susanti berpandangan, MK tidak memerintahkan perubahan atas UU PPP sebagai acuan dalam pembuatan perundang-undangan. MK memerintahkan agar UU Cipta Kerja dibentuk dengan memperhatikan unsur partisipasi masyarakat yang bermakna dan asas-asas pembentukannya.

“UU PPP memang sudah lama mau dan perlu diubah, sudah banyak makalah dan konferensi nasionalnya. Tapi yang sekarang sedang dipaksakan supaya cepat ini, justru hanya berfokus pada metode omnibus,” ujar Bivitri kepada reporter Tirto, Kamis (10/2/2022).

Dosen Hukum Tata Negara dari Universitas Bung Hatta, Helmi Chandra juga menilai DPR hanya mencari jalan pintas, demi memuluskan metode omnibus.

Mestinya DPR menaati putusan MK dengan memperbaiki UU Cipta Kerja dan menyesuaikan dengan hal formil pembentukan UU.

“Jika ingin merevisi UU PPP dengan kajian yang baik berupa naskah akademik yang komprehensif tanpa tersandera putusan MK. Kalau tidak, terjadilah pembangkangan kontitusi,” ujar Helmi saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (10/2/2022).

Namun menurut Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, putusan MK secara implisit memerintahkan perubahan pada UU PPP. MK memang menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil karena bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.

“Sebenarnya ada perintah untuk memperbaiki UU 12/2011 dengan memasukan metode omnibus,” ujar Zainal kepada reporter Tirto.

Sia-Sia Revisi UU PPP

Meskipun DPR sudah menyetujui revisi UU PPP sebagai usul inisiatif DPR, tapi tidak serta merta membuat UU Cipta Kerja dapat berlaku kemudian. Menurut Zainal, revisi UU PPP dan perbaikan UU Cipta Kerja tidak bisa berkesinambungan.

Karena perubahan dengan memasukkan metode omnibus ke dalam UU PPP, terbit jauh setelah UU Cipta Kerja disahkan. Perubahan UU PPP mesti diikuti dengan perbaikan UU Cipta Kerja sebagaimana yang memang termandat dalam amar putusan MK.

“Kalau pemerintah anggap dengan mengubah UU 12/2011 sudah berimplikasi kepada UU Ciptaker, sebenarnya tidak,” ujar Zainal.

Namun MK hanya memberikan waktu dua tahun untuk perbaikan UU Cipta Kerja. Waktu yang teramat singkat menurut Bivitri; mengingat UU Cipta Kerja memiliki 79 UU dan jumlah halaman 1183.

Baik Zainal dan Bivitri sama-sama sepakat metode omnibus bukan hal yang bisa dengan mudah diterapkan. Mesti dilihat secara kritis. Terlebih lagi Omnibus Law UU Cipta Kerja mengandung banyak klaster yang berbeda.

“Harusnya hanya untuk topik yang serupa dan tidak boleh banyak UU yang dicakup, akibatnya kekacauan dalam hukum dan dalam konteks Indonesia, akan terjadi pelanggaran asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik, terutama hal kejelasan rumusan,” ujar Bivitri.

“Saran saya UU Ciptaker harus dipecah jadi 11 UU mengikuti 11 klaster yang ada di dalamnya. Belajar dari negara lain, kalau omnibusnya kegedean, sulit mendapatkan detailnya,” ujar Zainal.

Dampak dari Revisi UU PPP

Menurut Helmi Candra, perubahan UU PPP akan membawa kekacauan regulasi dalam pembentukan perundang-undangan. Mengingat poin pertama yang berubah, yakni Pasal 1 RUU Perubahan UU PPP menyematkan metode omnibus.

Pasal 1 RUU Perubahan UU PPP berbunyi:

Metode omnibus adalah metode penyusunan peraturan perundang-undangan dengan materi muatan baru, atau menambah materi muatan baru, mengubah materi muatan yang memiliki keterkaitan dan/atau kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan,dan/atau mencabut peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarki nya sama, dengan menggabungkan nya ke dalam satu peraturan perundang-undangan untuk mencapai tujuan tertentu.

Hal tersebut, menurut Helmi, akan menyebabkan obesitas aturan dalam satu UU dan menghasilkan peraturan pelaksana yang juga banyak.

Ia khawatir dengan menggemuknya regulasi, akan meminimkan partisipasi masyarakat dalam pembentukan perundang-undangan di kemudian hari. Berpotensi mengabakan hak masyarakat, kata Helmi.

“Logikanya satu UU tentang satu urusan saja sudah kurang juga memenuhi partisipasi apalagi banyak masalah dalam satu UU sehingga amanat Putusan MK soal meaningful participation atau partisipasi bermakna hanya akan jadi formalitas belaka,” ujarnya.

Senada dengan Helmi, Bivitri juga khawatir hukum menjadi barang yang asal-asalan yang digarap secara terburu-buru tanpa memperhatikan dampak terhadap masyarakat dan lingkungan.

“Maka bisa menjadi justifikasi untuk pemerintah dan DPR untuk membuat berbagai omnibus law dengan cara yang ugal-ugalan seperti ini: asal cepat, padahal isinya tidak mendapat proses deliberatif yang cukup,” tandas Bivitri.

Baca juga artikel terkait REVISI UU PPP atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz