tirto.id - Disharmoni antara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pimpinan Yahya Cholil Staquf dan DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) besutan Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin terus berlanjut. Mulai dari pemanggilan pengurus PCNU usai safari Cak Imin hingga polemik soal meme yang dicetak dalam kaus “NU Kultural Wajib Ber-PKB, Struktural Sakarepmu.”
Teranyar adalah pernyataan Gus Yahya yang meminta partai politik jangan mengeksploitasi NU jelang pemilihan umum serentak (Pemilu) 2024. Gus Yahya meminta parpol untuk tidak menjadikan NU sebagai alat kepentingan politik identitas.
“Saya ingin menyampaikan di sini bahwa kami tidak mau dan memohon kepada parpol jangan pakai politik identitas. Terutama identitas agama dan salah satunya identitas NU,” kata Gus Yahya sebagaimana dilansir Antara, 23 mei 2022.
Apa yang disampaikan Gus Yahya ternyata banyak yang mengaitkan dengan polah tingkah Ketum PKB, Cak Imin. Aksinya yang berusaha meraih perhatian dan simpati dari warga NU dianggap menjadi alasan Gus Yahya mengeluarkan pernyataan bahwa NU bebas dari kepentingan politik identitas.
“Semuanya, untuk semua partai. Jadi NU tidak, enggak boleh digunakan sebagai senjata untuk kompetisi politik. Karena kalau kami biarkan akan terus begini,” kata dia.
Meski sering dikaitkan dengan PKB, Gus Yahya tegas bahwa apa yang diucapkan tidak ada hubungannya dengan partai besutan Cak Imin tersebut.
“Kami kan nggak ngapa-ngapain. Kami, kan nggak melakukan apa-apa. Saya tidak memberikan pernyataan apa pun yang katakanlah berisi negatif (bagi) siapa pun, apalagi PKB. Kalau ada yang mengatakan renggang, mereka yang merenggangkan diri,” kata Gus Yahya.
Ungkapan Gus Yahya soal “merenggangkan diri” menjadi sinyalemen hubungan tidak akrab dengan Cak Imin. Bentuk ketidakakraban keduanya terlihat semakin jelas di hadapan publik saat PBNU sempat menggugat kegiatan safari politik Cak Imin di Jawa Timur sembari meminta para pengurus NU untuk tidak berpolitik praktis dengan membawa nama besar organisasi. Artikel polemik NU dan PKB bisa dibaca di link ini.
Cak Imin Jalan Terus
Meskipun PBNU tidak memberi “karpet merah” buat Cak Imin, tapi PKB di bawah komandonya tetap bersikeras menarik simpati nahdliyin. Teranyar, Muhaimin mengumumkan pemberian bantuan untuk NU dan sejumlah badan otonomnya di wilayah Jawa Timur. Nilainya cukup fantastis hingga mencapai Rp300 miliar.
“Ini adalah bentuk nyata keberpihakan PKB kepada NU. Langkah serupa juga dilakukan oleh para anggota DPRD dari PKB se-Indonesia, termasuk yang di DPR RI," kata Cak Imin dalam rilis tertulis pada Minggu (22/5/2022).
Dalam argumentasinya, aksi bagi-bagi yang dilakukan Cak Imin masih menjadi bagian kecil dari seluruh kebaikan yang pernah dia berikan. Menurut dia, selama ini ia selalu berbagi dalam diam karena takut menjadi riya' alias pamer.
“Perlu juga menurut saya bantuan seperti ini disampaikan sebagai syiar dan biar orang tahu bahwa politik itu penting. Biar orang tahu kalau keberadaan PKB sebagai kendaraan politik NU itu nyata,” kata dia.
Pernyataan senada diungkapkan Wakil Ketua Umum DPP PKB, Jazilul Fawaid. Ia merespons pernyataan Gus Yahya terkait jangan jadikan NU sebagai alat politik. Jazilul justru mengklaim, partainya adalah alat politik milik organisasi kemasyarakatan Nahdlatul Ulama.
“Tentu kami setuju [jangan jadikan NU sebagai alat politik] karena memang NU bukan alat politik, tapi PKB lah alat politik NU. Jadi apa yang disampaikan beliau [Gus Yahya] itu adalah untuk partai-partai yang lain, bukan PKB karena PKB dengan NU itu ibarat dua sisi mata uang yang tidak akan bisa dipisahkan,” kata Jazilul dalam rilis tertulis, Selasa (24/5/2022).
Jazilul menuturkan bahwa PKB lahir dari rahim NU dan menurutnya diberikan kepada seluruh golongan masyarakat demi kepentingan bangsa.
“Dan alhamdulillah akhirnya PKB menjadi satu-satunya partai politik yang berhaluan ahlussunnah wal jamaah yang ada di parlemen. Parpol yang menjalan misi jalan politik rahmatan lil alamin ya PKB,” kata dia.
Jazilul mengklaim bahwa prinsip ahlussunnah wal jamaah yang dipegang PKB menjadikannya sebagai partai Islam terbesar di Indonesia. “Ini karena platform yang digunakan adalah platform Islam ahlussunnah, platform Islam Nusantara,” terangnya.
Selain itu, ia menegaskan hanya PKB yang menjadi wadah bagi warga NU sebagai sarana aspirasi politik. “Saya ini lahir dari NU, nggak bakalan bisa dipisahkan dari NU meskipun saya PKB. Tapi kalau ada orang yang bilang Golkar itu NU, nggak mungkin, dari mana sejarahnya? PDIP itu NU, nggak mungkin dari mana sejarahnya? Kalau PKB itu lahir dari NU, semua menyaksikan,” kata dia.
Ia menambahkan, “Mulai deklarasinya, tokoh-tokohnya, pendirinya, pemimpin-pemimpinnya. Meskipun akhirnya PKB menjadi partai yang terbuka untuk semua golongan, semua kelompok.”
Oleh karenanya, terlepas dari pernyataan Gus Yahya soal NU bukan alat politik, Jazilul bersikukuh bahwa NU akan tetap menjadi visi politik PKB. “Jadi PKB bagian dari yang menjalankan visi dan misi NU. Apa itu? Soal moderasi. Toleransi dan lainnya. Itulah yang dilakukan oleh PKB,” ujarnya.
Saat dikonfirmasi kembali mengenai hubungan Muhaimin dan Gus Yahya, Jazilul menanggapi dengan santai dan mengungkap bahwa keduanya adalah teman dekat. “Keduanya itu seangkatan sehingga tidak ada masalah apa-apa,” kata dia di Gedung DPR, Rabu (25/5/2022).
Jazilul juga menerangkan bahwa ketegangan antara petinggi PKB dan PBNU ini menjadi hanya permasalahan biasa dan yang nampak di permukaan atau media sosial bukanlah hal yang sebenarnya terjadi di antara keduanya.
“Media sosial hanya membaca dari luar dan kami senang kalau NU dan PKB menjadi perbincangan di masyarakat,” kata dia.
Meski kerap menjadi perbincangan bahwa ada ketegangan antara Gus Yahya dan Cak Imin, namun belum ada itikad dari pengurus PKB untuk silaturahmi ke PBNU, seperti yang telah dilakukan beberapa tokoh, terakhir yang silaturahmi adalah Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa.
“Silaturahmi dengan NU tidak ada yang perlu dikhususkan karena selama ini PKB bagian dari NU. Adapun silaturahmi khusus dengan Gus Yahya belum sempat karena kesibukan dari Gus Muhaimin sehingga belum ada waktu,” kata Jazilul.
Siapa yang Untung Dalam Ketegangan PBNU dan PKB?
Pengamat politik dari Kedai Kopi, Hendri Satrio menilai, ketegangan antara Gus Yahya dan Cak Imin adalah tanda keduanya akan naik ke level yang lebih tinggi dengan ujian ketegangan hubungan antara keduanya.
“Sejatinya ketegangan keduanya tidak akan menimbulkan friksi apabila diselesaikan dengan komunikasi yang baik. Ketegangan keduanya juga menjadi pertanda bahwa kedua organisasi, baik NU dan PKB akan naik level lebih tinggi,” kata dia saat dihubungi reporter Tirto.
Hendri mengingatkan agar ketegangan keduanya segera diselesaikan karena ada banyak pihak yang berusaha mengambil keuntungan apabila ada perpecahan antara NU dengan PKB.
“Saat ini kuncinya ada di kedua belah pihak, apakah ingin segera menyelesaikan dengan komunikasi atau membiarkan pihak-pihak yang menyukai ketegangan antara PKB dan NU mengambil keuntungan. Terutama para pihak yang tidak suka NU bersatu atau partai lain yang berusaha menggeser PKB,” kata Hendri.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno menilai pernyataan Gus Yahya agar tidak menjadikan NU sebagai alat politik parpol tertentu sebagai bentuk kebijakan bahwa NU mulai terbuka untuk seluruh kalangan partai.
“Pada kepengurusan sebelumnya PKB sudah seperti anak emas dan tidak ada pengurus lain yang menjabat selain dari PKB,” kata Adi.
Adi menilai dengan retaknya hubungan, ditambah perseteruan antara NU dan PKB, maka partai lain terutama dengan ideologi nasionalis banyak diuntungkan. Sebut saja Nusron Wahid dari Partai Golkar yang menjadi wakil ketua umum PBNU.
“Selain itu masih ada banyak lagi, seperti PDIP yang pada periode sebelumnya tidak banyak mendapat kepengurusan di PBNU, sekarang anggotanya menduduki kursi strategis,” ungkapnya.
Pria asal Sumenep, Madura ini menambahkan, kebijakan Gus Yahya untuk menyingkirkan dominasi PKB dari PBNU memiliki sejarah panjang, salah satunya adalah saat Cak Imin meminggirkan Gus Dur dari PKB.
“Saat ini Gusdurian banyak mengisi kursi PBNU dan menjadi momen bangkitnya mereka,” kata Adi.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz