tirto.id - Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Banten menyatakan dua hakim Pengadilan Negeri Rangkasbitung, Kabupaten Lebak, inisial YR (39) dan DA (39), sebagai tersangka penyalahgunaan narkoba. Mereka memiliki 20.634 gram sabu-sabu. RASS, yang berperan selaku kurir, juga menjadi tersangka.
“Ketiga tersangka itu semuanya sebagai aparatur sipil negara (ASN),” kata Kepala BNNP Banten Hendri Marpaung, Senin, 23 Mei 2022 sebagaimana dikutip Antara. Kedua hakim masih diperiksa BNNP Banten dan belum ditahan. Petugas juga meminta keterangan satu kurir dan seorang asisten pembantu rumah tangga.
Terungkapnya perkara ini bermula dari informasi yang menduga ada pengiriman narkotika melalui jasa pengiriman. Tim BNNP Banten dan Bea Cukai Kanwil Banten kemudian melaksanakan penyelidikan. Pada Selasa, 17 Mei, pukul 10.00, tim meringkus RASS di Jalan Ir. Juanda Rangkasbitung. Ia kedapatan membawa dua plastik klip bening berukuran sedang berisikan sabu warna putih dan plastik ukuran kecil berisikan kristal sabu kelir biru.
Petugas pun mengembangkan temuan, hasilnya ialah petugas menggeledah ruangan YR di Pengadilan Negeri Rangkasbitung, kemudian menangkapnya. Dilanjutkan dengan menciduk DA. Hasil penggeledahan di ruangan kantor YR ditemukan satu alat hisap sabu di laci meja kerja, dua alat hisap sabu, dua pipet. Sementara petugas menyita dua korek gas dari tas DA.
Ketiga tersangka dijerat Pasal 114 dan Pasal 112 ayat (2) juncto Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, Pasal 112 ayat (2) dan Pasal 127 ayat (1) huruf (a) juncto Pasal 132 ayat (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Juru Bicara Komisi Yudisial (KY) Miko Ginting mengatakan pihaknya menyesalkan perbuatan hakim tersebut dan KY menjalankan tugas utama untuk menjaga pelaksanaan kode etik pedoman perilaku hakim dengan membuat sistem evaluasi. Munculnya kasus ini, KY berencana memperkuat kerja sama pengawasan dengan Mahkamah Agung.
“Agar tidak terulang lagi, salah satunya melalui kerja sama pengawasan yang erat antara KY dan MA," ucap dia, Rabu, 25 Mei 2022, kepada Tirto.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP, Arsul Sani meminta Mahkamah Agung bertindak cepat menghukum dua hakim ini. “Kami berharap pimpinan Mahkamah Agung tidak melakukan pendekatan konvensional dalam memberikan sanksi, seperti menunggu proses hukum berjalan hingga inkrah untuk memberikan sanksi administrasi," ujar Arsul.
Sanksi yang diberikan secara cepat dan tegas menjadi efek kejut bagi para kalangan lembaga peradilan terutama para hakim dan agar bisa menjadi contoh bagi kalangan lembaga peradilan bahwa Mahkamah Agung tidak menoleransi tindak pidana kejahatan serius.
Langkahi Kepatutan Diri
Prinsip-prinsip dasar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim diimplementasikan dalam 10 aturan perilaku yaitu berperilaku adil, berperilaku jujur, berperilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berperilaku rendah hati, dan bersikap profesional.
Artinya dua hakim dalam kasus sabu-sabu ini telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku profesi. “Karena ini hakim, pejabat peradilan yang imparsial dan tidak berkepentingan dalam memutus perkara, saya kira (YR dan DA) harus dipecat,” tutur Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Arfandi, kepada reporter Tirto, Rabu (25/5/2022).
Sebagai ‘wakil Tuhan’, hakim harus menjaga martabat diri. Bayangkan jika ia harus memimpin persidangan, tapi kondisinya di bawah pengaruh sabu, kata Fachrizal.
“Komisi Yudisial juga bisa menelusuri, ketika dia pakai (konsumsi sabu), keputusan-keputusannya seperti apa, bagaimana pertimbangannya. Jangan lihat hari ini. Saran saya, harus dieksaminasi putusan-putusan yang pernah dia pegang, apalagi kalau dia pegang kasus narkotika,” imbuh Fachrizal.
Bahkan si hakim-hakim ini bisa diperberat hukumannya lantaran mereka sebagai aparat keadilan. Fachrizal menilai tak cukup rehabilitasi dalam kasus ini, maka harus ditelusuri dengan jelas apakah hakim tersebut pengguna atau pengedar narkotika. Pun direhabilitasi, maka mereka harus melepaskan jabatannya.
Pada perkara ini, penangkapan merupakan hasil penggunaan metode penyidikan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery) terhadap pengiriman paket, dan teknik penyidikan ini hanya diatur di dalam Pasal 75 Undang-Undang Narkotika. Teknik ini diatur untuk membongkar jaringan narkotika, sehingga ditujukan untuk peredaran gelap, bukan semata-mata pada pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi.
Pertimbangan ini juga terlihat dalam perspektif internasional, bahwa perluasan teknik-teknik investigas non-konvensional seperti penyerahan di bawah pengawasan ditujukan untuk membongkar jaringan atau sindikat peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika dan keputusan dalam penggunaan teknik penyerahan yang diawasi dilakukan secara kasus demi kasus.
“Sayangnya teknik yang bertujuan untuk menjerat pengedar, produsen atau bandar besar narkotika dalam jaringan yang sulit dibongkar ini seringkali digunakan untuk menjerat pengguna atau pecandu narkotika. Penggunaan teknik ini untuk menjerat pengguna narkotika dapat berpotensi pada kesewenang-wenangan dan tidak sesuai dengan peruntukan pengaturannya,” kata Lovina, peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam keterangan tertulis.
UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika sama sekali tidak mengatur bagaimana controlled delivery dilaksanakan dalam konteks hukum acara, regulasi itu sebatas menyatakan bahwa pelaksanaan kedua kewenangan ini dilakukan oleh penyidik atas perintah tertulis dari pimpinan.
Situasi ini menyebabkan pelaksanaan kewenangan tergantung inisiatif penegak hukum pada praktik, yang tentu saja berkonsekuensi pada ketiadaan standard yang dapat diacu. Terutama bagaimana apabila terdapat pelanggaran hak seseorang dan membutuhkan pengujian terhadap tindakan-tindakan yang sudah dilakukan oleh penyidik.
Maka sulit untuk menguji tindakan penyerahan yang diawasi yang sah dan tidak sah. Begitu juga persoalan menguji perbedaan pembelian terselubung dengan penyerahan yang diawasi dengan tindakan penjebakan yang dilarang oleh hukum acara pidana dan putusan pengadilan.
“Teknik investigasi ini tidak memiliki mekanisme pengujian terhadap pelaksanaannya, terutama terkait alasan dan bukti yang cukup untuk menggunakan teknik investigasi ini dan dalam titik ekstrem, hal ini kemudian berdampak pada besarnya peluang penyalahgunaan kekuasaan,” terang Lovina.
Sekalipun pengaturannya minim, ICJR menila aparat penegak hukum dalam melakukan teknik penyelidikan penyerahan di bawah pengawasan, seharusnya fokus kepada jaringan ataupun sindikat narkotika yang lebih bersifat masif, bukan dilakukan kepada pengguna narkotika untuk kepentingan pribadi sekalipun dia adalah pejabat negara.
Selain itu, ICJR mendorong agar mekanisme controlled delivery dan undercover buy (pembelian terselubung) diatur lebih tegas dan rinci dalam Undang-Undang Narkotika dan KUHAP. Penggunaan metode-metode ini berpotensi sangat besar disalahgunakan dan tidak pada tempatnya, sehingga perlu pengaturan yang lebih kuat.
“ICJR juga meminta agar BNNP seharusnya fokus kepada tindakan pendekatan kesehatan melalui pemberian perawatan kepada pengguna narkotika. Pemberian sanksi pidana kepada pengguna narkotika tidak membawa dampak menurunnya angka perdagangan gelap narkotika, malah justru menimbulkan permasalahan baru,” ucap dia.
Untuk itu, ICJR mengecam penggunaan teknik controlled delivery yang semata-mata digunakan untuk berfokus dan menyasar pelaku. ICJR meminta agar BNN melakukan pengawasan dan memastikan pembongkaran jaringan hingga pucuknya.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz